NovelToon NovelToon
Perempuan Kedua

Perempuan Kedua

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Nadhira ohyver

Maya, seorang mualaf yang sedang mencari pegangan hidup dan mendambakan bimbingan, menemukan secercah harapan ketika sebuah tawaran mengejutkan datang: menikah sebagai istri kedua dari seorang pria yang terlihat paham akan ajarannya. Yang lebih mencengangkan, tawaran itu datang langsung dari istri pertama pria tersebut, yang membuatnya terkesima oleh "kebesaran hati" kakak madunya. Maya membayangkan sebuah kehidupan keluarga yang harmonis, penuh dukungan, dan kebersamaan.
Namun, begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah tangga itu, realitas pahit mulai terkuak. Di balik fasad yang ditunjukkan, tersimpan dinamika rumit, rasa sakit, dan kekecewaan yang mendalam. Mimpi Maya akan kehidupan yang damai hancur berkeping-keping. Novel ini adalah kisah tentang harapan yang salah tempat, pengkhianatan emosional,Maya harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hidup ini tidak semanis doanya, dan bimbingan yang ia harapkan justru berubah menjadi jerat penderitaan.

kisah ini diangkat dari kisah nyata.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3

Keheningan kembali melingkupi Maya setelah mendengar niat murni keluarga itu untuk berpoligami. Informasi itu, alih-alih menenangkan, justru menambah lapisan kerumitan baru dalam benaknya. Keraguan logisnya berbenturan dengan kerinduan spiritualnya. Dia menarik napas dalam, memutuskan untuk mencurahkan semua isi hatinya kepada Hana, sosok yang kini menjadi tempatnya bersandar.

Maya: "Kak... jujur, aku memang pernah berdoa agar diberikan suami yang agamanya baik, yang pemahaman agamanya sesuai dengan tuntunan," ujar Maya, suaranya terdengar lelah. "Tapi... tidak pernah terpikir sedikit pun di doaku untuk menjadi istri kedua."

Hana mendengarkan dengan sabar.

Maya: "Sampai detik ini pun, aku belum percaya ada wanita yang dengan rela dimadu, bahkan mencarikan sendiri calon istri untuk suaminya," lanjut Maya. "Tapi di sisi lain, aku sangat mengagumi wanita tersebut, Kak. Aku berpikir, dengan tindakan yang dia lakukan itu, mungkin aku akan disayangi, diterima dengan baik dan tulus..."

Maya berhenti, menelan ludah.

Maya: "Tapi lagi-lagi, keraguan menghampiriku. Sesama wanita, aku tahu persis bagaimana perasaan sebenarnya. Pasti ada rasa sakit di balik keikhlasan itu."

Keluh kesah Maya mengalir. Dia merasa perlu menyampaikan semua hambatannya, termasuk yang paling praktis.

Maya: "Lagipula, aku masih punya kendala soal hutangku sama Kak Laila, Kak, yang belum lunas."

"Dan sebenarnya," bisik Maya, suaranya penuh kerinduan, "keinginanku yang paling dalam itu ingin belajar agama di pondok pesantren, memperdalam ilmu. Tapi semua itu nggak mungkin, karena belajar di sana pun memerlukan biaya. Siapa yang akan membiayai aku untuk hal tersebut?"

Semua kendala—emosional, finansial, dan spiritual—terbentang jelas di hadapan Maya. Tawaran pernikahan itu kini terasa seperti satu-satunya jalan keluar yang mungkin, meskipun penuh risiko.

Hana: "Aku mengerti, Maya. Banyak sekali yang harus kamu pertimbangkan."

Panggilan telepon itu akhirnya berakhir tak lama kemudian, meninggalkan Maya kembali dalam keheningan dapur, namun kali ini dengan pikiran yang jauh lebih jernih tentang apa yang sebenarnya ia butuhkan.

...----------------...

Hari-hari terus berlalu, dilingkupi aroma masakan dan kesibukan dapur Kak Laila. Tak terasa, satu minggu telah berlalu sejak telepon panjang dari Hana waktu itu, yang memaparkan dilema terbesar dalam hidup Maya.

Selama satu minggu penuh itu, pikiran Maya tak pernah lepas dari tawaran menjadi "Perempuan Kedua". Tidurnya tak nyenyak, ibadahnya terasa campur aduk antara mencari petunjuk dan memohon ketenangan. Hatinya seperti pendulum, berayun antara keyakinan dan keraguan yang mendalam.

Terkadang, dirinya yakin sepenuhnya bahwa masuk ke dalam keluarga itu adalah pilihan terbaik. Ia percaya bahwa ini adalah bagian dari takdir kehidupannya, jalan keluar dari kesendirian dan kebingungan spiritualnya sebagai mualaf. Sesaat, Maya membayangkan kehidupan manis pernikahannya nanti. Apalagi menikah dengan pria yang agamanya baik, yang dijanjikan akan membimbingnya. Maya membayangkan dirinya diajarkan mengaji yang benar, tidak lagi salat sendirian, tidak akan lagi kesepian. Menjalani ibadahnya bukan lagi seorang diri, ada imam yang menuntun. Meskipun nantinya waktu untuknya akan terbagi, bayangan kedamaian itu terasa begitu nyata dan menggiurkan.

Namun, bayangan manis itu seringkali buyar secepat kilat. Keraguan menghampiri lagi. Hatinya yang pernah terluka mengingatkan bahwa janji surga seringkali berjarak jauh dari kenyataan bumi. Bagaimana mungkin ada keikhlasan sejati dalam poligami? Sesama wanita, Maya tahu rasa cemburu adalah fitrah. Pikirannya dipenuhi pertanyaan tentang istri pertama, tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik fasad "niat murni" mereka.

