Anton selalu pulang dengan senyum hangat, perhatian yang tak berubah, dan alasan pekerjaan yang terdengar sangat wajar. Terlalu wajar, hingga Nayla tak pernah merasa perlu meragukannya.
Namun ketika satu demi satu kejanggalan kecil muncul, Nayla mulai dihadapkan pada kenyataan pahit. Pengkhianatan tak selalu datang dari sikap yang dingin, melainkan dari kehangatan yang dijaga dengan terlalu rapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caracaramel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Anton masih di kamar mandi ketika Nayla bangun. Suara aliran air terdengar stabil, ritmis. Seolah tidak ada apa pun yang ganjil. Nayla duduk di tepi ranjang sambil memegangi kepalanya.
“Pagi,” sapa Anton ketika keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah, wangi sabun memenuhi kamar.
“Pagi,” jawab Nayla lemah.
Anton mendekat dan mencium pipinya. “Semalam kamu tidur larut ya?”
“Iya. Aku susah tidur, Mas.”
Anton mengangguk, seolah itu hal biasa.
“Nanti kamu istirahat aja. Biar Bu Sari yang beresin rumah.” ujar Anton. Nayla mengangguk, kemudian berjalan menuju kamar mandi.
***
Di meja makan, suasananya terasa hening. Dea, dengan seragam SMA-nya, mencoba menghidupkan suasana.
“Ma, nanti sore aku latihan teater. Pulangnya agak malam.”
Nayla tersenyum kecil. “Oke sayang, hati-hati.”
“Papa antar?” tanya Dea pada Anton.
Anton menggeleng sambil mengaduk kopi. “Iya. Tapi Papa nggak bisa jemput, ya. Papa ada Meeting.”
Dea mengangguk.
Dan di tengah suara sendok dan piring, Nayla memperhatikan hal kecil: Anton hari ini memilih kemeja baru, yang biasanya dia pakai saat ada pertemuan penting.
“Ada meeting apa?” tanya Nayla.
“Ada presentasi internal,” jawab Anton ringan. “Nggak penting sih sebenarnya.”
Nayla mengamati gerakan Anton yang begitu luwes, santai, seolah tidak ada yang perlu dicurigai. Justru itu yang membuat hatinya berdebar tidak nyaman.
Setelah Anton dan Dea berangkat, Nayla duduk lama di sofa. Televisi menyala, tapi dia tidak melihat apa pun. Ada suara dari belakangnya. Suara Bu Sari.
“Mbak, mau saya buatkan roti isi?”
Nayla mengangguk tanpa menoleh. “Boleh.”
Beberapa menit kemudian, Bu Sari kembali menaruh roti isi di meja. Namun wanita setengah baya itu tidak langsung pergi.
“Mbak Nayla, boleh saya bicara?”
Nayla menoleh perlahan. “Ada apa, Bu?”
“Saya takut salah bicara. Tapi saya lihat Mbak beberapa hari ini gelisah sekali. Kalau ada apa-apa, jangan dipendam sendiri.”
Nayla menelan ludah.
Bu Sari melanjutkan dengan suara pelan, “Suami lembur itu hal biasa. Tapi kalau Ibu merasa sesuatu berubah, biasanya naluri perempuan tidak salah.”
Kalimat itu membuat jantung Nayla mencelos. “Bu Sari…” Nayla memejamkan mata. “Saya… saya juga takut benar. Takut salah.”
“Takut salah itu wajar, Mbak,” jawab Bu Sari lembut. “Yang bahaya justru kalau Mbak takut mencari tahu kebenaran.”
Kata-kata itu menusuk Nayla. Dia tidak pernah berpikir sampai ke sana. Tapi bukti-bukti itu datang sendiri.
***
Siang itu, Nayla memutuskan keluar sebentar untuk belanja. Tapi saat ia berada di mobil, ia berhenti lama sebelum menyalakan mesin. Dia memandangi jalanan. Mobil-mobil lewat. Angin menerpa dedaunan.
Tapi pikirannya terhenti pada satu pertanyaan, Apa benar Anton lembur setiap malam itu? Pertanyaan itu menggantung di udara, berat, dan menekan hebat setiap napasnya. Pertanyaan yang bahkan Nayla sendiri takut untuk menjawabnya.
Ia menggenggam setir dengan erat.
Sebentar lagi dia tahu, sebentar lagi hatinya tidak akan kuat untuk hanya menunggu jawaban dari mulut Anton.
Dia mungkin akan mencari jawaban sendiri.
Tapi belum hari ini. Hari ini, Nayla hanya menatap jalanan kosong, menunda langkah yang ia tahu suatu hari akan dia ambil, langkah yang akan membawa konsekuensi yang tidak bisa dia tarik kembali.
