Laura tidak pernah membayangkan pernikahannya akan terasa seperti penjara. Nicholas, suaminya, selalu sibuk, dingin, dan jauh. Di tengah sunyi yang menusuk, Laura mengambil keputusan nekat-menyewa lelaki bayaran untuk sekadar merasa dicintai.Max hadir seperti mimpi. Tampan, penuh perhatian, dan tahu cara membuatnya merasa hidup kembali. Tapi di balik senyum memikat dan sentuhannya yang membakar, Max menyimpan sesuatu yang tidak pernah Laura duga.Rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.Ketika hasrat berubah menjadi keterikatan, dan cinta dibalut bahaya, Laura dihadapkan pada pilihan: tetap bertahan dalam kebohongan atau hancur oleh kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BumbleBee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidurmu Nyenyak?
Laura membuka matanya perlahan. Cahaya matahari pagi menyusup malu-malu lewat sela tirai kamar, menandai bahwa hari sudah cukup lama dimulai. Ia mengulurkan tangan ke sisi ranjang yang lain—kosong. Sepi.
Ia tidak terkejut.
Sudah biasa.
Bahkan akhir pekan pun bukan pengecualian.
Nicholas selalu punya urusan. Entah pertemuan bisnis, makan siang dengan klien, atau sekadar pelarian bernama “pekerjaan.” Dunia milik Nicholas bergerak cepat, disiplin, dan penuh rencana. Ia tidak pernah benar-benar hadir di tempat ini—selain secara fisik.
Laura duduk di tepi ranjang, mengusap wajahnya pelan. Lalu matanya tertuju pada setangkai bunga lily putih dalam vas kaca di atas meja kecil dekat jendela. Bunga itu masih segar. Kemarin sore, Laura membelinya sendiri, meletakkannya di sana, berharap bisa menciptakan ilusi rumah yang hangat. Namun, nyatanya sia-sia.
Ia bangkit dan berjalan pelan ke dapur. Rumah terasa terlalu rapi, terlalu hening. Hanya ada suara lemari es dan detik jam yang pelan tapi konstan. Tak ada aroma kopi. Tak ada catatan di meja.
Nicholas pergi begitu saja, seperti biasa. Tak ada pesan, tak ada pelukan. Tak ada jejak kehadiran, kecuali sisa-sisa bayangannya.
Laura menyalakan ketel. Menunggu air mendidih, tangannya memeluk tubuhnya sendiri, seolah tubuhnya sedang mencoba mengisi ruang kosong yang ditinggalkan seseorang yang tak benar-benar pernah hadir.
Laura duduk di kursi tinggi dapur, menatap cairan hitam dalam cangkir putih. Kehangatan itu menenangkan, tapi tidak mengisi kekosongan.
Teleponnya bergetar. Sebuah pesan masuk.
Max:
Kamu sudah bangun? Kupikir kamu tipe yang bangun siang saat akhir pekan.
Laura tersenyum samar.
Laura:
Pagi. Tidak bisa tidur lebih lama. Rumah terlalu sepi.
Max:
Sepi bukan berarti buruk. Kadang lebih jujur daripada kebisingan yang dibuat-buat.
Laura:
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Kamu selalu menulis seperti sedang membaca pikiranku.
Max:
Bukan. Aku hanya tahu seperti apa rasanya duduk sendiri, ditemani suara detak jam dinding.
Laura:
Sesederhana itu?
Max:
Sesepi itu.
Laura terdiam. Pesan-pesan Max tidak pernah manis. Tapi entah bagaimana, kata-katanya menyentuh sisi yang bahkan Nicholas tidak pernah jangkau.
Ia menyesap kopi pelan. Kali ini, pahitnya terasa lebih manusiawi.
Ponselnya kembali bergetar pesan dari Max lagi.
Max:
Semoga harimu menyenangkan, Laura. Entah kenapa… aku merindukanmu.
Laura menatap layar sejenak. Tidak bergerak. Tidak membalas.
Pesan itu terlalu jujur. Terlalu tepat sasaran.
Dan terlalu berbahaya untuk dijawab.
Ia menekan tombol kunci, meletakkan ponselnya menjauh seolah benda itu bisa membakar ujung jarinya. Ia tidak membalas. Bukan karena tak ingin. Tapi karena tahu apa yang akan terjadi jika ia terus menanggapi.
Max adalah jeda. Nicholas adalah komitmen. Tapi hari ini—Laura tidak ingin menjadi milik siapa pun.
Ia mengambil ponsel lagi, kali ini membuka kontak Sheila. Jemarinya bergerak cepat, nyaris tanpa ragu.
Laura:
Sheila, apa kamu sibuk? Kupikir… kita bisa jogging pagi ini. Sudah lama sekali, ya?
Beberapa detik berlalu. Lalu balasan datang.
Sheila:
Oh my God, akhirnya! Aku pikir kau sudah lupa aku punya sepatu olahraga 😂. Jemput aku jam 9?
Laura tersenyum kecil. Rasanya ringan. Tanpa beban.
Tidak ada kenangan yang perlu dihindari bersama Sheila. Hanya napas, langkah, dan suara sepatu beradu dengan aspal.
Hari ini, ia memilih berlari menjauh.
Dari perasaan. Dari Max. Dari segala kemungkinan yang bisa menyakitinya.
***
Mereka jogging di sepanjang taman kota yang mulai ramai oleh pengunjung akhir pekan. Udara pagi masih segar, dengan matahari yang belum sepenuhnya meninggi.
