NovelToon NovelToon
Kebangkitan Zahira

Kebangkitan Zahira

Status: tamat
Genre:Wanita Karir / Pelakor jahat / Cinta Lansia / Tamat
Popularitas:1.3M
Nilai: 4.9
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

pernikahan selama 20 tahun ternyata hanya jadi persimpangan
hendro ternyata lebih memilih Ratna cinta masa lalunya
parahnya Ratna di dukung oleh rini ibu nya hendro serta angga dan anggi anak mereka ikut mendukung perceraian hendro dan Zahira
Zahira wanita cerdas banyak akal,
tapi dia taat sama suami
setelah lihat hendro selingkuh
maka hendro sudah menetapkan lawan yang salah
mari kita saksikan kebangkitan Zahira
dan kebangkrutan hendro

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KZ 11

Selama tujuh jam tanpa henti, Adit mengendarai motornya. Sementara itu, Zahira tertidur beberapa kali di belakangnya, dan dalam kantuknya, pipinya sesekali menyentuh punggung Adit, usia memang tidak bisa dibohongi ditambah perjalanan jauh dan cari adit membawa speda motor membuat zahira sering tertidur.

Motor akhirnya berhenti, angin subuh yang dingin menerpa wajah mereka. Udara menusuk lembut ke pipi Zahira, membuatnya menggigil pelan dan perlahan membuka mata dari kantuknya.

“Di mana ini, Dit?” tanya Zahira dengan suara serak, masih setengah sadar dari kantuknya, matanya menyapu sekitar yang mulai diterangi lampu redup dari mesjid.

"Paling sekitar 30 menit lagi kita sampai di rumahmu. Kita shalat subuh dulu di sini, sambil menunggu pagi. Kalau kamu datang terlalu pagi, mereka bisa khawatir," ucap Adit.

Zahira menatap Adit sejenak, lalu menghela napas panjang. Dari hembusannya yang pelan, terlihat asap tipis mengepul—tanda udara subuh yang menusuk dingin.

“Kamu pasti lelah, ya?” tanya Zahira pelan, suaranya menghangat di antara udara subuh yang dingin, matanya menatap Adit dengan rasa bersalah dan khawatir.

“Dua puluh tahun aku menunggu kamu, nggak kenal lelah,” ucap Adit sambil menyeringai, mencoba menyembunyikan rasa letih di balik candanya yang hangat.

“Kamu ini…” ucap Zahira sambil tersipu, mencoba menutupi rasa malunya. “Aku mau ke kamar mandi dulu,” lanjutnya, buru-buru mengalihkan pembicaraan.

“Oke, aku juga sekalian mau ambil air wudhu,” ucap Adit, lalu melangkah menuju tempat wudhu yang terpisah dari toilet perempuan, membiarkan Zahira berjalan ke arah yang berbeda dengan langkah pelan.

Zahira melirik ke arah toilet yang lampunya tampak redup dan terasa sedikit menyeramkan di tengah suasana subuh.

“Gak jadi, aku di sini aja,” ucapnya pelan, lalu kembali mendekat arah tempat tadi mereka duduk

 “Astaga, ke mana Zahira yang pemberani itu?” ucap Adit sambil tertawa kecil.

Lalu ia berjalan mendekat ke arah toilet dan berdiri tak jauh dari sana.

“Ayo cepetan, jangan sampai pipis di motorku, susah nyucinya nanti,” godanya sambil melipat tangan di dada.

Zahira mencemberut, tapi tak ada pilihan lain. Dia benar-benar ingin buang air kecil, dan meski keberadaan Adit dekat dengan toilet sempat membuatnya canggung, justru itu yang membuatnya merasa lebih tenang.

Dalam hatinya, ada rasa hangat yang perlahan muncul. Selama 20 tahun menikah dengan Hendro, tak pernah sekalipun dia diantar ke kamar mandi umum. Kalau pun dia minta, selalu dianggap manja. Tapi Adit... tanpa diminta pun dia sudah tahu caranya membuat Zahira merasa aman.

Setelah menyelesaikan shalat subuh, Adit mengajak Zahira sarapan di warung kopi kecil dekat masjid. Aroma kopi hitam dan gorengan hangat mengisi udara pagi yang masih dingin. Namun, Zahira tampak melamun, tatapannya kosong menembus kabut tipis. Adit memperhatikan, tapi sengaja membiarkannya tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Sebentar lagi mereka akan sampai di rumah orang tua Zahira—paling lambat 30 menit lagi. Tapi justru di saat itu, keraguan mulai menyelinap dalam hatinya.

"Akankah orang tuaku menerimaku?"

"Kenapa aku baru berpikir sekarang, setelah sampai di sini?"

"Haruskah aku balik lagi ke Jakarta?"

