Bagaimana jika di hari pernikahan setelah sah menjadi suami istri, kamu ditinggal oleh suamimu ke luar negeri. Dan suamimu berjanji akan kembali hanya untukmu. Tapi ternyata, setelah pulang dari luar negeri, suamimu malah pulang membawa wanita lain.
Hancur sudah pasti, itulah yang dirasakan oleh Luna saat mendapati ternyata suaminya menikah lagi dengan wanita lain di luar negeri.
Apakah Luna akan bertahan dengan pernikahannya? Atau dia akan melepaskan pernikahan yang tidak sehat ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjemput Luna
Dengan panik, Rafi bergegas ke apotek, membawa botol obat yang kosong. Ia menunjukkan botol itu kepada seorang pegawai. "Mbak, obat ini, berapa harganya?" tanyanya tergesa-gesa.
Pegawai apotek itu mengambil botol kosong itu, membaca labelnya, dan kemudian memeriksa di komputer. Matanya melebar sedikit, kemudian ia menatap Rafi. "Obat ini harganya lima ratus ribu per butir, Pak."
Mendengar harga obat itu, Rafi terkejut. Mulutnya sedikit terbuka. Selama ini, ia tidak pernah tahu harga obat ibunya semahal itu. Ia selalu berpikir Luna hanya membelikan obat biasa. Lima ratus ribu per butir? Selama ini, ibunya minum obat itu setiap hari. Pantas saja uang bulanan lima juta yang ia kirim selalu habis. Perasaan bersalah kembali menghampirinya, namun segera dia tepis karena egoisnya yang mendominasi.
"Satu bulan ibu butuh berapa butir, ya?" tanyanya, mencoba terlihat tenang.
"Biasanya satu butir sehari, Pak. Jadi tiga puluh butir sebulan," jawab pegawai apotek.
Otak Rafi berhitung cepat. Tiga puluh butir kali lima ratus ribu? Lima belas juta? Gila! Ia tidak mungkin mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk obat ibunya.
"Saya ambil dua butir saja, Mbak," ucap Rafi, suaranya pelan.
Setelah membayar dengan uang tunai yang ia miliki, Rafi kembali ke rumah. Di sana, Bu Endah sudah terbaring di sofa, wajahnya pucat. Pak Doni mengusap kening istrinya, sementara Saras hanya duduk diam, memandang ke luar jendela, tidak ada inisiatif sama sekali dari wanita itu untuk membantu ibu mertuanya.
Rafi menyerahkan kantong plastik berisi dua butir obat itu kepada ibunya. "Ini, Bu. Diminum dulu."
Bu Endah mengambil kantong itu, membukanya, dan terkejut. "Loh, kok cuma dua butir, Nak? Biasanya Luna belikan banyak, cukup untuk sebulan."
Rafi menghela napas. "Harganya mahal, Bu. Lima ratus ribu per butir. Ini sudah akhir bulan, uang sudah menipis."
Mendengar itu, Bu Endah melongo. Selama ini dia tidak tau kalau harga obat yang selama ini dia minum harganya semahal itu. Dia lalu menatap Saras, seolah berharap istri baru anaknya itu menawarkan diri untuk membelikannya obat sepertu yang dilakukan oleh Luna sebelumnya. Namun, Saras hanya membuang muka, pura-pura tidak mendengar. Rasa sakit di dada Bu Endah terasa semakin parah, bukan hanya karena penyakitnya, tetapi juga karena menyadari bahwa tanpa Luna, tidak ada yang peduli pada kebutuhannya.
Setelah menelan satu obat mahal itu, Bu endah meminta bicara dengan Rafi.
"Rafi," panggil Bu Endah lemah. "Kamu jemput Luna. Ibu tidak bisa begini. Tidak ada pekerjaan yang beres di rumah ini tanpa Luna di rumah ini. Tidak ada yang mau membelikan obat Ibu. Rafi, jemput Luna sekarang juga."
Rafi mengangguk, menyetujui permintaan ibunya. Memang benar tanpa Luna tidak ada yang beres di rumah ini.
"Baik, Bu. Aku akan jemput Luna. Dia pasti pulang ke rumah kakeknya karena hanya rumah itu yang menjadi tempat tujuan Luna selama ini." ujar Rafi penuh keyakinan.
Rafi mengendarai mobilnya menuju rumah kakek Luna yang dia ketahui selama ini. Setibanya di rumah sederhana itu, dia disambut oleh Kakek Darma yang sedang minum teh di teras rumahnya, pria tua yang bijaksana namun sorot matanya selalu tajam.
