Di balik kemewahan rumah Tiyas, tersembunyi kehampaan pernikahan yang telah lama retak. Rizal menjalani sepuluh tahun tanpa kehangatan, hingga kehadiran Hayu—sahabat lama Tiyas yang bekerja di rumah mereka—memberinya kembali rasa dimengerti. Saat Tiyas, yang sibuk dengan kehidupan sosial dan lelaki lain, menantang Rizal untuk menceraikannya, luka hati yang terabaikan pun pecah. Rizal memilih pergi dan menikahi Hayu, memulai hidup baru yang sederhana namun tulus. Berbulan-bulan kemudian, Tiyas kembali dengan penyesalan, hanya untuk menemukan bahwa kesempatan itu telah hilang; yang menunggunya hanyalah surat perceraian yang pernah ia minta sendiri. Keputusan yang mengubah hidup mereka selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Robby tertawa terbahak-bahak, tawanya terdengar hambar dan kejam di telinga Tiyas.
"Maksudku? Hah! Apa kamu tidak mengerti, Tiyas? Kamu pikir aku benar-benar jatuh cinta padamu? Kamu lucu sekali!" ucap Robby, menyunggingkan senyum sinis.
Tiyas merasakan darahnya berdesir dingin. Ia menggeleng tak percaya, rasa sakit yang luar biasa menjalar di dadanya.
"Tidak mungkin! Kamu bilang kamu mencintaiku!"
"Mencintaimu?" Robby menyambar botol air minum dari kulkas, meneguknya, lalu menatap Tiyas dengan tatapan jijik.
"Aku mencintai uang suamimu. Aku mencintai black card dan gaya hidup yang kamu berikan padaku. Motor yang kuminta? Itu hanyalah 'biaya perkenalan'!"
Tiyas mundur selangkah, napasnya tercekat. Rasa sakit kehilangan Rizal tidak ada apa-apanya dibandingkan penghianatan total ini. "Jadi, selama ini... itu semua bohong?"
"Tentu saja bohong! Lihat dirimu sekarang, Tiyas. Kartu diblokir, kamu sudah jadi janda dan kamu meninggalkan suamimu yang kaya raya hanya untuk aku? Kamu tidak punya apa-apa lagi! Kenapa aku harus repot-repot mempertahankan mu, hah?"
Robby berjalan ke lemari, mengambil jaket kulitnya, dan memasukkan dompetnya.
"Mulai sekarang, kamu keluar dari apartemen ini. Aku tidak butuh wanita yang tidak bisa memberiku apa-apa."
"Tapi, bukankah ini apartemenmu!" pekik Tiyas, air mata yang selama ini ia tahan akhirnya tumpah.
Robby tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan dari Tiyas
"Apartemenku? Ini apartemen sewa, Sayang. Dan aku sudah tidak sanggup membayarnya. Lagipula, aku sudah menemukan 'sponsor' baru yang jauh lebih menjanjikan daripadamu. Jadi, ambil tasmu, dan pergi dari sini. Sekarang!"
Robby mendorong bahu Tiyas ke arah pintu sampai hampir jatuh ke lantai.
Tiyas menatap Robby, air mata membasahi gaun mewahnya.
"Kamu bajingan!"
"Aku hanya realistis, Tiyas. Kamu yang bodoh dan gampangan," balas Robby tanpa ekspresi.
Dengan tangan gemetar, Tiyas meraih tas tangan mewahnya yang tergeletak di sofa
Ia melirik sekilas ke sudut ruangan, tempat foto pernikahannya dengan Rizal dulu tersimpan.
Ia menghancurkan itu semua dengan tangannya sendiri, demi kebohongan ini.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Tiyas membuka pintu dan melangkah keluar. Pintu dibanting keras di belakangnya oleh Robby.
Tiyas berdiri sendirian di koridor apartemen mewah itu, dalam balutan gaun mahal yang kini terasa seperti kain kafan.
Ia tidak punya uang tunai yang cukup, dan tidak punya tujuan.
Ia telah mengkhianati cinta sejatinya demi cinta palsu, dan sekarang ia benar-benar hancur dan sebatang kara.
Ia memejamkan mata, membiarkan isakan tangisnya bergema di koridor yang sepi.
Satu-satunya nama yang terlintas di benaknya adalah Rizal, suami yang ia tinggalkan, suami yang kini mungkin sudah benar-benar bahagia tanpa dirinya.
"Rizal, aku minta maaf." gumam Tiyas yang kemudian masuk kedalam mobilnya.
