Inaya tidak pernah menyangka pernikahan yang ia paksakan dengan melanggar pantangan para tetua, berakhir dengan kabar kematian suaminya yang tidak ditemukan jasadnya. Selama dua tahun ia menunggu, berharap suaminya masih hidup di suatu tempat dan akan kembali mencarinya.
Akan tetapi, ia harus kecewa dan harus mengajukan gugatan suami ghaib untuk mengakhiri status pernikahannya.
Fatah yang sudah lama menyukai Inaya akhirnya mengungkapkan perasaannya dan mengatakan akan menunggu sampai masa iddahnya selesai.
Mereka akhirnya menikah atas restu dari Ibu Inaya dan mantan mertuanya.
Akan tetapi, saat mereka sedang berbahagia dengan kabar kehamilan Inaya, kabar kepulangan Weko terdengar. Akankah Inaya kembali kepada Weko dan bercerai dengan Fatah atau menjalani pernikahan dengan bayang-bayang suami pertamanya?
.
.
.
Haloo semuanya, jumpa lagi dengan author. Semoga semua pembaca suka..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memperbaiki Diri
Ranti masih tidak ingin membahas tentang Weko, sehingga Inaya hanya bisa pasrah. Ia tidak lagi membahas masalah Weko yang mungkin akan melamar kepada Ranti. Fokus mereka kini teralihkan dengan masalah Yanti.
Setelah setengah tahun lamanya Yanti tinggal bersama Ranti dan Inaya, Asih baru menghubungi mereka. Tanpa membahas masalah apa yang terjadi antara anak dan suaminya, Asih hanya mengatakan akan mengirimkan uang setiap bulannya untuk biaya hidup Yanti.
“Setengah tahun tidak ada kabar, begitu ada kabar mengapa hal pertama yang dibahas adakah uang? Apa dia tidak berpikir tentang bagaimana kabar anaknya atau anaknya bisa lanjut sekolah?” kesal Inaya yang merasa Asih meremehkan sang ibu dan dirinya.
“Biarkan saja, dia juga sedang sulit di sana.” Jawab Ranti dengan nada tertahan.
Inaya tahu, sang ibu juga merasa kecewa dengan sikap Asih. Tetapi jika hanya kecewa tanpa ada maksud mengungkapkan, hanya akan jadi penyakit. Sejak Yanti datang, Ranti mulai sakit-sakitan karena terlalu banyak beban pikiran.
“Kalau di sana sulit, kenapa tidak cari kerja di sini saja, Bu? Bukankah lebih enak bisa mendidik anaknya secara langsung?”
“Di sana gajinya lebih besar.”
“Sama saja, Bu. Dimana-mana, kerja itu ada standar gajinya. Gajinya terlihat besar karena di kurs-kan ke rupiah.”
“Paling tidak sekarang hidupnya lebih baik.”
“Lebih baik dari mana? Kedua anaknya terlantar. Dani hanya lulusan SMP dan lihatlah Yanti sekarang.”
“Yang penting kamu usahakan dia bisa sekolah dan mencari kerja nanti. Kita tidak tahu kapan ibunya akan pulang. Kalau dia mau kuliah, dia bisa kuliah seperti kamu sambil kerja.” Inaya menggelengkan kepala.
Sebenarnya ia masih ingin mendebat sang ibu, tetapi ia urungkan karena percuma. Ranti akan selalu membela Asih dan Yanti, walaupun keduanya sama-sama memperlakukannya dengan seenaknya dan hanya bisa memendamnya.
Ia masih mencari kenalan yang bisa membantunya untuk mengurus akta Yanti saat ini karena ia tidak sempat mengurus sendiri. Ia sudah terlalu banyak izin bulan ini, performa kerjanya akan terlihat buruk jika terus mengajukan izin.
“Na, jadi buat akta?” tanya Farit di sambungan telepon.
“Ya. Apakah kamu bisa bantu?”
“Aku ada kenalan. Aku akan meminta tolong kepadanya. Siapkan nama sesuai ijazah dan nama lengkap kedua orang tuanya.”
“Kamu ke rumah saja kalau ada waktu, nanti aku jelaskan!”
“Oke. Minggu ini aku pulang.”
“Terima kasih.”
Selain karena izin, salah satu alasan mengapa Inaya mencari bantuan orang adalah masalah Asih yang hanya menikah siri. Mau itu di mata agama ataupun di mata negara, anak hasil pernikahan siri tidak memiliki hubungan hukum dengan ayah kadungnya karena nasabnya tidak mengikuti sang ayah, melainkan ibu.
Akan tetapi, ijazah Yanti yang ada di tangan Inaya saat ini membuatnya pusing karena nama orang tua tertera adalah nama sang ayah, Rodi. Entah bagaimana awal mulanya, yang pasti ijazah Yanti bermasalah. Jika ini berlanjut, entah bagaimana memperbaikinya kelak.
Di sisi lain.