"Bapak dan Ibu sudah tua... bagaimana kalau mereka kaget dan jatuh sakit setelah tahu kabar ini?"

"Mereka sangat tidak suka perceraian..."

Bayangan-bayangan buruk mulai berputar-putar di kepala Zahira, membuatnya gelisah. Hatinya gamang, dilanda rasa bersalah, takut, dan ragu akan apa yang akan dihadapinya.

“Zahira, kenapa melamun terus?” tanya Adit, memecah keheningan pagi.

“Apa aku balik lagi ke Jakarta aja, ya, Dit?” ucap Zahira lirih, tanpa semangat.

“Hmmm… ya sudah, nanti balik lagi ke Jakarta setelah ketemu orang tua kamu,” jawab Adit dengan nada lembut namun tegas.

“Aku takut ketemu orang tuaku,” bisik Zahira, menunduk.

Adit terdiam sejenak, tampak termenung, lalu tiba-tiba terkekeh pelan.

“Kok kamu malah ketawa, sih?” tanya Zahira kesal, menatapnya heran.

“Kamu itu loh…” Adit menyeringai. “Aku hitung, umurmu udah 40 tahun, tapi kelakuannya kayak anak ABG yang pacaran dan takut ketahuan orang tua.”

Zahira tak bisa menahan senyum, meski hatinya masih gelisah. Candaan Adit, walau sederhana, entah kenapa bisa sedikit meredakan gundah yang menghimpit dadanya.

“Kamu nggak mengerti masalahku, Dit. Kalau kamu jadi aku, mungkin kamu nggak akan kuat,” ucap Zahira pelan, matanya menunduk penuh beban.

Adit menatapnya dalam, lalu berkata dengan lembut, “Zahira, jangan punya hati dan pikiran yang jelek terhadap orang tuamu. Ceritakan saja semua yang kamu alami. Mereka pasti punya solusinya. Walau umurmu sudah nggak muda lagi, di mata mereka kamu tetap anak gadisnya—yang perlu mereka lindungi.”

“Ih, sok paling muda aja,” balas Zahira sambil terkekeh kecil.

Entah kenapa, ucapan Adit barusan terasa menenangkan. Seperti embun yang menyapu kabut, perlahan pikiran buruk yang mengganggu mulai memudar, digantikan oleh keberanian kecil yang tumbuh di sudut hatinya.

,,

Di rumah sakit

Hendro mondar-mandir di depan ruang pemeriksaan dengan wajah cemas, tangannya berkeringat, langkahnya tak tentu arah. Waktu terasa begitu lambat.

Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya pintu ruang pemeriksaan terbuka. Seorang dokter keluar dengan wajah serius.

“Bagaimana, Dok?” tanya Hendro penuh kekhawatiran.

Dokter Frans menghela napas panjang sebelum menjawab, “Pak, lain kali orang tua Bapak dijaga betul-betul. Ini gara-gara telat minum obat, bisa berakibat fatal. Untung saja Bapak datang tepat waktu, jadi kondisinya bisa segera ditangani.”

Hendro tersentak. Hanya karena telat minum obat, dampaknya bisa begitu serius. Dadanya terasa sesak, terlebih saat ingatan tentang masa lalu menyeruak—betapa seringnya ia memarahi Zahira karena dianggap terlalu bawel, selalu mengingatkan ibunya untuk minum obat tepat waktu.

Dulu, dia menganggap Zahira terlalu cerewet, terlalu ikut campur. Tapi sekarang, kenyataan menamparnya keras. Disiplin yang dulu Zahira jaga demi kesehatan mertuanya, kini justru diabaikannya sendiri. Dan akibatnya begitu nyata, begitu menyesakkan..

“Lalu bagaimana kondisi ibu saya sekarang, Dok?” tanya Hendro dengan nada cemas, matanya menatap penuh harap pada dokter yang baru keluar dari ruang perawatan.

“Ibu Anda sudah melewati masa kritis. Sekarang tinggal menunggu beliau sadar,” ujar dokter. “Biarkan beliau istirahat dulu, dan jangan biarkan pikirannya terbebani atau bekerja terlalu keras.”

Hendro menghela napas panjang, dadanya terasa sedikit lebih ringan. Rasa lega perlahan menggantikan kecemasan—setidaknya ibunya masih bisa diselamatkan, masih ada waktu untuk menebus kelalaiannya.

“Zahira… oh, Zahira…” geram Hendro, suara parau penuh campuran emosi—antara amarah, penyesalan, dan kerinduan yang tertahan.

Sinta yang berdiri tak jauh darinya hanya mengerutkan dahi, bingung. Berkali-kali tuannya menyebut nama wanita itu dengan nada yang sulit dimengerti—seperti seseorang yang marah, tapi juga sangat membutuhkan.

