Uang miliaran di rekening. Tanah luas. Tiga ratus pintu kontrakan.
Anjani punya segalanya—kecuali harga diri di mata suaminya dan keluarganya.
Hari ulang tahunnya dilupakan. Status WhatsApp menyakitkan menyambutnya: suaminya disuapi wanita lain. Dan adik iparnya dengan bangga menyebut perempuan itu "calon kakak ipar".
Cukup.
"Aku akan tunjukkan siapa aku sebenarnya. Bukan demi mereka. Tapi demi harga diriku sendiri."
Dan saat semua rahasia terbongkar, siapa yang akan menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 30
Setelah keluar dari ruang sidang, suasana mobil yang membawa mereka pulang dipenuhi keheningan. Wajah Mirna masam, tangannya terus menggenggam tas dengan kuat. Begitu tiba di rumah, ia langsung duduk di kursi ruang tamu dan membuka suara.
“Lusi, cepat telepon ayahmu. Suruh dia cari cara biar Anjani wajib bagi harta ke Riki. Ayahmu pasti punya kenalan di pengadilan!” bentak Mirna tanpa basa-basi.
Lusi menelan ludah. “Eeh... ayahku masih umroh, Bu. Sekitar sebulan enggak bisa dihubungi.”
Mirna menoleh cepat. “Kok umroh bisa lama banget?”
“Sekalian ke Timur Tengah, katanya mau cari investor. Soalnya ayah dipercaya pemerintah buat urusan kerja sama luar negeri,” jawab Lusi, mengarang seadanya.
Mirna mendengus, menepuk-nepuk kakinya gelisah. “Terus gimana ini? Jangan sampai kita pulang dengan tangan kosong. Kita harus dapat sesuatu dari Anjani.”
“Sudahlah, Bu.” Adi akhirnya bersuara. “Riki juga sudah sah nikah sama Lusi. Mending fokus ke depan saja. Anjani biarkan pergi.”
Lusi menatap Adi curiga. “Pak, sebenarnya Anjani bisikin apa sih ke Bapak sampai Bapak kayak takut gitu sama dia?”
Adi mengangkat bahu, pura-pura tenang. “Enggak bilang apa-apa. Cuma... ya, dia ngaku punya kenalan di kementerian. Katanya bisa bikin hidup kita hancur kalau macam-macam.”
“BRAKKK!” Mirna menghantam meja dengan telapak tangannya. “Perempuan sialan itu! Enggak bisa dibiarkan. Kalau dia enggak bisa kembali sama Riki, maka dia harus kalah di pengadilan! Harus bayar kompensasi!”
Suasana memanas. Lusi terlihat tidak terlalu fokus, pikirannya melayang pada satu sosok—Raka. Lelaki yang sempat berdiri di sisi Anjani di ruang sidang tadi. Bukan Riki yang memenuhi benaknya sekarang, tapi Raka. Tampan. Tegas. Penuh wibawa.
“Aku... aku masih mencintai Anjani, Bu,” kata Riki tiba-tiba, suaranya pelan seperti gumaman.
Seketika, tiga pasang mata menoleh tajam padanya.
“Kamu bilang apa barusan?” suara Mirna meninggi. “Riki! Kamu itu sudah punya Lusi. Dia calon ibu dari anak-anak kamu. Kamu sudah sah jadi suami dia!”
“Iya, Ki,” sahut Adi cepat. “Fokus aja sama Lusi. Dia itu pinter, banyak relasi, dia bisa bantu kamu naik jabatan. Kamu bisa jadi direktur atau punya perusahaan sendiri. Jangan lihat ke belakang.”
Mirna berdiri, menunjuk wajah Riki. “Jangan pernah berpikir balik ke pelacur licik itu! Anjani itu pembohong. Dia orang kaya tapi tega lihat kamu kerja jadi tukang ojek. Kalau kamu enggak pinter, mana bisa kamu naik jadi manajer, lalu kepala cabang? Itu karena kamu sendiri, bukan karena dia!”
Riki menunduk. Ia tahu ibunya marah bukan karena benci Anjani semata, tapi karena harga diri yang terinjak.
“Kalau kamu nekat balik ke Anjani, Ibu enggak ridho!” tegas Mirna, suaranya keras tapi gemetar karena emosi.
