NovelToon NovelToon
Istri Paksa Tuan Arka

Istri Paksa Tuan Arka

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Cinta Terlarang
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Alya, gadis kelas 12 yang hidup sederhana, terkejut saat mengetahui ayahnya terlilit hutang besar pada Arka Darendra — CEO muda paling berpengaruh di kota itu.

Saat debt collector hampir menyeret ayahnya ke polisi, Arka datang dengan satu kalimat dingin:

“Aku lunasi semuanya. Dengan satu syarat. Putrimu menjadi istriku.”

Alya menolak, menangis, berteriak—tapi ayahnya memaksa demi keselamatan mereka.

Alya akhirnya menikah secara diam-diam, tanpa pesta, tanpa cinta.
Arka menganggapnya “milik” sekaligus “pembayaran”.

Di sekolah, Alya menyembunyikan status istri CEO dari teman-temannya.
Di rumah, Arka perlahan menunjukkan sisi lain: posesif, protektif, dan… berbahaya.

Mereka tinggal seatap, tidur sekamar, dan gairah perlahan muncul—walau dibangun oleh luka.

Konflik berubah ketika masa lalu Arka muncul: mantan tunangan, dunia bisnis yang penuh ancaman, dan rahasia gelap kenapa ia sangat tertarik pada Alya sejak awal.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5: Aturan Rumah

​Pagi hari di villa Arka Darendra sama dinginnya dengan malam.

​Alya terbangun karena sinar matahari yang menembus kaca raksasa di kamar itu. Ia sadar ia sendirian di ranjang. Sisi ranjang Arka sudah kosong, sprei sutra di sana sudah rapi seolah tidak pernah tersentuh. Hanya kehangatan samar yang tersisa di bantal sutra itu, menjadi satu-satunya bukti bahwa ia tidak bermimpi buruk.

​Ia merasakan kelelahan fisik dan emosional yang luar biasa. Semalam ia tidur tidak lebih dari dua jam, dihabiskan untuk menahan napas dan menahan tangis di pelukan pria asing.

​Alya bergegas bangun. Ia segera menuju kamar mandi, mencuci wajahnya dan menatap refleksi dirinya. Gadis siswi kelas 12 yang ia kenal sudah terlihat lebih tua, lebih berat bebannya.

​Ketika Alya keluar dari kamar, Jeevan sudah berdiri di ambang pintu, membawa nampan berisi sarapan mewah—roti panggang, telur orak-arik sempurna, dan jus jeruk segar.

​“Selamat pagi, Nyonya Arka,” sapa Jeevan, suaranya sopan dan profesional, tanpa emosi yang kentara. “Tuan Arka sudah berangkat ke kantor. Beliau meminta Anda sarapan dan segera bersiap. Supir akan mengantar Anda ke sekolah pukul 06.30 tepat.”

​Alya menatap sarapan itu. Ia tidak lapar, tetapi ia merasa harus makan untuk memiliki tenaga melawan semua aturan yang akan datang.

​“Jeevan, di mana Tuan Arka? Kenapa dia pergi tanpa bicara?” tanya Alya, berusaha terdengar seperti seorang istri, bukan sandera.

​“Tuan Arka sangat menghargai waktu, Nyonya. Beliau tidak pernah terlambat ke kantor. Namun, beliau meninggalkan ini untuk Anda.”

​Jeevan menyerahkan amplop putih tebal, tertutup rapat dengan stempel lilin Darendra Corp. Alya mengambilnya dengan tangan gemetar.

​Ia merobek amplop itu, dan di dalamnya terdapat selembar kertas tebal, ditulis tangan dengan tulisan kursif yang tajam dan perfeksionis. Itu adalah daftar.

​ATURAN RUMAH DARENDRA (Berlaku untuk Alya Ramadhani, Istri):

​Status dan Kerahasiaan: Di luar villa ini, kau adalah Alya Ramadhani, siswi SMA. Di dalam villa, kau adalah Nyonya Arka Darendra. Jangan pernah lupakan perbedaan ini. Nama ‘Arka’ tidak boleh disebut di sekolah atau di depan siapa pun yang tidak kuizinkan.

​Jam Pulang: Kau harus berada di dalam rumah sebelum jam 17.00. Tidak ada kegiatan ekstra, kumpul teman, atau kunjungan ke rumah ayahmu tanpa izin tertulis dariku.