Kemudian Hendro merogoh saku dan mengambil ponselnya, lalu menekan nomor Anggi. Sambungan langsung tersambung, tapi bukannya suara anaknya yang terdengar, melainkan dentuman musik keras—irama khas klub malam.

Hendro terdiam sejenak, lalu melirik jam di layar ponsel.

“Gila... jam empat pagi masih di diskotik,” geramnya, rahangnya mengeras. Tangannya menggenggam ponsel erat, nyaris ingin membantingnya saking marah dan kecewanya.

Kemudian Hendro mencoba menelepon Angga, anak lelakinya. Deringan pertama langsung tersambung, dan terdengar suara malas dari seberang.

“Halo, Pah… ada apa?” tanya Angga, terdengar setengah menguap.

“Angga, kamu di mana?” suara Hendro terdengar tegas, menahan amarah.

“Di rumah Tante Ratna. Habisnya, Papa marah-marah terus sih,” jawab Angga dengan nada tak peduli.

“Angga, cepat ke rumah sakit. Nenek kamu sedang kritis,” kata Hendro, berusaha menahan gemetar di suaranya.

“Ah, nanti siang aja. Aku belum tidur, habis main game sama teman-teman. Lagian nenek udah tua, Pah, tinggal nunggu aja,” sahut Angga santai.

“Angga!” teriak Hendro, nadanya meledak.

Dan kali ini, ia benar-benar membanting ponselnya ke lantai. Untung ponsel itu bagus dan dilengkapi pelindung kuat—hanya retak kecil di bagian layar.

Hendro menjambak rambutnya sendiri, dadanya bergemuruh oleh amarah dan frustrasi. Ia duduk di kursi tunggu rumah sakit dengan wajah tertunduk, merasa hancur. Anak-anaknya... sepertinya tidak ada satupun yang benar.

1
olra
semangat thor
Nur Bahagia
naif banget kamu zahra 😔 ayo sadarlah.. bangkitlah lawan mereka semuaaa
Ria Gazali Dapson
allhamdulillah , hendro berjodoh dg ratna , sama² penipu ulung , bentar lgi juga ratna dn hendro kena penyakit kelamin , ganti² pasangan, ank² hidupnya juga ancur²an 10 x masuk sel , masih ja zahira yg kau hina², hendro bodoh
Soraya
mampir thor
Erna Fkpg
mending tinggalin aja keluarga tonik kayak gitu
Mr T
👍
Yuliati Soemarlina
itu karena kamu hendro..terlalu memanjakan mereka..anak istri pada dmn...
Muffin: Hai sahabat pembaca!
Aku baru aja rilis cerita baru berjudul “Menjebak Cucu Presdir” ✨

Cleona hanya ingin menyelamatkan ibunya dari penyakit mematikan, tapi sebuah kesalahan membawanya ke kamar Batara, CEO muda yang dingin dan penuh rahasia. Kini, hidupnya terjerat antara bahaya, rahasia, dan perasaan yang tak pernah ia duga. Apakah ini awal kehancuran… atau takdir yang menunggu?

🔥 Jangan lupa mampir dan ikuti kisahnya yaa~
total 1 replies
Yuliati Soemarlina
kamu hendro seenak jidat..inget zahira hanya perlunya saja..nyesel deh sdh mengacuhkan..ini lg hendro tertarik dg pembantu baru
Yuliati Soemarlina
adit kan dr..kenapa gak kerja di rs ?
Dandelion
pantas anak2nya si zahira dan hendro pada durhakim ke ibunya...krn dikasih makan pakai uang haram 😁😂
Yuliati Soemarlina
hendro menganggap zahira hanya seorang pembantu..terasa sekarang zahira sdh pergi..ujung"nya menyesal..😄
Dandelion
anak2 durhakim...awas aja kalo sampai ada penyesalan...
Casudin Udin
Luar biasa
Nur Bahagia
ahh mirip di negeri Konoha inii 🤭
Endang Werdiningsih
langit dan senja anak" zahira yg dibuang ke panti asuhan
anisa edi
bagus Thor, next berburu judul berikutnya
anisa edi
bagus Thor selalu diapresiasi tulisannya
𝓔𝓵𝓲𝓼Kᵝ⃟ᴸ
ou bgt cerita nya tuh
𝓔𝓵𝓲𝓼Kᵝ⃟ᴸ
kok zahira yg dituju, bukan senja, zahira hanya karyawan bukan pemilik ZA
𝓔𝓵𝓲𝓼Kᵝ⃟ᴸ
berarti ratna punya duit ya klo menyanggupi byr ngundang mentri, tp waktu linda di penjara kok minta bantuan hendro, aneh 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!