NovelToon NovelToon
Merebutmu Kembali

Merebutmu Kembali

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Anak Genius / Romansa / Menikah Karena Anak / Lari Saat Hamil / Balas Dendam
Popularitas:786
Nilai: 5
Nama Author: Black _Pen2024

Dikhianati dan dijebak oleh suami dan kekasih gelapnya, seorang wanita polos bernama Megan secara tak terduga menghabiskan malam dengan Vega Xylos, bos mafia paling berkuasa di dunia malam. Hingga akhirnya, dari hubungan mereka malam itu, menghasilkan seorang putra jenius, Axel. Tujuh tahun kemudian, Vega yang terus mencari pewarisnya, tapi harus berhadapan dengan Rommy Ivanov, musuh lamanya, baru mengetahui, ternyata wanita yang dia cari, kini telah dinikahi musuh besarnya dan berniat menggunakan kejeniusan Axel untuk menjatuhkan Kekaisaran Xylos. Bagaimana Vega akan menghadapi musuh besarnya dan apakah Megan dan putranya bisa dia rebut kembali?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11: Misi Diam-Diam Sang Ibu

“Keluar saja baik-baik, Megan, atau kami akan mendobrak masuk dan menyeretmu keluar hidup-hidup… atau mati.”

Suara berat itu, yang jelas bukan milik Jose atau Wina, menusuk telinga Megan. Bukan Vega, tapi anak buahnya, atau bahkan lebih buruk, musuh Vega. Siapa pun mereka, niat mereka jelas tidak baik. Dan mereka sudah tahu namanya.

“Sialan!” bisik Megan, mundur perlahan dari jendela. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya hingga terasa sakit. “Mereka tahu. Gimana caranya? Nggak mungkin!”

Ia menoleh ke arah peti kayu usang. Tidak ada waktu untuk panik. Panik adalah kemewahan yang tidak bisa ia beli. Ia harus bergerak. Cepat. Demi dirinya, dan demi janin yang ia lindungi mati-matian.

“Baiklah, Nak,” bisiknya, mengusap perut ratanya dengan gerakan cepat, penuh janji. “Mama akan tunjukkan gimana caranya selamat dari iblis. Siap-siap, ya.”

Ia mencengkeram pisau lipatnya, lalu menoleh ke sudut gubuk. Di sana, ada tumpukan kain usang dan daun-daunan kering yang ia gunakan sebagai alas tidur. Ide gila muncul di kepalanya.

“Mereka mau aku keluar? Oke. Aku kasih mereka sesuatu untuk ditonton.”

“Cepat dobrak, bodoh! Dia pasti sudah lari!” suara lain terdengar dari luar, lebih panik.

Megan bergerak secepat yang ia bisa, yang mana tidak terlalu cepat karena kehamilannya. Ia menumpuk semua benda kering di tengah ruangan. Ia meraih minyak tanah yang ia gunakan untuk lampu kecil, menuangkannya ke tumpukan itu, lalu menyulutnya dengan korek api. Api menjilat cepat, asap tebal langsung memenuhi gubuk.

“Asap ini pasti bikin mereka batuk-batuk, dan nggak lihat apa-apa!” pikirnya cepat.

Dia menuju ke bagian belakang gubuk. Di sana ada dinding papan yang sudah lapuk, hampir roboh. Ini adalah pintu daruratnya. Ia menendang papan itu sekuat tenaga. Dalam kondisi hamil muda, tenaganya terbatas, tapi adrenalin mengalir deras. Papan itu berderak, lalu ambruk, menciptakan lubang kecil yang cukup baginya untuk menyelinap.

“Tahan napas!” perintahnya pada dirinya sendiri, sambil merangkak keluar menembus lubang itu, meninggalkan gubuk yang kini mulai dikepul asap hitam pekat.

“Api! Api!” terdengar teriakan panik dari luar. Para pengejar itu jelas terkejut oleh asap tebal yang tiba-tiba muncul. Mereka sibuk mencari air atau mencoba membuka pintu depan.

Megan tidak menoleh ke belakang. Ia merangkak cepat, menjauh dari gubuk, menuju kegelapan dan lebatnya hutan di belakang. Setiap gesekan ranting di kulitnya terasa seperti cambuk. Ia terengah-engah, mual akibat asap dan gerakan cepat.

“Mereka pasti mengejar! Jangan berhenti, Megan! Jangan berhenti!”

Dia berlari, atau lebih tepatnya tersandung dan merangkak, selama yang ia mampu. Dia berlari ke arah yang berlawanan dari jalan setapak utama, menembus semak belukar, menghindari jalur yang mungkin dikenali oleh para pengejar itu.

