Han Qiu, seorang penggemar berat street food, tewas akibat keracunan dan bertransmigrasi ke dalam tubuh Xiao Lu, pelayan dapur di era Dinasti Song. Ia terkejut mendapati Dapur Kekaisaran dikuasai oleh Chef Gao yang tiran, yang memaksakan filosofi 'kemurnian'—makanan hambar dan steril yang membuat Kaisar muda menderita anoreksia. Bertekad bertahan hidup dan memicu perubahan, Han Qiu diam-diam memasak hidangan jalanan seperti nasi goreng dan sate. Ia membentuk aliansi dengan Kasim Li dan koki tua Zhang, memulai revolusi rasa dari bawah tanah. Konfliknya dengan Chef Gao memuncak dalam tuduhan keracunan dan duel kuliner akbar, di mana Han Qiu tidak hanya memenangkan hati Kaisar tetapi juga mengungkap kejahatan Gao. Setelah berhasil merestorasi cita rasa di istana, ia kembali ke dunia modern dengan misi baru: memperjuangkan street food yang lezat sekaligus higienis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dekrit Kematian
"Xiao Lu? Apa yang kau lakukan di sini?"
Suara itu, serak dan penuh keheranan, memecah keheningan malam seperti pecahan porselen jatuh. Han Qiu nyaris melompat, jantungnya melonjak ke tenggorokan. Gulungan perkamen di tangannya terasa membakar.
Ia membalikkan badan, melihat sosok Kasim Li berdiri di ambang koridor gelap, matanya memicing, memantulkan sedikit cahaya bulan. Wajah muda kasim itu menunjukkan campuran rasa takut dan penasaran.
"Li... Li-ge?" Han Qiu tergagap, berusaha menenangkan napasnya yang tercekat. Li-ge, 'kakak Li', sebutan akrab di antara pelayan.
Untungnya bukan Chef Gao.
"Aku... aku hanya..."
"Hanya apa?" Li melangkah mendekat, langkahnya hati-hati.
"Ini area terlarang setelah jam malam. Kalau sampai ketahuan... kau tahu sendiri akibatnya." Matanya melirik pintu ruangan Chef Gao yang kini terkunci rapat, lalu ke tangan Han Qiu.
"Apa yang kau pegang itu?"
Han Qiu menyembunyikan gulungan itu di balik punggungnya, berusaha terlihat tenang.
"Bukan apa-apa, Li-ge. Hanya... sapu tangan. Aku tadi buang air, lalu tersesat. Mau cari jalan kembali ke barak."
Li tidak langsung percaya. Ia melipat tangannya di dada.
"Sapu tangan? Bau apa ini? Bukan bau air kencing, tapi... bau kertas tua dan ramuan. Kau baru keluar dari ruangan Chef Gao, kan? Pintu itu... aku melihatmu."
Sial.
Li pasti melihatnya. Han Qiu tahu ia tidak bisa berbohong pada Kasim Li yang sudah mulai menunjukkan tanda-tanda aliansi. Ia menghela napas, menyerah.
"Baiklah," Han Qiu berbisik, mendekat ke Li.
"Tapi kau harus janji tidak akan bilang siapa-siapa. Ini rahasia, sangat rahasia. Demi... demi Yang Mulia."
Wajah Li berubah. Ketakutan di matanya digantikan oleh percikan serius.
"Demi Yang Mulia?"
Han Qiu mengangguk, lalu mengeluarkan gulungan itu sedikit.
"Ini... aku mencurinya dari ruangan Chef Gao."
Li terkesiap. Matanya membelalak, lalu ia menarik Han Qiu ke balik pilar yang lebih gelap.
"Kau gila! Mencuri dari Chef Gao? Kau mau mati?"
"Aku harus," Han Qiu membalas, suaranya kini lebih tegas.
"Aku harus tahu apa yang dia sembunyikan. Apa yang membuat Kaisar kita... sakit."
Li menatap gulungan itu, lalu kembali menatap Han Qiu. Ada keraguan di matanya, tetapi juga secercah harapan. Ia ingat aroma kerak hitam yang membuat Kaisar tertarik. Ia ingat bubur hambar yang selalu ia benci.
"Apa isinya?" Li bertanya, suaranya nyaris tak terdengar.
"Aku belum tahu," Han Qiu mengaku.
"Aku butuh tempat aman untuk membacanya. Sekarang, bantu aku kembali ke barak. Aku tidak mau ada yang melihat kita berdua di sini."
Li mengangguk cepat.
"Baiklah. Ikut aku. Kita lewat jalan belakang. Aku akan mengalihkan perhatian penjaga jika ada."
Mereka berdua menyelinap pergi, langkah Han Qiu terasa seringan bulu, meski jantungnya masih berdebar kencang. Berkat Li, mereka berhasil kembali ke barak tanpa insiden. Han Qiu mengucapkan terima kasih pada Li, yang hanya mengangguk dan segera masuk ke tempat tidurnya, berpura-pura tidur. Ketegangan masih menggantung di udara.