Ia memutuskan untuk kembali ke rumah dan meminta maaf kepada Rizal.
Tiyas sangat yakin kalau Rizal sangat mencintainya dan akan memaafkannya.
Sementara itu di tempat lain Hayu baru saja memasak cumi asam manis yang selalu diinginkan oleh suaminya.
"Mas Rizal, ayo kita makan dulu." ajak Hayu.
Rizal melangkah keluar kamar dengan handuk yang melilit di lehernya, bau sabun dan aroma maskulin yang segar langsung menyebar.
Aroma Cumi Asam Manis yang Hayu masak sudah menyambutnya.
Ia berjalan ke meja makan, tempat Hayu sudah duduk menunggu dengan wajah yang berseri-seri.
"Wow, aroma ini sungguh menggoda, Sayang," puji Rizal.
Ia mencium kening Hayu dan duduk di hadapannya.
"Selamat menikmati, Mas," ujar Hayu, pipinya masih merona.
Rizal mulai menyantap hidangan yang sudah dimasakkan oleh istrinya.
Suasana pagi itu terasa sangat indah dan hangat, penuh tawa dan sapaan mesra, jauh dari kesan canggung semalam.
Setiap suapan seolah menegaskan awal baru yang penuh janji.
Mereka larut dalam kebahagiaan rumah tangga yang baru mereka bangun.
Tepat saat Rizal dan Hayu hendak menghabiskan hidangan mereka, tiba-tiba terdengar sebuah suara deru mesin mobil mewah yang familiar terdengar memasuki halaman.
Suara rem mendadak itu diikuti oleh bunyi pintu mobil yang dibanting keras.
Hayu dan Rizal saling pandang dan ekspresi bahagia Rizal langsung menghilang, digantikan oleh ketenangan yang dingin.
Ceklek!
Pintu utama terbuka dan menampilkan Tiyas yang masuk dengan langkah gontai.
Rambutnya tampak acak-acakan dan air mata masih membekas di wajahnya, tanda ia baru saja melewati masa sulit.
Ia terkejut melihat Rizal dan Hayu duduk bersebelahan di meja makan, menikmati hidangan bersama.
"Mas Rizal!" pekik Tiyas, matanya langsung tertuju pada cincin emas putih yang melingkari jari manis Hayu.
Rizal bangkit dari duduknya dan meminta Hayu untuk tetap duduk di kursi makan.
Sebelum menghampiri Tiyas, Rizal masuk ke kamarnya terlebih dahulu.
Kemudian ia keluar sambil membawa map hitam yang berisi surat perceraian mereka.
Tiyas berdiri mematung di ambang ruang tamu, tatapannya teralih antara Rizal yang baru keluar dari kamar utama dengan map hitam
Hayu menggenggam erat tangannya saat melihat suaminya membawa map yang memang sudah disiapkan untuk Tiyas.
"Mas Rizal! Apa maksudnya ini?!" seru Tiyas, suaranya parau dan penuh emosi.
Rizal berjalan mendekat dengan langkah tenang dan dingin, aura wibawanya kembali seperti Direktur perusahaan besar, jauh dari sosok suami yang rapuh yang Hayu rawat di rumah sakit.
Ia berhenti tepat di hadapan Tiyas, lalu meletakkan map hitam itu di meja terdekat.
"Duduklah, Tiyas," perintah Rizal datar.
"Aku tidak mau duduk! Aku ingin jawaban! Jawab aku, Mas! Kamu memblokir kartuku! Kamu gila! Dan sekarang, apa yang kalian lakukan berdua di rumahku ini?!"
Rizal menghela napas panjang, tatapannya kini berubah menjadi kasihan bercampur muak.
"Tiyas, kamu benar. Aku yang memblokir semua kartumu. Dan yang kamu lihat di meja makan itu, adalah istriku."
Jantung Tiyas seakan berhenti berdetak saat mendengar perkataan dari Rizal.
Ia menoleh ke arah Hayu yang sedang menatapnya.
"Istri? Hayu? Kamu bercanda, Mas! Dia pembantu! Sahabatku! Kamu sedang membuat lelucon yang menjijikkan!" pekik Tiyas, mulai histeris.
"Aku sudah menikah dengan Hayu, Tiyas. Dia menghargai aku sebagai seorang suami, dia tahu bagaimana tugasnya sebagai istri, dia menciptakan kehangatan di rumah ini. Bukan seperti kamu yang seorang sosialita, yang lebih memilih kumpul-kumpul dan berselingkuh dengan lelaki lain di Bandung!"