​Akses: Kau hanya memiliki akses ke area pribadi (kamar tidur, walk-in closet, dapur, ruang keluarga). Dilarang keras memasuki ruang kerja pribadiku, ruang bawah tanah, atau gudang.

​Pakaian: Pakaianmu di luar jam sekolah harus sopan. Dilarang menggunakan rok mini, pakaian terbuka, atau hal lain yang menarik perhatian pria. Itu adalah perintah.

​Pergaulan: Di sekolah, kau diizinkan berinteraksi dengan teman-teman wanitamu. Dilarang keras berinteraksi intim, berduaan, atau menerima hadiah/bantuan dari pria manapun (termasuk guru laki-laki). Batas fisikmu hanya untukku.

​Komunikasi: Segala sesuatu, mulai dari keluhan hingga kebutuhan, harus disampaikan melalui Jeevan atau langsung kepadaku.

​Hak Suami: Kewajibanmu adalah mematuhi semua perintahku. Jangan pernah menolak ketika aku membutuhkan kehadiranmu di sampingku, baik di kamar tidur, di meja makan, atau di acara tertentu.

​Pelanggaran atas aturan mana pun akan berakibat pada pembatalan tunjangan ayahmu dan pembatasan yang lebih keras.

​Tuan Arka Darendra.

​Alya membaca aturan-aturan itu dua kali, lalu tertawa kecil, tawa pahit yang hampir menyerupai isak tangis. Ini bukan aturan rumah, ini adalah manual operasional untuk robot. Arka Darendra adalah seorang tiran yang mendominasi bahkan dalam urusan pakaian.

​Aturan nomor lima—pergaulan—adalah yang paling menjengkelkan. Dilarang keras berinteraksi intim… dari pria manapun. Ini adalah obsesi. Ia bahkan belum genap 18 tahun, namun Arka sudah memasang batas kepemilikan total.

​Alya meremas kertas itu di tangannya. Ia melempar kertas itu ke meja sarapan.

​“Jeevan,” panggil Alya.

​Jeevan, yang sedang menuangkan kopi, menoleh dengan tenang. “Ya, Nyonya?”

​“Sampaikan pada Tuan Arka. Saya bukan barang. Saya tidak akan menolak haknya sebagai suami, karena itu sudah ada di dokumen yang saya tanda tangani. Tapi saya tidak akan membiarkan dia mengendalikan setiap langkah saya, termasuk dengan siapa saya bicara di sekolah.”

​Jeevan mengangguk, tanpa perubahan ekspresi. Ia mengambil serbet bersih dan dengan tenang membersihkan remahan roti dari taplak meja.

​“Saya mengerti pesan Anda, Nyonya. Saya akan menyampaikannya pada kesempatan pertama. Namun, izinkan saya mengingatkan: Tuan Arka tidak menghargai pembangkangan. Beliau adalah orang yang sangat perfeksionis. Jika beliau menetapkan suatu aturan, itu adalah satu-satunya cara.”

​“Saya tahu,” kata Alya, frustrasi. Ia mengambil roti panggang dan memakannya dengan paksa. Ia tidak akan membiarkan Arka membuatnya kelaparan atau terlihat lemah.

​Alya tiba di sekolahnya, SMA Harapan Bangsa, tepat pada waktunya. Sekolah itu adalah benteng terakhir dari kehidupan normalnya.

​Supir yang mengantar Alya memastikan mobil berhenti beberapa blok dari gerbang utama, sesuai instruksi Alya sendiri—ia tidak ingin menarik perhatian dengan mobil hitam mewah itu.

​Ketika Alya melangkah masuk ke koridor, suasana langsung terasa akrab: suara tawa teman-teman, obrolan pagi, bau buku baru. Ia menarik napas lega, merasakan seragam sekolahnya yang biasa terasa seperti baju pelindung.

​Ia bertemu dengan sahabatnya, Luna, yang langsung menyambutnya dengan pelukan heboh.

​“Alya! Astaga, kau kemana saja? Aku telepon tidak diangkat. Kau tidak masuk kemarin sore! Ayahmu baik-baik saja?” tanya Luna, matanya dipenuhi kekhawatiran.

​Alya memaksa dirinya tersenyum, senyum yang terasa kaku di wajahnya. “Aku baik-baik saja, Lun. Ayahku juga. Kemarin ada urusan keluarga yang mendesak. Selesaikan pembayaran hutang lama. Sedikit dramatis, tapi sudah selesai.”