Sheila melirik ke arah Laura yang berlari di sampingnya. “Kamu kelihatan murung,” katanya pelan. “Apa kamu bertengkar dengan Nicholas?”
Laura menghela napas panjang, pandangannya lurus ke depan. “Nicholas bukan pria yang bisa kamu ajak bertengkar,” jawabnya jujur.
Sheila mengangguk sambil tersenyum, seolah sudah menduga itu. “Ya, aku tahu itu.”
Ia melambatkan langkah, lalu mengangkat tangan kirinya, memperlihatkan sesuatu yang berkilau di jari manisnya. “Tapi aku ingin kamu lihat ini.”
Laura melirik dan matanya langsung membesar. “Sheila! Itu cincin?!”
Sheila terkekeh. “Lumayan mencolok, ya?”
Laura tersenyum lebar dan memperlambat langkahnya. “Tunggu dulu... jadi, kekasihmu itu akhirnya melamarmu?”
Sheila mengangguk penuh antusias. “Tadi malam. Di balkon apartemenku. Dengan lampu-lampu kecil dan lagu Norah Jones.”
“Ya Tuhan…” Laura menutup mulutnya dengan tangan. “Itu seperti adegan film romantis.”
Sheila tertawa kecil. “Dan aku bilang iya... walau setengah menangis dan setengah panik.”
"Sampai detik ini kamu belum mengajaknya bertemu denganku," Laura mendelik pura-pura marah.
Bagaimana mungkin Sheila akan membawa pria itu ke hadapannya jika pria itu adalah suaminya sendiri. Entah bagaimana reaksi
Laura jika semuanya terbongkar.
"Nanti, akan ada waktunya," Sheila tersenyum. Dasar wanita busuk!
Langkah mereka melambat tatkala mencapai bagian taman yang lebih sepi.
Hingga pandangannya terhenti.
Di seberang jalan setapak, tak jauh dari bangku taman yang menghadap danau buatan kecil, berdiri seorang pria yang tak asing. Tubuhnya tegap dalam balutan jaket kelabu, dan tangan kirinya memegang secangkir kopi. Begitu tatapan mereka bertemu, waktu seolah berhenti.
Max.
Dan celakanya—Max juga melihatnya.
Tatapan pria itu tidak ragu. Tidak bingung. Bahkan tidak heran. Ia justru tersenyum kecil, lalu mulai melangkah mantap ke arah mereka.
Detik itu juga, Laura ingin berbalik dan kabur. Panik menyergapnya dengan cepat, terlebih karena Sheila masih berada di sisinya. Namun langkahnya tertahan saat suara berat yang tak pernah gagal menggetarkan hatinya memanggil nama itu.
"Lau..."
Suara itu tenang, jelas, dan tak memberi ruang untuk penghindaran.
Sheila yang semula menoleh ke arah bunga-bunga taman, kini memalingkan wajah ke sumber suara. Kedua alisnya terangkat sedikit ketika melihat pria yang tengah menghampiri mereka.
Laura meneguk ludah, mencoba bersikap tenang, meski jantungnya berdetak kencang. Ia menoleh ke arah Sheila, berusaha mencari celah untuk menghindar, namun tak menemukan apa pun selain keterkejutan yang terpancar dari sahabatnya.
Max kini berdiri hanya beberapa langkah darinya. Senyumnya tetap seperti dahulu—lembut namun tak tertebak.
"Kita bertemu di sini," ucapnya pelan, matanya tak lepas dari wajah Laura.
"Ya," sahut Laura kikuk.
"Siapa?" Sheila berbisik di pelan.
“Sheila, ini... Max,” kata Laura akhirnya, memperkenalkan dengan suara nyaris bergetar.
Sheila, meski masih terlihat heran, segera mengangguk dan tersenyum sopan. “Hai, saya Sheila.”
“Max,” balasnya sambil menjabat tangan Sheila. “Senang bertemu Anda.”
Lalu matanya kembali pada Laura, tak sekalipun teralihkan. “Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini.”
“Begitu juga aku,” jawab Laura, dengan senyum yang dipaksakan.
Max menatapnya sejenak, seolah menimbang apakah ia akan mengatakan sesuatu yang lebih jauh. Namun kemudian ia hanya berkata lembut, “Bolehkah aku berbicara sebentar denganmu?"
"Kami harus pergi," Laura langsung menolak. Entah kenapa ia tidak ingin Sheila menyaksikan kedekatan mereka.
Max melirik jam tangannya, lalu menatap Sheila dan terakhir dia. "Hanya menikmati secangkir kopi."
"Maaf, Max."
Max menarik napas panjang, "aku tidak bisa memaksamu. Tidurmu nyenyak?"
"Ya, lumayan."
"Aku tidak sama sekali," aku pria itu tanpa melepaskan tatapannya dari Laura.
Thor boleh aku kirim rudal Israel buat mereka,kelamaan nunggu mereka hancur,menangis,menyesal dan tak berani menampakkan giginya depan umum.viralkan Thor🙏🏻🙏🏻🙏🏻🙏🏻
geram aku sama kalian sejak dipaijo,digantung lagi hingga menghilang.untung kutemukan kalian disini,tempat neraka kalian
aku harap🙏🏻🙏🏻Niko menyesal dan sangat menyesal atas dosanya dan membawa kehancurannya,Badas Thor disini jangan nanggung
berat amat hidup Laura Thor sejak di Paijo sampai pindah sini masih begini😭😭😭😭kamu tega Thor,apakah kamu sekongkol sama Shella dan Niko juga max???