Rizal menunjuk map hitam di meja dan meminta Tiyas untuk menandatangani.
"Aku sudah menyiapkan gugatan cerai. Tanda tangani lah, dan kamu bebas. Aku akan berikan apa pun yang kamu mau, asalkan kita berpisah secara baik-baik."
Tiyas menggelengkan kepalanya dengan air matanya yang semakin mengalir deras.
"Tidak! Aku tidak mau! Aku minta maaf, Mas! Aku salah! Aku tahu aku bodoh! Aku sudah tinggalkan Robby! Aku kembali untukmu! Dia sudah membuangku, Mas! Aku mau kita seperti dulu lagi!"
Tiyas mencoba meraih tangan Rizal, tetapi Rizal menariknya menjauh.
"Sudah terlambat, Tiyas," jawab Rizal dingin.
Tiyas menoleh ke arah Hayu, matanya kini dipenuhi kebencian.
"Ini pasti ulahmu, Hayu! Kamu sengaja mendekati suamiku saat aku pergi! Kamu menjebak kami! Kamu ingin merusak rumah tanggaku sejak awal! Kamu hanya ingin uangku! Kamu itu perebut suami orang!" Tiyas menuding Hayu dengan jari telunjuknya.
Hayu bangkit dari kursi, tubuhnya gemetar, tetapi ia berusaha menguatkan diri.
"Aku tidak pernah menjebak siapa pun, Tiyas! Aku sudah mencoba menghubungimu berulang kali saat Mas Rizal sekarat di rumah sakit! Kamu yang memilih untuk pergi dan mengkhianati Mas Rizal! Aku melihat postinganmu di media sosial! Aku melihatmu bersama laki-laki lain!"
"Bohong! Kamu bohong!" seru Tiyas tak mau kalah.
Hayu menoleh ke arah Rizal, tatapan matanya memohon keadilan.
"Mas Rizal, tolong percaya padaku. Aku tidak pernah merencanakan ini."
Rizal tersenyum lembut, senyum yang sama yang ia berikan saat melamar Hayu.
Ia berjalan mendekat ke arah Hayu, merangkul bahunya, dan menggenggam erat tangan istrinya yang kini memakai cincinnya.
"Aku percaya padamu, Sayang," bisik Rizal lembut, meyakinkan Hayu.
Rizal menoleh kembali ke Tiyas yang masih emosi.
"Lihat, Tiyas. Ini yang aku tidak sukai darimu. Kamu selalu memutarbalikkan fakta. Kamu salah, tapi kamu bersikeras bertindak seperti korban. Kamu mengkhianatiku, kamu meninggalkanku saat aku hampir meninggal, kamu yang meminta cerai, dan sekarang saat hidupmu hancur, kamu menyalahkan wanita tulus yang merawatku."
Rizal melepaskan pelukannya dari Hayu, tetapi tetap menggenggam tangan istrinya.
"Aku dan Hayu sudah menikah secara sah. Kamu sudah tidak punya hak apa-apa lagi di rumah ini. Tanda tangani surat ini, ambil hartamu, dan pergilah. Aku tidak mau melihat wajahmu lagi."
Tiyas roboh, menangis tersedu-sedu, menyadari bahwa semua pertahanannya telah runtuh.
Ia kehilangan segalanya: suami yang mencintainya, uang, dan kini, sahabatnya.
"Aku menyesal, Mas! Aku minta maaf! Tolong jangan ceraikan aku!" isak Tiyas.
Rizal menggelengkan kepalanya dan tetap tegas mengahadapi Tiyas
"Penyesalanmu sudah tidak berguna lagi. Kebahagiaanku kini ada di sampingku. Cepat tanda tangani surat itu, Tiyas. Atau aku akan memanggil pihak keamanan."
Tiyas melihat tatapan mata Rizal yang dingin dan tidak tergoyahkan.
Ia tahu, suaminya yang dulu pernah ia abaikan kini benar-benar telah meninggalkannya.
Dengan tangan gemetar, Tiyas mengambil pulpen, menarik map hitam itu, dan membubuhkan tanda tangannya, mengakhiri pernikahan sepuluh tahunnya dalam tangisan penyesalan yang pahit.
"Aku tidak akan membiarkan pernikahan kalian bahagia," ucap Tiyas sambil meninggalkan rumah Rizal.
Tiyas kembali melajukan mobilnya dan mencari tempat tinggal.