NovelToon NovelToon
Sang Pewaris Tersembunyi

Sang Pewaris Tersembunyi

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Romansa Fantasi / Identitas Tersembunyi / Elf
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Momoy Dandelion

Dalam bayang-bayang dendam, kebenaran menanti untuk diungkap.
Acalopsia—negeri para elf yang dulu damai—kini gemetar di ambang kehancuran. Serangan kaum orc tak hanya membakar ladang, tapi juga merobek sejarah, menghapus jejak-jejak darah kerajaan yang sah.
Revalant, satu-satunya keturunan Raja R’hu yang selamat dari pembantaian, tumbuh dalam penyamaran sebagai Sion—penjaga sunyi di perkebunan anggur Tallava. Ia menyembunyikan identitasnya, menunggu waktu, menahan dendam.
Hingga suatu hari, ia bertemu Pangeran Nieville—simbol harapan baru bagi Acalopsia. Melihat mahkota yang seharusnya menjadi miliknya, bara dendam Revalant menyala. Untuk merebut kembali tahta dan membuktikan kebenaran masa lalu, ia membutuhkan lebih dari sekadar nama. Ia membutuhkan kekuatan.
Dilatih oleh Krov, mantan prajurit istana, dan didorong tekad yang membara, Revalant menempuh jalan sunyi di bawah air terjun Lyinn—dan membangunkan Apalla, naga bersayap yang lama tertidur.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11: Mitos Tentang Naga Es

Masa liburan telah tiba. Panen telah usai. Hari-hari kerja berat kini berganti dengan tawa yang pelan-pelan menggema di udara.

Perkebunan anggur keluarga Tallava tak lagi penuh suara ember dan alat panen—melainkan oleh suara roda gerobak kayu, derap sepatu kulit, dan tawa kecil para pekerja yang bersiap kembali ke kampung halaman.

Jalan utama yang biasanya hanya dilewati keranjang anggur, kini berubah menjadi lorong kenangan. Di kiri kanan, tanaman anggur menguning, seolah turut mengantar kepergian mereka yang selama ini menjaganya.

Seorang ibu tua mengecup kening putranya sambil berpesan agar jangan lupa mengirim kabar lewat burung perak. Pelayan dapur memberikan sekeranjang roti kering ke temannya yang akan berjalan jauh. Di kejauhan, seekor burung anggur putih—langka dan hanya muncul saat musim berganti—terbang melintas langit biru pucat, seolah menandai pergantian waktu.

Di bawah pohon anggur tertua, berdiri Barja. Tubuhnya tegap, wajahnya seperti biasa datar. Tapi kedua tangannya menggenggam kuat sehelai kain tua yang dulu dipakai Sion waktu kecil—ia tak ingin menunjukkan emosinya. Di depan Barja, berdiri Sion dengan punggung tegak dan dua buntalan di tangannya.

“Kau benar-benar akan pergi?” tanya Barja tanpa menatap langsung ke mata Sion.

Sion tersenyum tipis. “Iya. Aku ingin melihat kembali tempat itu. Sudah lama aku tidak ke sana. Mungkin rumah kecil kita masih berdiri… atau paling tidak, bekasnya.”

Barja menatapnya lama, seolah mencoba membaca sesuatu di balik wajah tenang Sion. Tapi tak ada kecurigaan yang muncul. Hanya bayangan nostalgia yang melintas di matanya.

“Kau selalu punya rasa ingin tahu sejak kecil. Tapi tempat itu sudah ditinggalkan lama. Tidak ada lagi yang bisa kau cari di sana.”

Sion mengangkat bahu. “Mungkin aku hanya ingin bernapas di tempat yang tak ada pagar dan jadwal panen.”

Barja mendengus, kemudian menepuk bahu Sion. “Jangan terlalu lama. Kau tahu banyak yang memperhatikan gerak-gerikmu. Meski kau berpura-pura, tetap saja... aura itu kadang tak bisa disembunyikan.”

Sion menahan napas sejenak, lalu mengangguk. “Aku akan hati-hati, Paman. Dan aku pasti kembali.”