"Selamat siang, Kek," sapa Rafi dengan nada sopan. "Maaf mengganggu, saya mau mencari Luna. Apa dia ada di sini?"
Kakek Darma menatap Rafi dengan dingin. "Luna? Dia tidak ada di sini. Memangnya ada apa?"
Rafi menjelaskan dengan gugup. "Kami sedikit bertengkar, Kek. Saya ingin minta maaf padanya dan mengajaknya pulang. Saya pikir dia pulang ke sini."
Kakek Darma tersenyum sinis. "Bertengkar? Aku rasa lebih dari itu.Aku kenal cucuku, Luna tidak akan meninggalkan orang-orang yang dia cintai jika kamu tidak melakukan sesuatu yang fatal. "
Wajah Rafi memucat. Ia tidak menyangka pria tua ini bisa menebak dengan benar.
"Kamu telah mengecewakan kesempatan yang kuberikan, Rafi. Dan yang paling penting, kamu telah mengecewakan Luna," ucap Kakek Darma, suaranya dipenuhi kekecewaan.
"Aku sudah tahu sejak awal kamu bukan pria yang baik, tapi Luna memaksa untuk menikahimu. Aku berikan dia kesempatan, dan sekarang, semua ketakutan ku menjadi kenyataan."
Rafi tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya menunduk, merasa malu. Setelah mendengar semua itu, Rafi kembali ke rumah dengan tangan kosong, dan hati yang semakin dipenuhi rasa bersalah dan penyesalan.
Setelah kepergian Rafi, Kakek Darma segera menghubungi Luna. "Luna, di mana kamu sekarang? Kakek ingin bertemu."
"Aku...aku di rumah mertuaku ke."
"Jangan bohong, katakan sejujurnya sekarang kamu dimana. " nada kakek Darma meninggi mendengar kebohongan cucunya itu.
"D... Di apartemenku, Kek," jawab Luna. "Aku baik-baik saja."
"Baiklah jangan kemana-mana. Sekarang kakek akan ke sana. Kita harus bicara."
Kakek Darma langsung mengakhiri panggilan tanpa salam dan langsung menuju ke apartemen Luna.
Luna sendiri merasa kebingungan mendengar suara kakek yang tidak biasa, apakah kakeknya sudah mendengar tentang perpisahan nya dengan Rafi? Luna bertanya-tanya pada dirinya sendiri dan tidak mendapatkan jawaban. Tapi seberapa keras dia berfikir, tapi dia yakin kalau kakeknya pasti tau cepat atau lambat.
Setibanya di apartemen Luna, Kakek Darma memeluk cucunya dengan erat. "Maafkan kakek, Luna. Seharusnya kakek tidak membiarkanmu menikah dengan pria itu."
Luna tersenyum tipis. "Tidak, Kek. Justru aku yang harusnya minta maaf. Kakek sudah benar, insting kakek lebih tajam daripada cintaku yang buta."
"Sudahlah, apa yang sebenarnya terjadi. Katakan pada kakek. "
Atas permintaan kakeknya itu, Luna menceritakan semua yang terjadi. Tentang perselingkuhan Rafi, tamparan, dan sikap keluarga Rafi yang tidak tahu terima kasih.
"Aku sudah mantap, Kek. Aku ingin bercerai," kata Luna.
"Kakek dukung sepenuhnya," jawab Kakek Darma. "Kamu berhak mendapatkan kebahagiaan. Kakek akan siapkan pengacara terbaik."
"Tidak perlu, Kek. Aku sudah minta Naura untuk mengurus perceraian ku. Tuntutannya hanya agar mereka mengembalikan semua uang yang sudah aku keluarkan selama ini untuk mereka," jelas Luna.
Kakek Darma menghela napas. "Rafi dan keluarganya itu adalah keluarga toxic, Luna. Cukup kamu saja yang menjadi korban. Sekarang, kamu pulang ke rumah kakek. Jangan lagi tinggal sendirian."
Luna menggeleng,
"Kenapa? kita pulang ke rumah utama, kakek juga sudah bosan berpura-pura menjadi orang biasa. Kita tunjukkan kepada mereka siapa kita sebenarnya. "
"Nggak usah kek, Aku masih ingin tinggal di apartemen ini dulu. aku ingin sendiri dan menata hatiku dan menyembuhkan jiwaku yang terluka karena mereka. Aku juga akan mulai masuk kerja besok. "
"Ya sudah, terserah kamu saja. Asalkan kamu menjaga dirimu dengan baik. "
Luna mengangguk, akhirnya dia bisa merasakan kembali kehangatan keluarga yang sesungguhnya.