Setiap hari adalah perjuangan batin. Maya tahu dia harus segera mengambil keputusan, namun setiap jawaban terasa berat konsekuensinya.

...****************...

Tak terasa, 2 minggu telah berlalu sejak telepon kedua dari Hana waktu itu. Di suatu sore yang sunyi di dapur bos Maya, ponsel Maya berdering. Nama Hana muncul di layar.

Maya: "Assalamualaikum, Kak Hana," sapa Maya.

Hana: "Waalaikumsalam, Maya. Maaf mengganggu, ada Wawa di sebelah saya. Dia ingin bicara langsung dengan kamu, ada yang penting katanya," ujar Hana, nadanya sedikit mendesak.

Maya: "Iya, Kak, bisa."

Telepon berpindah tangan. Suara Wawa yang ramah kembali terdengar.

Wawa: "Assalamualaikum, Maya. Apa kabar?"

Maya: "Waalaikumsalam, Kak Wawa. Alhamdulillah, baik."

Wawa: "Begini, Maya. Hana sudah cerita banyak sekali tentang keluh kesah dan keinginan kamu. Kondisi keuangan kamu, dan yang terpenting, keinginan kamu untuk mendalami agama."

Wawa berbicara dengan tenang, nadanya meyakinkan.

Wawa: "Saya juga sudah menyampaikan semua itu ke Umma Fatimah (istri pertama). Setelah Umma Fatimah menyampaikannya kepada suaminya, beliau mengatakan sesuatu yang membuat saya yakin ini adalah jalan terbaik untuk kamu, Maya."

Di seberang sana, Wawa mengambil jeda sejenak, membuat jantung Maya berdebar tak karuan.

Wawa: "Mereka memiliki niat yang sangat murni. Suaminya mengatakan ia akan membantu melunasi semua hutang kamu. Ia juga akan membiayai kepulangan kamu dari rumah bos kamu, dan kalau pun nantinya kalian tidak berjodoh..."

Wawa berhenti lagi, seolah memberikan efek dramatis pada kabar yang akan disampaikannya.

Wawa: "...suami Umma Fatimah mengatakan akan membantu membiayai kamu untuk belajar di pondok."

Di hadapan kompor yang mati, dunia Maya seakan terhenti. Matanya mulai berkaca-kaca.

Itu adalah doa-doanya. Persis seperti apa yang selalu ia panjatkan dalam sujudnya, di tengah malam yang sunyi. Seseorang yang bisa membantu melunasi hutangnya, seseorang yang bisa membantunya mendalami ilmu agama.

Air mata Maya tumpah, bukan karena kesedihan, melainkan karena rasa haru dan takjub yang luar biasa. Ini jawaban-Mu, ya Allah, pikirnya.

Realitas mendorongnya untuk percaya bahwa semua ini memang takdir Allah untuknya. Terbukti dari doa yang terkabul dengan cara yang begitu cepat dan tidak terduga.

Tiba-tiba, sebuah ingatan muncul: janji yang dibuatnya sendiri kepada Tuhan, nazar dalam hati: jika lelaki yang saat ini meminta dia menjadi istri kedua bisa membantunya melunasi hutang, maka dirinya akan menerima lamaran itu. Itu adalah janjinya dengan Allah.

Di satu sisi, keraguan kembali menghampiri Maya—apakah ia siap dengan segala konsekuensi pernikahan ini, dinamika menjadi "Perempuan Kedua"? Tapi di sisi lain, realita dan janjinya sendiri mendorongnya untuk percaya bahwa semua ini memang digariskan untuknya.

Maya: "Kasih aku waktu lagi untuk menjawab, Kak Wawa."

Wawa: "Tentu Maya, kamu punya hak untuk melakukan hal tersebut, ini tentang kehidupan kamu dan menyangkut masa depan kamu," jawab Wawa

"Kalo kamu sudah mantap, kamu bisa langsung telpon Hana, dan setelahnya saya akan mengabari Umma Fatimah, kemudian kamu dan suami Umma Fatimah bisa saling bertukar biodata."

Maya: "Baik, Kak Wawa, insyaaAllah saya akan langsung menghubungi Kak Hana, nanti," balas Maya.

Panggilan telepon berakhir tak lama kemudian, meninggalkan Maya sendirian di dapur yang remang-remang, di persimpangan jalan terbesar dalam hidupnya.

Keputusan apa yang akan Maya ambil setelahnya?

Bersambung...

1
Arin
Kalau udah kayak gini mending kabur...... pergi. Daripada nambah ngenes
Eve_Lyn: setelah ini masih banyak lagi kisah maya yang bikin pembaca jadi gedeg wkwkwk
total 1 replies
Arin
Kalau rumah tangga dari awal sudah begini..... Apa yang di harapkan. Berumah tangga jadi kedua dan cuma jadi bayang-bayang. Cuma dibutuhkan saat suami butuh pelayanan batin baru baik......
Eve_Lyn: hehehe....banyak kak kisah-kisah istri yang demikian...cuma gak terekspos aja kan,,,kalo kita menilainya dari sudut pandang kita sendiri, ya kita bakalan bilang dia bego,bodoh, tolol, dan lain-lain hehehe...intinya gak bisa menyamaratakan semua hal dari sudut pandang kita aja sih gtu hehehe...awal juga aku ngerasa gtu,,, tapi setelah memahami lebih dalam, dalam melihat dari sudut pandang yang berbeda, kita jadi bisa sedikit lebih memahami, walawpn kenyataannya berbanding dengan emosinya kita...hihihihi...makasih yaa,kakak setia loh baca novelku yang ini hehehehe
total 1 replies
kasychan04-(≡^∇^≡)
MasyaAllah
kasychan04-(≡^∇^≡)
mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!