Mereka tidak berpelukan, tidak saling menggenggam tangan. Tapi dalam satu sentuhan ringan di bahu, ada berat yang tak bisa diukur oleh kata-kata.

Sion melangkah meninggalkan Barja dan pohon anggur tua yang perlahan larut dalam kabut pagi. Jalannya tidak terburu-buru, namun langkahnya mengandung sesuatu.

Di sisi pondok batu dekat dapur luar, Sissel sedang membenahi tali buntalannya. Rambut merahnya dikuncir rendah dan ditutupi kerudung tipis berwarna cokelat tanah. Beberapa helai rambut tetap membangkang, melambai ditiup angin pagi.

Sion mendekat, membawa satu buntalan tambahan di punggung.

“Kau benar-benar akan pulang?” tanyanya.

Sissel menoleh, sedikit terkejut. “Tentu saja. Sudah tiga musim aku tak menjenguk ayah. Aku ingin memastikan rumah kami masih berdiri… dan ayah masih suka lupa makan,” katanya sambil tersenyum kecil.

“Syrren, bukan?” tanya Sion, pura-pura menebak.

“Benar. Itu nama desaku. Dua hari perjalanan dari sini. Melewati perbukitan dan hutan pinus.”

Sion mengangguk, lalu duduk di atas tumpukan kayu bakar di dekatnya, menyandarkan buntalannya. Pandangannya lurus, tapi jelas pikirannya bekerja.

“Kau tahu... aku pernah mendengar sebuah cerita dari Barja,” katanya sambil memutar-mutar rumput kering di jarinya. “Konon, di wilayah Syrren ada sebuah lembah. Curam, ditumbuhi lumut dan semak tebal. Di sana, ada gua tempat bersemayamnya seekor naga putih.”

Sissel menyipitkan mata. “Apa? Naga?” Nada suaranya separuh geli, separuh bingung.

“Bukan naga biasa. Naga es,” lanjut Sion, nadanya serius. “Tubuhnya bersinar saat bulan purnama. Katanya ia menjaga telur-telur kristal yang bersinar seperti bintang.”

“Lucu. Aku tinggal di sana bertahun-tahun dan belum pernah mendengar cerita semacam itu,” ucap Sissel sambil tertawa kecil.

“Barja mendengarnya dari seseorang yang katanya pernah tinggal di sana. Mungkin naga itu muncul hanya pada waktu tertentu. Lagipula, cerita semacam itu biasanya hanya diceritakan pada anak-anak yang sulit tidur.”

Sissel menatapnya curiga. “Jadi... kau ingin ke Syrren karena cerita naga?”

Sion menatap tanah sejenak, lalu kembali menatap matanya.

“Aku ingin membuktikan apakah cerita itu benar. Dan... aku belum pernah menginjakkan kaki ke desamu. Maukah kau izinkan aku ikut?”

Sissel mengerjap pelan, lalu tertawa ringan. “Kalau kau benar-benar ingin tidur di rumah batu beratap lumut, silakan. Tapi jangan menyalahkanku kalau nanti kau mati bosan.”

Sion tersenyum tipis. “Selama ada naga es dan jurang yang curam, sepertinya tidak akan membosankan.”

Ia benar-benar ingin pergi ke sana. Bukan semata-mata untuk membuktikan dongeng yang sengaja ia karang sebagai alasan agar bisa ikut Sissel ke Syrren. Tujuan utamanya ingin bertemu dengan ayah Sissel. Krov, mantan prajurit kerajaan yang mahir bermain pedang. Ia ingin berlatih padanya agar kemampuannya semakin terasah. Kelak jika waktunya telah tiba, ia akan kembali ke istana sebagai seorang ksatria. Barja tak perlu tahu rencananya.

Sissel menyerahkan buntalannya ke Sion tanpa peringatan. “Kalau begitu, kau bisa mulai dengan membawakan barang-barangku.”

Sion nyaris menjatuhkan buntalan itu. “Ini berat!” Pekiknya. Wanita itu sungguh terkadang sangat menyebalkan dan ia ingin memukulnya. Seenaknya saja menyuruh orang seakan ingin menjadikannya sebagai pelayan.

