Hari yang seharusnya menjadi momen terindah bagi Hanum berubah menjadi mimpi buruk. Tepat menjelang persalinan, ia memergoki perselingkuhan suaminya. Pertengkaran berujung tragedi, bayinya tak terselamatkan, dan Hanum diceraikan dengan kejam. Dalam luka yang dalam, Hanum diminta menjadi ibu susu bagi bayi seorang duda, Abraham Biantara yaitu pria matang yang baru kehilangan istri saat melahirkan. Dua jiwa yang sama-sama terluka dipertemukan oleh takdir dan tangis seorang bayi. Bahkan, keduanya dipaksa menikah demi seorang bayi.
Mampukah Hanum menemukan kembali arti hidup dan cinta di balik peran barunya sebagai ibu susu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Tiba ... Tiba
Langkah kaki Abraham terdengar mantap saat memasuki halaman rumah besar keluarga Biantara. Mobil yang ia kendarai baru saja terparkir, namun dalam hatinya masih tersisa riak-riak resah. Bayangan di makam tadi, wajah itu semuanya masih menempel di pikirannya.
Namun, begitu pintu utama terbuka, ia mendapati Hanum sudah berdiri di sana, menyambutnya dengan senyum lembut. Senyum yang begitu hangat hingga seolah menghapus kabut lelah di wajah Abraham.
“Selamat datang, Mas,” ucap Hanum pelan, suaranya menenangkan, seolah menjadi obat dari segala beban yang ia tanggung hari itu.
Abraham tertegun sejenak. Pandangannya melekat pada sosok Hanum, yang berdiri sederhana namun penuh ketulusan. Seketika ia sadar, orang yang telah pergi tidak mungkin kembali. Yang meninggal tidak bisa hidup lagi. Mungkin semua yang ia lihat dua hari terakhir hanyalah halusinasi, sebuah ilusi akibat pikirannya yang terlalu lelah.
'Mungkin aku hanya … terlalu merindukanmu, Alma,' gumamnya lirih dalam hati, sebelum akhirnya menatap Hanum lebih lama.
Malam itu, rumah terasa jauh lebih tenang dari biasanya. Kevin, bayi kecil yang kini berusia tujuh bulan, tampak bermain di atas ranjang Hanum. Gelak tawanya mengisi kamar dengan keceriaan. Hanum duduk di sampingnya, wajahnya berbinar setiap kali Kevin menepuk-nepuk tangan mungilnya.
Saat Abraham membuka pintu kamar dan melangkah masuk, pandangannya tertuju pada pemandangan itu. Hanum dengan senyum lembutnya, Kevin yang tertawa renyah, dan suasana hangat yang tercipta tanpa ia sadari.
Dadanya mendadak sesak, bukan karena kehilangan, tapi karena sesuatu yang baru mulai tumbuh. Pelan, Abraham mendekat. Ia berdiri di sisi ranjang, lalu ikut menunduk, memperhatikan Kevin yang meraih jemari Hanum erat-erat, seakan takut terlepas.
“Dia sudah semakin mirip kamu,” ujar Abraham, suaranya terdengar rendah, namun ada ketulusan yang sulit disembunyikan. Hanum menoleh, sedikit terkejut mendengar nada suara Abraham yang berbeda malam itu. Ada kelembutan yang jarang ia dengar. “Masih tetap mirip ibunya Alma,” jawabnya lirih, hati-hati.
Abraham terdiam sejenak. Nama itu, nama istrinya, sempat membuat dadanya kembali bergemuruh. Namun, ketika matanya bertemu dengan tatapan Hanum, ada dorongan kuat dalam dirinya untuk tidak lagi larut dalam bayang-bayang masa lalu.
Dia duduk di samping ranjang, tangannya perlahan ikut menyentuh tangan mungil Kevin yang masih bermain di pangkuan Hanum. Saat kulit mereka bersentuhan, ada sesuatu yang hangat menjalar ke dadanya.
“Hanum…” suara Abraham terdengar pelan. Dia sendiri tak mengerti kenapa dadanya bergetar saat menyebut nama itu. Hanum menoleh, wajahnya penuh tanya.
“Mungkin … sudah saatnya aku benar-benar berhenti hidup dalam kenangan. Aku tidak bisa terus menengok ke belakang,” Abraham menatap Kevin, lalu kembali menatap Hanum. “Aku harus menatap ke depan, untuk Kevin … dan untukmu.”
Hanum menahan napasnya. Kata-kata itu bagai air yang menetes pelan ke dalam hatinya yang lama kering. Dalam keheningan malam itu, perlahan Abraham meraih tangan Hanum. Ia menggenggamnya, tidak terlalu erat, tapi cukup untuk membuat Hanum sadar ada sesuatu yang baru tumbuh di antara mereka. Untuk pertama kalinya sejak Alma pergi, Abraham berusaha membuka hatinya. Ia mencoba mendekat lagi, benar-benar mendekat, pada Hanum. Bukan sekadar demi Kevin, tetapi demi dirinya sendiri.