Setelah dirasa cukup jauh, ia ambruk di bawah pohon beringin tua yang besar. Ia mengatur napas, air mata mengalir bukan karena sedih, tapi karena kelelahan dan ketakutan yang luar biasa.

“Hampir saja, Nak. Hampir saja.”

Ia mengeluarkan bungkusan uang tunai terakhirnya. Jumlahnya menyedihkan, tapi ini satu-satunya modalnya untuk memulai hidup baru, jauh dari bayangan Vega, Jose, dan Rommy.

...****************...

Pagi-pagi buta, dengan pakaian kotor dan rambut acak-acakan, Megan berhasil mencapai jalan raya terdekat, jauh dari lokasi gubuknya. Ia menyamar sebisa mungkin, menggunakan topi usang dan jaket tebal untuk menutupi tubuhnya, agar perutnya tidak terlalu terlihat di masa mendatang.

Dia berdiri di pinggir jalan, menanti bus. Tujuannya: sebuah kota kecil di Jawa Barat yang sangat terpencil, tempat yang ia harap tidak akan pernah terjamah oleh peta digital maupun jaringan mafia internasional.

“Tiket ke Cilimus,” katanya pada kondektur tua di dalam bus yang penuh sesak, menyerahkan uangnya. Suaranya serak dan gemetar.

Perjalanan memakan waktu lebih dari dua belas jam, diisi dengan rasa mual dan lapar. Setiap kali bus berhenti, Megan merasa tegang, takut ada wajah familiar yang mencarinya. Dia terus memegangi perutnya, seolah memberikan perlindungan fisik pada janin itu.

“Ayahmu… dia sangat kuat, Nak. Mungkin kamu juga akan kuat,” bisiknya dalam hati, saat mengingat mata tajam Vega Xylos, pria dingin yang telah mengubah hidupnya. Rasa benci dan terima kasih bercampur aduk. Benci karena Vega meninggalkannya, tapi terima kasih karena kekuatan yang ia dapatkan untuk bertahan hidup, adalah warisan dari malam singkat mereka.

...****************...

Cilimus. Kota kecil itu terasa damai, tenang, dan… sangat sepi. Tidak ada gedung pencakar langit, tidak ada klub malam mewah. Hanya ada pasar tradisional, sawah yang membentang luas, dan penduduk yang tampak ramah, tapi juga ingin tahu.

Megan menyewa kamar kos yang jauh lebih buruk dari kos sebelumnya, tapi setidaknya, kamar ini berada di balik warung kopi yang ramai, memberikan kamuflase sosial yang ia butuhkan. Uang sisa di tangannya hanya cukup untuk membayar sewa satu bulan dan membeli sedikit barang dagangan.

“Aku harus kerja. Cepat,” tekadnya. “Sebelum perut ini mulai membesar dan semua orang curiga.”

Dengan uang terakhirnya, ia membeli beberapa peti buah-buahan dari distributor lokal. Jeruk, apel murah, dan pisang. Itu adalah modalnya. Ia harus bersikap seperti wanita desa biasa, bekerja keras dari pagi sampai malam. Tidak ada lagi Megan yang elegan. Yang ada hanya Megan si penjual buah.

Ia mendirikan lapak kecilnya di pinggir jalan utama kota itu. Hari pertama terasa seperti siksaan. Panas terik, rasa mual, dan kelelahan membuatnya hampir pingsan beberapa kali. Namun, setiap kali ia merasa ingin menyerah, ia memegang perutnya.

“Ingat tujuan kita, Megan. Bertahan. Lindungi rahasia ini.”

Penjualan hari pertama sangat minim. Ia hanya mendapat keuntungan kecil, tapi cukup untuk membeli makan malam. Dia duduk di depan lapaknya yang sepi saat matahari mulai terbenam, menghitung recehan di tangannya.

Tiba-tiba, sebuah mobil hitam mewah—yang sangat tidak cocok dengan suasana kota kecil ini—melintas perlahan, berhenti tidak jauh dari lapaknya. Jantung Megan langsung berdebar kencang. Itu mobil yang terlalu bagus. Terlalu mencolok.

“Nggak, itu cuma orang kaya yang lagi nyasar,” bisiknya, mencoba meyakinkan diri.

Seorang pria berjas gelap—yang juga tampak terlalu rapi untuk daerah itu—keluar dari mobil. Ia tidak menoleh ke arah Megan, tetapi ia berdiri di tepi jalan, memegang ponsel, seolah sedang mengirim pesan penting. Pria itu tampak familiar.

Megan menahan napas. Pria itu, wajahnya dingin dan tatapannya tajam. Walaupun tidak mengenakan seragam pengawal khas Vega, aura kekuasaan dan bahaya terpancar jelas darinya.