Weko yang sudah mulai melaut, mencoba memperbaiki diri. Ia yang jarang sholat membawa peralatan sholat bersamanya.
“Sholat?” tanya bingung teman-temannya.
“Kenapa? Apakah aneh?” tanya Weko.
“Jelas saja aneh! Kita ini sudah berteman sejak orok dan kamu itu sama seperti kami yang hanya sholat saat sholat idul fitri.”
“Apa salahnya kalau memperbaiki diri?”
“Tidak salah, justru alhamdulillah.” Weko tersenyum dan mulai mengerjakan sholat dzuhur.
Teman-temannya menatap tidak percaya dengan pemandangan Weko yang sholat berdiri karenakebetulan kapal masih tenang melaju. Walaupun mereka jarang sholat, mereka tahu aturan sholat di kapal seperti menghadap ke arah kapal melaju jika tidak memungkinkan menghadap kiblat, dan berdiri jika kapal tenang, duduk atau berbaring saat kapal tidak tenang.
Kesimpulan mereka satu. Weko serius dengan rasa Sukanya dengan Inaya sehingga membuatnya memperbaiki diri agar bisa bersama dengan Perempuan itu. Inaya yang berhijab sebenarnya juga membuat mereka ragu Perempuan itu akan menerima Weko.
Jika saja Inaya berhijab namun masih dengan pakaian ketat, mungkin mereka akan percaya. Tetapi Inaya yang menggunakan pakaian longgar, jelas standar imamnya bukanlah Weko.
“Sudahlah! Kita doakan saja dia berhasil. Jangan buruk sangka!” kata Giga.
“Ya, kamu benar. Siapa tahu Inaya mau dengan Weko dengan alasan bisa belajar agama sama-sama.”
“Aamiin..” semua orang mengaminkannya.
Minggu pagi.
Farit sampai di rumah Inaya saat Inaya masih menjemur pakaian. Ia menunggu sampai Inaya selesai sambil memainkan ponselnya di bawah pohon alpukat.
“Lihatlah!” Inaya menyodorkan ijazah Yanti.
“Nama, tempat tanggal lahir dan nama orang tua. Sisa identitas orang tuanya saja ini.”
“Itu masalahnya!”
“Maksudnya?”
“Yanti anak dari pernikahan siri. Ibunya saat ini TKW dengan identitas orang lain. Aku harus bagaimana?”
“Waduh!” Farit berpikir sejenak.
“Kalau pakai orang dalam, bagaimana?”
“Apa bisa?”
“Asal ada uangnya, tidak masalah.”
“Aman! Yang penting jadi.”
“Kamu yakin?” tanya Farit tidak percaya.
“Yakinlah! Kenapa?”
“Aku kira kamu tidak mau pakai orang dalam. Kamu kan aktivis pemuda Indonesia.
“Kepepet!” Farit tertawa.
“Lagian itu dulu, sekarang aku hanya orang biasa yang tidak bisa mengurus apapun kalau tidak pakai uang.”
“Tunggu sampai presiden baru dilantik dan sistem diperbaiki, baru kamu bisa mengurusnya tanpa uang!”
“Semoga saja!”
Farit akhirnya pergi membawa ijazah Yanti dan secarik kertas berisikan informasi tentang Asih dengan identitasnya sekarang sebagai Yati. Inaya menatap kepergian Farit dengan perasaan campur aduk.
Kalau sampai ketahuan menggunakan identitas orang lain untuk bisa menjadi TKW, entah apa yang akan terjadi nanti. Ia berharap semuanya baik-baik saja. Semoga orang dalam yang Farit kenal bisa membantunya.
“Assalamu’alaikum, Dek.” Sapa Weko dengan suara sedikit terputus-putus.
“Wa’alaikumsalam, Mas. Bukankah di laut tidak ada sinyal?” tanya Inaya.
“Ini kebetulan sedang singgah di sebuah pulau. Apakah suaraku jelas?”
“Sedikit putus-putus, Mas.”
“Kamu sehat, Dek?”
“Alhamdulillah, Mas. Mas sendiri bagaimana?”
“Alhamdulillah, Dek. Kemungkinan aku pulang lebih lama, Dek. Ikannya sedang sepi, kalau seperti ini bisa sampai 25 hari di laut.”
“Iya, Mas. Hati-hati.”
“Iya, kamu juga Dek.”
Inaya menatap ponselnya. Sintya pernah bercerita, jika mereka yang miyang jarang membawa ponsel mereka karena susah sinyal. Mereka bisa saling berhubungan dengan saluran radio, itu pun jika terdesak.
Setelah merasakan ketulusan Weko, Inaya mulai merasakan khawatir dengan keadaan laki-laki itu. Apakah ia akan merasakan ini saat sudah menikah nanti?
Sementara Weko yang sudah mendapatkan semangatnya setelah mendengar suara Inaya, kembali ke kelompoknya dan mulai merapikan jaring ikan.