Keesokan paginya.
Pagi-pagi, sebelum berangkat kerja, Abraham mulai terbiasa duduk lebih lama di meja makan. Tidak lagi terburu-buru meneguk kopi lalu berangkat. Ia kini sering menatap Hanum diam-diam, memperhatikan cara istrinya menyendokkan bubur kecil untuk Kevin, atau sekadar cara Hanum tersenyum saat bayi itu merengek manja. Hanum sedang menyuapi Kevin, Abraham meneguk kopinya lalu berkomentar pelan.
“Dia tidak pernah rewel kalau denganmu. Dengan orang lain, termasuk aku, dia selalu menangis.”
Hanum menoleh, sedikit canggung dengan sorot mata suaminya yang meneliti. “Mungkin … karena Kevin lebih sering sama saya, Mas. Anak kecil peka, dia merasa lebih dekat dengan ibu susunya.”
Abraham terdiam, lalu mencondongkan tubuhnya, menatap Kevin yang asyik menggenggam jari Hanum. “Aku juga ingin dia dekat denganku. Aku ayahnya, Hanum.”
Nada suaranya serius, namun samar-samar ada rasa cemburu. Hanum sempat salah tingkah, lalu tersenyum kecil. “Kalau begitu, Mas harus sering menggendongnya, Kevin pasti terbiasa.”
Hari itu, untuk pertama kalinya Abraham benar-benar mencoba menggendong Kevin lebih lama. Meski awalnya bayi itu merengek, Hanum sabar mendampingi, menuntun tangannya. Dan ketika akhirnya Kevin tertawa kecil di pelukan ayahnya, Abraham tersenyum lebar, senyum yang bahkan membuat Hanum tertegun karena jarang sekali ia melihat wajah suaminya seterang itu.
Kedekatan itu berlanjut di malam hari. Abraham tak lagi tidur sendirian di kamarnya, melainkan memilih tetap di kamar Hanum. Kadang ia pura-pura masih sibuk membaca dokumen di sofa, tapi sesungguhnya matanya sering melirik ke arah ranjang, memperhatikan Hanum yang sudah terlelap dengan Kevin di pelukannya.
Suatu malam, Hanum terbangun karena Kevin gelisah. Ia bangkit, berniat menimang bayinya, namun tiba-tiba tangan hangat menyentuh punggungnya.
“Biar aku yang gendong,” suara Abraham terdengar rendah.
Hanum menoleh kaget. Abraham sudah berdiri di sampingnya, dengan kaus hitam tipis dan celana rumah, wajahnya tampak lembut di bawah cahaya lampu temaram. Ia meraih Kevin dari pelukan Hanum, lalu mulai menimang pelan. Suaranya lirih, nyaris seperti bisikan doa.
“Tidurlah, Nak. Papa ada di sini…”
Hanum terdiam, hatinya bergetar melihat sisi Abraham yang jarang ia lihat. Selama ini, Abraham begitu dingin dan keras, tapi kini di hadapannya berdiri seorang ayah yang penuh kasih sayang.
Ketika Kevin akhirnya terlelap, Abraham menunduk menatap Hanum. “Kau juga harus istirahat. Kau sudah terlalu lelah seharian mengurusnya.”
Hanum tersipu, menunduk pelan. “Saya sudah terbiasa, Mas. Tidak apa-apa.”
Abraham tersenyum tipis, lalu tanpa pikir panjang, ia meraih jemari Hanum. Genggaman itu hangat, tak ada paksaan. “Mulai sekarang … kau tidak sendirian lagi. Kau punya aku.”
Hanum tertegun, jantungnya berdetak cepat, wajahnya memanas. Ia tidak bisa membalas kata-kata itu, tapi tatapannya yang bergetar sudah cukup untuk menjawab.
"Mas,"
"Hmm," sahut Abraham tanpa menoleh ke arah Hanum.
"Tiba-tiba saja rasa itu muncul, tiba-tiba saja keinginan berharap itu ada ... dan tiba-tiba saja aku ingin memiliki bayi lagi. Tiba-tiba saja semua itu begitu cepat, Mas." Suara Hanum bergetar, wanita ini sudah mencoba menahannya tetapi rasanya dia tak sanggup lagi menyimpan perasaan itu.
Abraham mendekat, duduk di sisi ranjang, lalu menatap Hanum lama, terdengar isak tangis Hanum yang takut akan penolakan Abraham.
"Hanum," Abraham menarik Hanum dalam pelukannya di mana Kevin juga masih berada di sana. Dia mengusap lembut rambut Hanum, seakan mencoba berbisik, dia akan belajar, belajar mencintai, belajar menerima, belajar terlepas dari cinta masa lalu agar tak menyakiti Hanum.
Btw terimakasih author bacaan yng bagus 👏👏👏❤❤❤