Han Qiu masuk ke tempat tidurnya yang sempit. Ia menyembunyikan gulungan itu di bawah bantalnya, membiarkan pikirannya berpacu. Ia baru bisa benar-benar membacanya saat fajar tiba, ketika semua orang sudah sibuk dengan tugas mereka, dan ia punya beberapa waktu senggang sebelum shiftnya dimulai.
Waktu terasa berlalu begitu lambat. Akhirnya, cahaya fajar mulai menyelinap masuk melalui celah-celah dinding. Para pelayan mulai bangun, dengan langkah kaki yang lesu dan bisikan kantuk.
Han Qiu diam-diam mengeluarkan gulungan itu dari bawah bantalnya. Perkamen itu terasa dingin di tangannya.
Ia bersembunyi di sudut paling belakang barak, di mana tumpukan selimut kotor menutupi pandangan dari pintu masuk. Dengan tangan gemetar, ia membuka ikatan tali sutra merah tua yang sudah usang itu. Segel lilin kekaisaran yang retak itu hancur dalam sentuhannya.
Gulungan itu terbuka perlahan, mengeluarkan aroma kertas tua, tinta, dan sesuatu yang pahit—seperti aroma obat yang tidak enak.
"Daftar Bahan Makanan Terlarang Istana Song." Judul itu tertulis rapi di bagian atas, dengan kaligrafi yang anggun namun mengancam.
Han Qiu mulai membaca. Matanya memindai setiap baris, setiap kata. Dan semakin banyak ia membaca, semakin dingin darahnya.
Jahe.
Terlarang. Dikatakan "terlalu pedas, mengganggu kemurnian rasa alami."
Bawang Merah.
Terlarang. "Aroma terlalu kuat, vulgar, dapat menimbulkan nafsu makan yang tidak terkontrol."
Bawang Putih. Terlarang.
"Sangat kotor, menciptakan bau mulut yang tidak pantas bagi bangsawan."
Lada Hitam. Terlarang.
"Panasnya kasar, membakar lidah, bukan untuk konsumsi yang beradab."
Cuka. Terlarang.
"Rasa asamnya merusak keseimbangan qi dalam tubuh."
Kecap Ikan. Terlarang.
"Fermentasi yang kotor, bau amis yang tidak suci."
Minyak Babi. Terlarang. "Terlalu berlemak, membuat organ dalam kotor dan berat."
Garam dalam jumlah besar. Terlarang.
"Hanya sedikit untuk menyeimbangkan, tidak untuk menonjolkan rasa."
Han Qiu menggigit bibirnya, matanya melebar tak percaya. Ini gila. Ini bukan daftar larangan untuk kesehatan, ini adalah daftar pembunuhan rasa! Hampir semua bumbu inti dari masakan Asia, dari hidangan jalanan hingga masakan istana tradisional, ada di sini. Jahe untuk menghangatkan, bawang untuk menumis, lada untuk memberi semangat. Semuanya dilarang.
"Ini bukan dapur, ini rumah sakit!" Han Qiu bergumam sendiri, suaranya tertahan.
"Dia melarang semuanya. Bagaimana mungkin makanan punya rasa kalau begini?"
Ia membaca lagi, mencari alasan di balik setiap larangan. Selalu sama: 'kemurnian', 'kealamian', 'keseimbangan qi'. Tapi yang ia tangkap adalah 'kehambaran', 'kekosongan', 'kontrol'. Chef Gao bukan hanya seorang koki. Dia seorang ideolog.
Dia percaya bahwa kemewahan sejati adalah ketiadaan rasa, sebuah kanvas kosong yang tidak boleh dinodai oleh gairah atau kelezatan.
"Dia menyamakan kemewahan dengan kehambaran," bisik Han Qiu, otaknya mulai menyusun potongan-potongan teka-teki.
"Semakin hambar, semakin 'murni'. Semakin murni, semakin mewah. Ini filosofinya. Ini seleranya."
Ia membalik halaman. Di sana, ia menemukan beberapa resep kuno untuk bubur. Resep-resep ini, yang mungkin berasal dari era sebelum Chef Gao, menggunakan jahe, sedikit bawang putih, dan bahkan irisan daging yang direbus dengan kaldu tulang yang kaya.
Ini adalah bubur yang hangat, mengenyangkan, dan penuh rasa. Berlawanan sekali dengan "Bubur Bening Murni" yang disajikan Chef Gao kepada Kaisar setiap hari—bubur yang nyaris tidak memiliki rasa apa pun selain rasa nasi dan air.
"Bubur..." Han Qiu menunjuk ke resep lama itu, lalu ke "Daftar Terlarang."