Seperti biasa, kalimat itu jadi palu pemutus bagi Riki. “Ridho orangtua.” Kata-kata sakral yang selalu membuatnya bungkam.
“Iya, Bu. Aku mau siap-siap ke bandara. Nanti Magrib pesawatku.”
“Mas, aku ikut ya,” ucap Lusi cepat, seolah takut ditinggal.
“Enggak usah. Kamu di sini aja. Siapa yang urus pernikahan kita? Lagian uangnya ada di kamu.”
Lusi diam. Dia tahu jika tinggal di rumah itu, Mirna akan terus mencampuri segalanya. Padahal dia sudah punya rencana sendiri untuk hidup baru—jauh dari keluarga Riki. Uang itu bukan untuk resepsi, tapi untuk lari. Mulai hidup di tempat yang bahkan tak dikenal Google Maps.
“Tapi, Ki... kita ini pengantin baru. Masak sudah harus pisah? Di Surabaya kan ada fasilitas istri kepala cabang. Aku bisa tinggal tanpa membebanimu,” ucap Lusi manja.
“Sudah, Ki. Bawa aja Lusi. Kalian bisa sekalian bulan madu. Ibu yang urus acara resepsi nanti,” ujar Mirna sok perhatian.
Riki tidak menjawab. Ia tahu maksud ibunya. Dan benar saja, setelah itu...
“Dan dana pernikahan, kasih ke Ibu aja. Biar Ibu atur semua.”
Jantung Lusi langsung melonjak. Matanya membesar. Itu rupanya niat sebenarnya Mirna mengizinkan ia ikut Riki ke Surabaya.
“Iya, Lus. Serahkan aja sisa uangnya. Biar Ibu atur untuk resepsi kita,” timpal Riki tanpa beban.
“Uangnya... sudah habis,” jawab Lusi cepat. “Udah buat DP hotel, catering, sama MUA. Nanti pelunasannya ayahku yang bayar.”
Semua terdiam. Lusi mencoba tetap tenang walau dalam hati panik. Ia harus cari cara lain. Kalau tidak, semuanya akan hancur.
Di luar rumah itu, langit mulai gelap. Angin bertiup pelan, membawa debu dan kekacauan dari dalam keheningan malam. Di dalam rumah, mereka terus beradu ego. Tapi satu hal pasti: tidak ada lagi yang percaya satu sama lain.
.....
Anjani duduk di depan laptopnya. Pandangannya kosong. Slide demi slide master plan bisnis terpampang jelas, tapi pikirannya tak lagi fokus ke angka-angka dan strategi.
“Sejak kapan aku benar-benar menerima Raka? Kagum, iya. Tapi... menerima? Aku nggak yakin,” gumam Anjani pelan. Ia menyandarkan punggung di kursi, menatap layar kosong.
Ponselnya berdering. Nama Raka muncul di layar. Lagi.
Anjani hanya menatapnya, malas. Ditekan tombol “silent”, tapi beberapa detik kemudian notifikasi pesan masuk.
“Aku tahu kamu online. Mama sangat suka kamu, Ni. Itu keberuntungan besar. Mama jarang suka sama orang. Ayo dong... Aku serius. Aku pengin nikah sama kamu. Keluargaku nggak masalah kamu janda.”
Anjani mendecih pelan. Matanya menajam membaca kata janda. “Emang harus diteken ya? Emang dia pikir aku nunggu validasi keluarganya?” gerutunya dalam hati.
Belum sempat ponsel diletakkan, satu pesan lagi masuk.
“Ni, jangan putus silaturahmi. Dosa itu. Angkat, ya. Ada hal penting yang harus aku bilang.”
“Silaturahmi?” Anjani mengangkat alis. “Apa sih ini... perasaan hubungan kita belum sejauh itu juga,” ucapnya kesal. Ia letakkan ponsel di meja, balik lagi ke layar laptop.
Tapi dering ponsel kembali menggema. Kali ini nama yang muncul: Rizki.
Anjani mendesah panjang. “Kenapa sih semua cowok akhir-akhir ini suka maksa?” desisnya. Tangannya nyaris menekan tombol tolak, tapi pesan masuk lebih dulu.
“Gue sumpahin lu jatuh cinta sama gue kalau lu nggak angkat telpon gue.”
