Membina rumah tangga tidak semudah membalikkan tangan. Banyak rintangan yang datang dan kita wajib bersabar, lapang dada, dan memiliki sifat kejujuran.
Menikah dengan anak SMA butuh banyak bimbingan. Hadirnya cinta masa kelam membuat retak cinta yang sedang dibina. Banyak intrik dan drama yang membuat diambang perceraian.
Kasus pembunuhan, penyiksaan dan penculikan membuat rumah tangga makin diunjung tanduk. Bukti perselingkuhanpun semakin menguatkan untuk menuju jalan perpisahan. Mungkin hanya kekuatan cinta yang bisa mengalahkan semua, namun menghadapinya harus penuh kasabaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhang zhing li, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Babak Belur 2
Masih didalam kamar mandi. Berkali-kali air terciprat kan dimuka biar tambah segar dan menghilangkan beban pikiran.
"Mana, Ryan? Mana dia sekarang ... mana?" Suara seorang perempuan muda yang mencari Ryan.
Sepetinya hari ini bakalan banyak kejutan.
"Hadeh siapa lagi itu? Apes benar dah hari ini," keluh Ryan.
Handuk sedikit basah dibanting begitu saja. Siap menghadapi orang yang tidak sabaran juga yang ingin bertemu dengan dirinya.
"Ryan ... oh Ryan. Dimanakah dirimu? Kemari ... oh Ryan, aku datang nih!" teriak seseorang yang masih tak dapat menemukan Ryan.
Akibat suara cempreng yang memanggil-manggil namanya, akhirnya Ryan keluar dari kamar mandi, dan mencoba menemui siapakah gerangan yang menyebut namanya terus-menerus.
Mata terbelalak, tak menyangka jika singa yang sedang mengaum parah tak sabar ingin menyergap.
"Sini kamu ... sini! Mari ... mari sini," panggilnya, yang tengah berdiri jauh terhadap orang yang memanggil.
Terlihat ciut nyali dan takut yang sekarang dirasakan Ryan.
"Apa kau tidak dengar jika aku memanggilmu, hah!" bentak wanita itu.
"Isssh."
"Jangan as is melulu. Sini kau!"
"Hh, Iya ... ya. Bawel."
"Tidak usah berteriak begitu. Aku masih belum tuli," keluh Ryan.
"Kalau belum tuli, cepat ke sini dudul. May .. may sini!" Tangan melambai suruh mendekat.
Ada rasa ragu, namun jika tidak dituruti pasti bakalan babak belur. Jika mundur pasti akan dikubur hidup-hidup.
Perlahan-pelan mulai melangkah mendekati. Penuh kehati-hatian dan waspada. Sang perempuan hanya tersenyum kecut dan penuh pemaksaan.
"Aaaah ... akhhhgk," Suara Ryan berteriak keras, dengan tangan berusaha menahan rambutnya yang telah dijambak.
"Rasakan ini, hhhh... heeh. Biar kamu itu tahu rasanya disakiti itu bagaimana?" kemarahan sang kakak perempuan Ryan, yang sudah berapi-api, dengan nafas tersengal-sengal karena emosi.
"Aaa ... aww ... aaa, lepaskan perempuan gila," permohonan Ryan.
Rambutnya sudah dijambak secara kuat di goyang ke kiri kanan.
"Aku tidak akan lepaskan, sampai kepalamu botak. Dasar pria b*jingan," Sang kakak tak mau menyerah.
"Ahhh, lepaskan. Dasar wanita ngak ada akhlak," Ryan masih berusaha untuk negosiasi.
"Apa yang kau bilang? Rasakan ini ... rasakan. Mampus 'lah kau," Sang kakak makin menjadi-jadi.
"Akkh, tolongg."
Para anak buahnya sudah ramai berkerumunan, yang berusaha memisahkan kemurkaan kakaknya.
Semua pada kebingungan dan kalut.
"Ayo cepat, bantu aku melepaskan diri dari wanita s*nting ini," Ryan masih kalah.
"Duh, Bos. Kami sudah berusaha ini, tapi kakak kamu kuat banget," timpal salah anak buah.
"Apa yang kau bilang? Wah, minta di tampol sambel mulut kau ini," Tak mau mengalah juga.
Ruangan jadi ramai. Saling tarik menarik diantara semuanya.
Ada yang berusaha membuka tangan sang kakak, agar rambut Ryan tidak serius terjadi kebotakan.
Ebi dan anak buah lainnya, akhirnya telah berhasil menarik kekejaman sang kakak, dengan tangan sudah dipegangi disebelah kiri kanan.
"Kamu jangan lari, sini kamu ... sini! akan ku hancurkan muka kamu yang sok ganteng itu, biar semua wanita jijik padamu," kata-kata kasar sang kakak.
"Wah ... kamu benar-benar gila, kamu apakan rambutku," ucap Ryan marah mengelus-elus rambut akibat sudah merasakan kesakitan yang luar biasa.
"Lihat ini!" tangan sang kakak sudah terbuka, menunjukkan beberapa helai rambut Ryan yang tercabut.