​“Hutang apa? Ayahmu terlibat masalah lagi?”

​Alya menggeleng cepat. “Sudah lunas. Sungguh. Sekarang lupakan. Aku tidak mau memikirkannya lagi. Ada PR Fisika?”

​Luna yang peka menyadari ada yang salah. Mata Alya terlihat lelah, dan ada ketegangan di bahunya yang tidak biasa. Namun, karena Alya jelas-jelas menghindari topik itu, Luna memutuskan untuk tidak mendesak.

​Tepat saat mereka berbelok di koridor, mereka bertemu dengan Deo.

​Deo adalah teman sekelas Alya, seorang cowok cerdas dengan senyum hangat dan sikap yang sopan. Ia selalu diam-diam membantu Alya, mulai dari mencatat pelajaran hingga menawarkan tumpangan sepulang sekolah.

​“Alya,” sapa Deo, senyumnya sedikit meredup karena melihat wajah Alya yang pucat. “Aku senang kau sudah masuk. Kau baik-baik saja? Kemarin aku sempat dengar ayahmu ada masalah.”

​Jantung Alya berdegup kencang. Ia teringat Aturan No. 5 Arka: Dilarang keras berinteraksi intim, berduaan, atau menerima hadiah/bantuan dari pria manapun.

​Arka tidak ada di sini. Arka tidak melihatnya. Tapi Alya merasakan matanya ada di mana-mana, mengawasinya melalui dinding-dinding kaca villa.

​Alya memaksakan dirinya untuk bersikap biasa. “Terima kasih, Deo. Aku baik-baik saja. Hanya butuh istirahat,” jawab Alya, menjaga jarak satu langkah di antara mereka.

​Deo mengangguk, lalu mengeluarkan sebuah buku kecil dari tasnya. “Aku tahu kau pasti ketinggalan catatan. Ini, aku sudah salin untukmu.”

​Deo mengulurkan buku itu.

​Alya menatap buku itu, lalu menatap tangan Deo. Di benaknya, wajah Arka yang dingin berkelebat. Menerima buku ini sama dengan melanggar aturan No. 5.

​“Tidak, Deo. Terima kasih,” Alya menolak, suaranya terdengar lebih kaku dari yang ia inginkan. “Aku bisa menyalinnya nanti dari Luna. Aku tidak mau merepotkan.”

​Deo terlihat terkejut. Biasanya Alya akan menerima dengan senyum dan ucapan terima kasih yang tulus. “Merepotkan apa, Alya? Ini hanya catatan. Aku senang membantumu.”

​“Tidak. Aku bilang tidak.” Alya berkata, lebih tajam. “Aku harus bisa mandiri sekarang. Aku pergi dulu. Ayo, Lun.”

​Alya menarik tangan Luna dan bergegas meninggalkannya. Ia bisa merasakan tatapan bingung Deo di belakangnya.

​Luna menoleh, wajahnya penuh keheranan. “Kenapa, Al? Kenapa kau menolak? Deo itu cowok baik, lho. Dan kau kelihatan butuh catatan itu.”

​“Aku hanya… aku tidak mau berhutang budi pada siapa pun lagi, Lun,” Alya berbohong. Ia menahan keinginan untuk kembali dan menjelaskan bahwa ia baru saja menikah dengan seorang CEO posesif yang menganggapnya sebagai barang.

​Pukul 16.50. Alya tiba di villa Arka, hanya sepuluh menit sebelum batas waktu yang ditentukan.

​Ia menemukan Arka sudah berada di ruang keluarga, duduk di sofa kulit hitam, membaca berkas di pangkuannya. Di tangannya ada segelas wine merah.

​Alya melepas sepatu, meletakkannya dengan rapi sesuai kebiasaan lama. Ia berdiri di ambang pintu ruang keluarga, berharap Arka tidak menyadari ketidakpatuhannya yang kecil di sekolah tadi.

​Arka mendongak. Matanya yang tajam menatap Alya dari kepala hingga kaki. Tatapannya tidak mengandung kehangatan, tetapi pemeriksaan teliti.

​“Kau terlambat tiga menit,” ujar Arka, suaranya tenang, namun mengandung teguran.

​“Maaf,” Alya membalas. “Jalanan macet.”