Pria itu menoleh. Matanya menyapu deretan warung dan lapak, mencari sesuatu. Atau seseorang.

Megan segera menundukkan kepala, pura-pura sibuk mengatur tumpukan jeruk. Ia menyembunyikan wajahnya di balik topi lusuh. Ia berdoa agar kehamilannya yang baru dua bulan tidak menarik perhatian. Ia berdoa agar wajahnya tidak dikenali.

Pria itu berjalan mendekat, langkahnya mantap dan penuh percaya diri. Ia berhenti tepat di depan lapak Megan.

Megan merasakan tenggorokannya tercekat. Inikah akhir dari pelariannya? Mereka sudah menemukannya secepat ini?

“Nona,” suara berat dan dingin itu menyapa. Bukan suara yang ia dengar saat di gubuk, tapi intonasi dan nadanya persis sama dengan para pengawal kelas atas. “Apa kamu punya pisang yang paling manis?”

Megan mendongak sedikit, matanya bertemu dengan sepasang mata elang yang mengamati dirinya dengan intens. Bukan mata Vega, tapi tatapan mata yang dilatih untuk melihat detail.

Dia memaksa dirinya tersenyum tipis—senyum yang harus terlihat lelah, bukan ketakutan.

“Tentu, Tuan. Ini pisang Ambon terbaik. Baru datang pagi tadi,” jawab Megan, berusaha membuat suaranya terdengar polos dan biasa saja.

Pria itu mengambil seikat pisang, tetapi tatapannya masih terkunci pada wajah Megan, seolah sedang mencocokkan ingatannya dengan sebuah foto.

“Kamu pendatang baru di sini?” tanyanya, santai, tapi penuh selidik.

“Baru dua hari, Tuan. Saya ikut suami, katanya di sini peluang bisnisnya lebih bagus,” bohong Megan dengan lancar, menyebut ‘suami’ untuk memberi kesan ia tidak sendirian. Itu adalah strategi kecil yang ia pelajari dari Jose.

Pria itu tersenyum kecil. Senyum yang tidak mencapai matanya.

“Suami? Mana dia? Kenapa kamu sendiri di sini?” desak pria itu. Matanya kini turun, menatap ke arah perut Megan.

Megan menelan ludah. Waktu dia sudah hampir habis. Ia harus pergi dari tempat ini, secepatnya. Namun, jika ia lari sekarang, dia akan dicurigai.

“Dia sedang mencari tempat baru untuk kontrakan, Tuan,” Megan membalas, sambil buru-buru mengambil uang kembalian. “Totalnya lima puluh ribu.”

Pria itu menyerahkan selembar uang seratus ribuan, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit, membuat Megan terpaksa mendongak. Aroma parfum mahal dan berbahaya memenuhi udara di sekitar mereka.

“Kembaliannya ambil saja,” kata pria itu, suaranya kini berbisik. “Dan satu hal lagi, Nona penjual buah. Wajahmu… sangat mirip dengan seseorang yang bosku cari. Sangat mirip.”

Jantung Megan seolah berhenti berdetak. Ini dia. Mereka menemukannya. Ini bukan hanya pencarian acak. Mereka benar-benar sedang memburunya.

Pria itu tersenyum lagi, lalu berjalan menjauh tanpa menoleh. Megan terpaku, mematung di belakang lapaknya. Siapa dia? Anak buah Vega? Atau anak buah Rommy yang diperintahkan Rommy untuk mencari Megan?

Saat mobil hitam itu menghilang dari pandangan, Megan ambruk di belakang tumpukan jeruknya. Ia harus pergi lagi. Besok. Tidak, malam ini! Kota kecil ini tidak aman lagi. Ia harus lari, membawa janinnya lebih jauh, ke tempat yang benar-benar tidak terjamah.

Dia meraba-raba uang kembalian yang seharusnya ia berikan. Uang itu masih tergeletak di meja. Namun, di bawah uang itu, ada secarik kertas kecil yang terlipat rapi.

Megan mengambilnya dengan tangan gemetar. Di kertas itu, tertulis alamat lengkap sebuah peternakan di kaki gunung, jauh di pedalaman, serta beberapa digit angka: nomor telepon.

Di bawah alamat itu, hanya ada satu kata yang ditulis tebal, menggunakan huruf kapital dan tinta merah: LARI!

Siapa yang memberinya peringatan ini? Apakah pria berjas tadi? Atau ada mata-mata lain yang mengawasinya? Apakah ini jebakan? Megan memeluk perutnya erat-erat. Ia harus mengambil risiko ini. Karena di sini, ia sudah tidak aman lagi....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!