"Chef Gao ingin Kaisar tidak punya selera makan. Dia ingin Kaisar tidak punya gairah. Dia ingin mengendalikan segalanya, bahkan keinginan dasar manusia untuk makan enak."
Sebuah kemarahan yang membara mulai tumbuh di dalam dirinya. Ini bukan lagi hanya tentang bertahan hidup atau menyelamatkan Kaisar dari anoreksia. Ini adalah perang melawan sebuah ideologi yang menghancurkan jiwa. Han Qiu ingat betapa hancurnya ia saat keracunan.
Tapi Gao melakukan keracunan yang lebih lambat, yang lebih kejam: keracunan jiwa dengan kehampaan.
"Kalau begitu, aku harus mencari cara," Han Qiu bergumam, jari-jarinya menelusuri daftar larangan itu.
"Aku harus membuat rasa otentik, tapi tanpa bumbu ini secara terang-terangan. Bagaimana caranya? Bagaimana caranya dia tidak curiga?"
Matanya kembali pada resep bubur kuno. Bubur adalah hidangan paling 'aman' di istana. Paling 'murni', paling 'bersih'. Paling hambar. Tapi resep kuno ini punya kaldu. Kaldu yang direbus dengan bumbu lengkap.
Sebuah ide gila melintas di benaknya. Jika bumbunya dilarang dalam bubur, bukan berarti bumbunya dilarang dalam proses pembuatan kaldu. Bagaimana jika ia membuat kaldu yang sangat kaya rasa dengan semua bumbu terlarang itu, lalu menyaringnya hingga bening? Chef Gao hanya memeriksa hasil akhir yang disajikan.
"Ini bisa berhasil," Han Qiu berbisik, matanya berbinar.
"Kaldu adalah kuncinya. Aku bisa memasak bumbu-bumbu terlarang itu di dalam kaldu, menyaringnya sampai bening, dan membuang semua ampasnya. Aroma dan rasanya akan meresap ke dalam kaldu, tapi tidak ada 'bumbu kasar' yang terlihat. Dia tidak akan punya bukti."
Itu adalah sebuah serangan balik yang cerdik. Gao melarang bumbu karena 'kasar' dan 'terlalu kuat', tapi yang dia lihat hanyalah ampasnya. Inti rasanya, saripatinya, bisa saja diselundupkan.
"Aku akan buat kaldu paling kaya rasa yang pernah ada di istana ini," ia berjanji pada dirinya sendiri.
"Dan aku akan menyuntikkannya ke dalam hidangan paling aman yang Gao punya: bubur. Aku akan... memperkosa bubur beningnya dengan rasa sejati."
Han Qiu mengepalkan gulungan itu, tekadnya kini sekuat baja. Bubur. Itu target pertamanya. Tapi bagaimana cara membuat kaldu yang begitu pekat dan beraroma tanpa ketahuan? Dan bagaimana cara menyelinapkan kaldu itu ke mangkuk Kaisar tanpa izin Chef Gao? Tantangan baru telah menanti, sebuah medan perang rasa yang tersembunyi.
Ia harus mulai merencanakan langkah selanjutnya. Malam ini juga, ia akan mencari bahan-bahan rahasia, dan ia akan mengubah bubur hambar Kaisar menjadi sebuah harapan. Namun, sebelum ia sempat memikirkan detailnya lebih jauh, suara Kasim Kepala yang berat terdengar dari luar barak, "Xiao Lu! Cepat kemari! Kau ditugaskan untuk shift pagi ini di dapur utama, menyiapkan bubur Kaisar!"
Jantung Han Qiu kembali berdebar. Bubur. Sekarang juga. Ini bukan kebetulan. Ini adalah sebuah tantangan. Atau mungkin, sebuah kesempatan. Ia harus bertindak cepat. Sangat cepat.
Ia bangkit dari tempatnya, gulungan itu digenggam erat di tangannya. Ia harus menyembunyikannya. Sekarang. Tapi di mana? Pandangannya menyapu sekeliling, mencari tempat yang aman, sekecil apa pun, yang bisa menyembunyikan peta menuju revolusi rasa ini.
Matanya terpaku pada sebuah retakan kecil di bawah papan lantai, tersembunyi di balik sebuah balok kayu yang lapuk. Itu saja. Ia harus melakukannya sekarang. Cepat. Sebelum Kasim Kepala datang. Ia membungkuk, berusaha menyelipkan gulungan itu ke dalam celah sempit itu.
Itu pas. Hampir. Gulungan itu sedikit tersangkut. Ia mendorongnya lebih keras. Sedikit lagi... hampir.
Deg! Deg! Deg!
Suara langkah kaki Kasim Kepala semakin dekat. Dan gulungan itu masih belum masuk sepenuhnya. Separuh dari tali sutra merahnya masih terlihat.
"Xiao Lu! Apa kau mendengarku?!" Suara Kasim Kepala menggelegar di luar.