​Arka meletakkan berkasnya. Ia tidak membicarakan macet. Ia berbicara tentang hal lain.

​“Aku melihat daftar belanjaanmu untuk bulan ini. Semua sudah kuurus,” kata Arka, lalu ia menyeringai kecil. Senyum itu terasa seperti gesekan pisau di kulit Alya.

​“Tapi ada yang menarik perhatianku. Tadi pagi, kau menolak menerima catatan dari teman priamu.”

​Jantung Alya berdebar. Bagaimana Arka tahu? Apakah dia memasang kamera? Apakah dia punya mata-mata di sekolah?

​“Itu tidak penting, Tuan Arka. Itu hanya catatan,” jawab Alya, mencoba terdengar acuh tak acuh.

​Arka berdiri, postur tubuhnya yang tinggi membayangi Alya. Ia berjalan perlahan ke arah Alya.

​“Kau melanggar Aturan No. 5, Alya,” katanya, berdiri di depan Alya. “Kau bicara dengannya, kau memberinya perhatian yang tidak perlu, dan kau menolak bantuannya dengan alasan konyol. Itu interaksi.”

​“Saya hanya menjawab sapaannya, Tuan! Saya tidak bisa diam saja seperti patung!” Alya balas membentak, keberaniannya muncul dari rasa terintimidasi.

​Arka mengangkat tangan, dan Alya refleks memejamkan mata, mengira ia akan dipukul. Tetapi tangan itu hanya berhenti di udara, sejajar dengan pipinya. Ia merasakan panas dari telapak tangan Arka.

​“Jangan membentakku, Alya.” Suara Arka rendah, tapi mengandung peringatan yang jelas. “Kau tidak punya hak untuk meninggikan suaramu di depanku. Tidak di rumah ini.”

​“Dan jangan pernah berpikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan. Aku memiliki mata di mana-mana. Apa yang kau lakukan di luar, apa yang kau makan, dengan siapa kau berbicara—semua sampai padaku dalam hitungan menit.” Arka menurunkan tangannya, lalu memegang dagu Alya, memaksanya menatap ke atas.

​“Kau adalah milik Darendra, Alya. Dan sebagai pemilik, aku berhak mengendalikan asetku agar tidak terdistraksi. Kau hanya perlu fokus pada sekolahmu dan kewajibanmu padaku. Sisanya, lupakan.”

​Alya menepis tangan Arka dengan gerakan cepat. Ia tidak bisa lagi menahan amarahnya.

​“Kewajiban? Saya adalah manusia, Tuan! Saya punya teman! Anda tidak bisa membeli harga diri saya hanya karena hutang lima miliar itu!”

​Mendengar kata ‘harga diri’, Arka terlihat marah. Matanya menggelap. Ia meraih lengan Alya dan menariknya kasar, memaksa Alya untuk menempel erat di tubuhnya. Perbedaan tinggi dan kekuatan mereka membuat Alya tidak berdaya.

​Arka menunduk, bibirnya hampir menyentuh telinga Alya.

​“Kau benar. Aku tidak membeli harga dirimu,” desis Arka. “Aku membeli seluruh tubuh, jiwa, dan waktu luangmu. Dan karena kau berani membentakku dan menantang aturanku… aku akan memberimu pelajaran kecil tentang hak suamimu.”

​Ketegangan seksual langsung membakar udara di antara mereka. Arka menarik tubuh Alya semakin erat, pinggulnya menekan pinggul Alya. Alya bisa merasakan seluruh kekuatannya, gairahnya yang tersembunyi, dan dominasinya.

​“Malam ini, kau akan tidur di ranjang itu, menghadapku, Alya. Dan aku akan pastikan kau mengerti arti kata ‘milik’,” bisik Arka, suaranya serak, menjanjikan ketegangan emosional dan fisik yang jauh lebih intens dari malam sebelumnya.

​Arka melepaskan Alya dengan sentakan. Alya terhuyung mundur, jantungnya berdebar kencang. Ia tahu, ia baru saja melewati batas yang tidak bisa ditarik kembali. Pemberontakan kecilnya berakibat pada tuntutan yang jauh lebih besar.

​“Sekarang, pergi ke atas. Mandi, dan tunggu aku di kamar. Jangan sampai aku menunggu lebih dari sepuluh menit,” perintah Arka, suaranya kembali dingin, tetapi matanya memancarkan api yang berbahaya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!