Setelah duduk terdiam cukup lama di dalam mobil, Nayla akhirnya memutuskan keluar dan berjalan menuju minimarket kecil di dekat komplek. Ia berpikir, mungkin udara luar bisa sedikit meredakan sesak di dadanya.
Saat mendorong pintu kaca, suara cling khas minimarket menyambutnya. Pendingin ruangan membuat kulitnya sedikit merinding. Nayla mengambil keranjang dan berjalan menyusuri rak-rak, mencoba memikirkan hal-hal ringan, sabun cuci yang mulai habis, tisu dapur, minyak goreng, hal-hal biasa yang seharusnya tidak ada hubungannya dengan kehancuran sebuah rumah tangga.
Tapi setiap kali ia mengambil sesuatu dari rak, pikirannya selalu kembali pada Anton.
Nayla memejamkan mata sejenak sambil memegang keranjang. Itu membuat tubuhnya terasa ringan, tapi kepalanya berputar.
Seorang kasir remaja menyapanya, “Ibu, nggak apa-apa? Wajahnya pucat.”
Nayla langsung tersadar. “Oh iya, nggak apa-apa. Kelelahan saja.”
Dia tersenyum tipis, lalu membayar belanjaan. Klise. Semua tampak normal di luar. Sementara di dalam hatinya, ada badai yang menunggu waktu untuk meledak.
****
Malam datang. Dea sudah tidur karena kelelahan latihan teater. Rumah terasa sepi. Nayla duduk di ruang kerja kecil di samping kamar, menatap layar laptopnya yang kosong.
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam.
Anton belum pulang. Lembur lagi.
Nayla menatap jam, lalu menatap pintu rumah. Ada dorongan aneh di dadanya, dorongan untuk mengambil kunci mobil, keluar, dan pergi ke kantor Anton.
Tiba-tiba saja. Dia mengusap wajahnya.
“Kenapa aku jadi seperti ini?” bisiknya lirih.
Ada pertarungan di dalam dirinya. Antara rasa ingin tahu dan rasa takut tahu. Tangannya meraih ponsel. Dia membuka kontak Anton, jempolnya berada tepat di atas tombol telepon. Tapi dia tak jadi menekan.
Kalau dia telepon dan Anton tidak mengangkat, dia tahu hatinya akan lebih hancur lagi. Nayla menunduk, menghela napas panjang. Air matanya jatuh tanpa suara.
Saat itu, dia menyadari sesuatu, Rasa curiga bukan datang dari ketiadaan bukti, tapi dari ketiadaan ketenangan. Dan Nayla sudah tidak tenang. Sudah sejak lama. Tapi, dia hanya belum berani mengakuinya.
Air mata yang jatuh itu bukan karena bukti.
Bukan karena Anton pulang larut dua malam berturut-turut. Bukan juga arena perubahan kecil yang ia temui tanpa sengaja.
Melainkan karena sesuatu yang lebih halus, lebih menyakitkan, naluri perempuan yang mulai menyerah kalah.
Nayla menyeka pipinya dengan cepat, seolah ada seseorang yang sedang memperhatikannya. Ia berdiri, berjalan mondar-mandir kecil di ruang kerja.
Lampu ruangan hanya satu, redup, membuat bayangannya terlihat panjang di dinding.
Setiap langkah seperti memukul udara yang berat. Nayla menatap jendela kecil di ruang kerja. Dari sana, ia bisa melihat bagian depan rumah: gerbang, jalan, dan area tempat Anton biasa memarkir mobil.
Dia menelan ludah, duduk kembali, tetapi dadanya justru semakin berdebar.
Ada sesuatu dalam keheningan malam itu yang terasa salah.
Jam menunjukkan 22.17.
Nayla memejamkan mata, mencoba bernafas pelan. Jika ia keluar mencari Anton sekarang, itu akan tampak seperti wanita yang cemburu tanpa alasan.
Wanita yang tidak percaya suaminya dan gelisah berlebihan.
Tapi jika ia hanya diam di rumah, sesuatu di dirinya seolah mengatakan ia sedang membiarkan sesuatu lolos begitu saja.
Dia membuka mata. Matanya kini memandang pintu rumah. Kenapa aku tidak langsung pergi saja? Apa yang sebenarnya aku takutkan?
Waktu berlalu beberapa detik yang terasa sangat panjang. Kemudian, pelan-pelan Nayla berdiri. Tidak terburu-buru, tetapi tidak ragu.
Ia melangkah ke kamar, memastikan Dea benar-benar tidur. Putrinya terlelap, wajahnya tenang, ibu jari masih menempel di halaman buku catatan latihan teaternya. Nayla meraih selimut, menutupinya lebih rapat.