“Itu hanya berisi bekal dan sedikit pakaian. Apa pendekar naga tidak kuat mengangkatnya? Lemah sekali kelihatannya pendekar yang satu ini ….” sindir Sissel sambil mulai berjalan.

Sion mendengus, tapi mengikuti di belakang. Kedua buntalan tergantung di bahunya, langkah mereka pun mulai menjauh dari perkebunan yang perlahan ditelan cahaya pagi.

Sepanjang jalan, Sissel tak berhenti bicara—tentang jalan setapak favoritnya, tentang pohon tua tempat ia biasa duduk di musim semi, dan tentang anjing buta yang dulu sering mengejarnya saat kecil.

Sion tak banyak bicara. Tapi di sela-sela gurauan dan tawa, ia mencuri pandang ke arah Sissel. Ia terlihat berbeda—lebih ringan, lebih hidup. Mungkin karena akan kembali ke kampung halaman..

Atau mungkin karena dirinya yang mulai... melihat dari sisi lain.

Di tengah jalan, Sion menepuk dahinya pelan.

“Apa?” tanya Sissel dengan nada ketus dan curiga.

“Aku baru sadar. Aku pergi tanpa membawa bekal untuk makan siang,” kilahnya. Ia tak ingin pikiran bodohnya diketahui oleh wanita itu.

Sissel menggulung matanya. “Bodoh. Untung aku membawa dua bungkus roti dan anggur kering. Tapi jangan harap kau bisa makan banyak. Separuhnya milikku!”

Sion mengangkat tangan, “Aku akan memasak untuk makan malam, jadi kita impas.”

“Kalau kau bisa memasak, aku akan percaya naga benar-benar ada,” sahut Sissel sambil tertawa. Ia menjulurkan lidah mengejek lalu berjalan mendahului Sion.

Sion tak tertegun di tempatnya. Sungguh wanita yang menyebalkan tapi mampu menarik perhatiannya. Ia kembali melangkah membuntuti Sissel yang berjalan di depannya sembari berjingkrak-jingkrak.

1
vj'z tri
ish ish ish rauk kurang jelas brifing nya 🤭🤭🤭 dah tau yang di bawa orc otak nya cuma 1/2 🤣🤣🤣🤣🤣lagian bawa anak orang gak di kasih makan kan jadi lapar 🤣🤣🤣🤣
vj'z tri
serangan orc tiba tiba ..pasti ada dalang nya ini 😤😡😤😡😤
vj'z tri
kalian salah matahari yang asli masih bersembunyi dia adalah Sion
vj'z tri
pangeran sadar lah akan hati mu sebelum ia pergi dan menghilang 🥹🥹🥹
vj'z tri
semoga Sion di pinjami kitab nya 🤭😁🥳
vj'z tri
naga kah 🤔🤔🤔
vj'z tri
dasar pemuda kurang kerjaan ,😤😤😤😤
vj'z tri
duarrrrr sekarang terbuka sudah biang Lala nya 😱😱😱😤😤😤😤
vj'z tri
pasti ada mata mata 🤔🤔🤔
vj'z tri
iyeee tar lu yang di masak mimbo 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
vj'z tri
terpesonaaaaaa aku terpesonaaaaaa memandang memandang wajah mu yang manissss 💃💃💃
vj'z tri
semangat Thor up nya 🥳🥳🥳
vj'z tri
waktu nya belajar pedang semangat Sion 🎉🎉🎉
vj'z tri
ayo Sion beritahu paman mu 😁😁😁
vj'z tri
aura putra mahkota terlihat cuyyyy 🤩🤩🤩🤩 lanjuttt guysss
vj'z tri
pencuri 😤😤😤😤😤😤
vj'z tri
merindukan paman 😁😁😁
vj'z tri
Sion semoga kau kembali dengan selamat ....petualangan di mulai 🎉🎉🎉
vj'z tri
jangan sampai sissel di tuduh mencuri 🤨🤨🤨🤨🤨
vj'z tri
dukun u gak mempan bro 🤣🤣🤣🤣🤣🤣 nieville gak tertarik 🤣🤣🤣🤣🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!