Mata Anjani melebar. Seketika, sudut bibirnya terangkat. Entah kenapa, kalimat Rizki selalu bisa bikin dia senyum di saat hati berantakan.
“Dasar...,” ucap Anjani lirih, matanya berkaca-kaca. “Kenapa bisa segila itu ngomongnya?”
Ponsel kembali berdering. Nama Rizki. Kali ini, Anjani menyerah. Ia angkat.
“Halo? Ada apa sih, Ki?” tanyanya dengan nada setengah kesal.
“Alhamdulillah...” suara Rizki terdengar riang. “Akhirnya kamu jadi jodoh gue!”
“Apaan sih lu? Gimana maksudnya?”
“Tadi gue doa. Katanya, kalau kamu angkat telpon gue malam ini, berarti kamu jodoh gue.”
Anjani menghela napas, tapi tak bisa menahan senyum. “Nyebelin tau nggak... siapa juga yang mau jadi jodoh orang sesinting kamu.”
“Hei, kalau gue sinting, kamu yang jatuh cinta sama orang sinting dong,” jawab Rizki cepat.
Tiba-tiba, suara kecil menyela.
“Tanteee...!”
Anjani langsung duduk tegak. “Septi?”
“Iya. Nih, dia yang pengin telpon kamu dari tadi,” jelas Rizki.
Panggilan berganti ke video call. Wajah lucu anak dua tahun itu muncul di layar. “Tante Anjani, aku pake baju pink... lucu kan?”
Anjani tertawa. Senyumnya tak bisa disembunyikan. “Lucu banget... cantik. Bikin tante lupa semua masalah hari ini.”
Rizki hanya tersenyum dari belakang layar. Hampir tiga puluh menit berlalu. Tapi yang paling banyak bicara memang bukan Anjani dan Rizki. Melainkan suara kecil dari Septi yang entah kenapa bisa membuat hati Anjani terasa tenang untuk pertama kalinya malam itu.
...
Anjani melangkah keluar dari kontrakan. Ia duduk di teras, memeluk lutut, sambil menonton beberapa video lucu yang dikirim Rizki. Di salah satu video, Rizki menirukan gaya presenter berita tapi dengan suara cempreng dan topi mandi di kepala.
Anjani tersenyum kecil. "Orang ini... udah kehilangan perusahaan, tapi masih bisa bikin orang lain ketawa," gumamnya heran.
Tiba-tiba, Jamal, sopir yang sehari-hari mengantar Anjani, menghampiri dengan raut canggung.
“Bu, saya jadi nggak enak hati. Rasanya kayak makan gaji buta kalau begini terus. Ada pekerjaan lain nggak, Bu? Tenang aja, saya nggak minta bayaran tambahan. Kata istri saya juga, kalau ada cucian baju, biar dia bantu cuci aja,” ujar Jamal tulus.
Anjani menarik napas panjang, tersenyum tipis. “Nggak usah repot-repot, Pak. Saya nggak biasa dicucikan orang lain. Bapak cukup jagain saya aja dari jauh. Saya tahu kok, bapak bukan orang sembarangan. Santai aja.”
“Tapi, Bu…”
“Sudah, jangan terlalu dipikirkan,” potong Anjani lembut.
Jamal diam sejenak, lalu bertanya pelan, “Bu, punya kunci cadangan kamar Firman nggak?”
“Ada. Memangnya kenapa?”
“Sudah tiga hari dia nggak keluar kamar, Bu. Kata temannya, dia baru ditinggal nikah sama pacarnya. Saya takut kenapa-kenapa. Biasanya sih masih nyahut kalau dipanggil, tapi sejak sore tadi diam aja.”
Anjani langsung berdiri. “Apa? Tiga hari nggak keluar?”
“Iya, Bu.”
“Ya sudah, ayo kita cek sekarang.”
Jamal segera berjalan di belakang Anjani, menuju kamar Firman dengan langkah cepat dan waspada.
dulu gampang an deket dng raka, sekarang dng diko.
entah lah jadi malas, gmpang di kompori. padahal pinter, jenius tp gmpang bnget nemplok sana sini, mudah di kompori.
karakter nya kurang mencerminkan wanita mahal mlh kayak janda murahan
Tapi.. kayanya bakalan lucu kalau si Firman yg dan bucin duluan nantinya 😂😂👍