"Haist, benar-benar kejam dan gila kau itu!" nyolotnya suara Ryan marah-marah.
"Apa yang kamu katakan barusan? Sudah berani sekali ya kamu ini! Ngatain kakak sendiri, sini ... sini kamu. Minta dicincang beneran nih anak," Kemurkaan sang kakak dengan mata sudah melotot tajam.
Tangan sang kakak sudah berusaha meronta-ronta, tapi para anak buah Ryan terlalu kuat memegang, sehingga susah sekali ingin memberi pelajaran sang adik lagi.
"Jangan lepaskan dia. Bawa pergi jauh-jauh!" perintah Ryan.
"Baik, Bos." Kompak semua orang.
"Hei ... hei, mau dibawa kemana aku ini," Sang kakak meronta tidak terima.
"Maaf kami, Nona. Harus membawa kamu keluar dari sini."
"Hadeh, kalian tidak usahlah mengikuti perkataan adikku yang ngak ada akhlak itu," Berusaha membujuk.
Kakak nampak tenang, ketika diajak berjalan keluar. Wajahnya sudah tersenyum walau ada guratan tidak tulus.
"Hehhe. Om, sudah ya. Aku akan tenang, tak akan menghajar adikku lagi, jadi lepaskan aku dulu! Tangan sudah sakit nih, sebab kalian pegangin secara kuat. Aku janji akan tenang, ok!" alasan kakak Ryan.
"Baiklah, kami akan melepaskan. Tapi janji jangan macam-macam pada bos kami. Silahkan pulang," ucap salah satu anak buah Ryan.
"Iya, aku janji. Hehhe."
Tangan dielus-elus. Sedikit sakit karena ingin lepas tapi terus dipegangi paksa.
Merasa sudah aman, tiga anak buah Ryan sudah masuk. Meninggalkan sang kakak sendirian diluar kantor.
"Maaf ya, Om. Bye ... bye!" sapa kakak Ryan yang sudah berlari secepat kilat.
Dirasa lengah, Kakak tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk masuk lagi.
"Hei ... hei, Nona. Mau ke mana kamu?" Kekagetan mereka.
"Hei, tunggu." Kompak berteriak.
"Duh, ayo kita kejar. Bisa m*ampus jika menghajar bos kita lagi."
"Eeh, iya ... ya kita kejar."
"Hei tunggu, Nona." Mereka kalah cepat.
Ryan masih sibuk mengelus rambut. Banyak yang tercabut sampai membuat kepala agak terasa pusing.
"Ryaaaaan!" teriak sang kakak begitu kerasnya.
Bhuugh, daratan tinju tangan terkena dibibir.
Membuat sang empu keliyengan dan terbelalak kaget.
Hiaat ... bhuugh ... blaannghk, sebuah tendangan kaki begitu kalap menyerang tiba-tiba, yang telah menyerang wajah Ryan.
Sang kakak begitu kuat menendang.
Tanpa ampun dan kasihan lagi berani menyerang sang adik.
Tangan Ryan sudah memegang hidung, yang ternyata sudah mengucurkan darah, akibat terkena tendangan maut sang kakak yang notabennya memang jago beladiri.
"Aaah ... Akkhgk, dasar perempuan gila," ucap Ryan saat melihat tangannya sudah dipenuhi darah, dengan sesekali kepalanya berusaha mendongak ke atas.
"Hahahah! M*mpuslah kau, hahaha," tawa puas sang kakak.
"Dasar wanita ngak tahu diuntung," Ryan masih sibuk ingin menghentikan darah yang keluar.
"Astaga ... astaga, Bos. Kau tidak apa-apa," Kepanikan para anah buah.
"Kalian ini dudul atau bod*h, hah. Ngak pa-pa kepalamu peyang," Ryan sudah emosi.
"Maaf ... maafkan kami, Bos."
Hidung tanpa henti mengeluarkan darah, dan para anak buah sudah dibuat bingung dan panik.
Mereka membantu menyiapkan tisu sang bos, yang mana Ryan terus saja mendongak ke atas.
Disisi lain sang kakak perempuannya tertawa puas dan sinis, apa yang telah terjadi terhadap adiknya.
Tisu sudah diberikan. Entah berapa lembar yang habis, yang jelas dilantai sudah berserakan tisu memerah.
"Jika hidung mancung ku patah. Awas saja akan ku patahkan juga kakimu," ancam Ryan.
"Ciiih, ngurus diri sendiri saja tidak becus. Mau ngurus kakakmu ini? Ngak salah tuh. Yang ada akan mencabik-cabik tubuhmu itu," Tak mau mengalah, malahan ingin menantang.
"Tunggu saja tanggal mainnya. Kau itu perempuan, kecil bagiku ingin menghilangkan satu kakimu saja."
Adu mulut terjadi. Darah mulai agak berhenti. Suasana sedikit tenang. Duduk terpisah antara keduanya, dengan dijaga ketat oleh para anak buah agar pergulatan antara adik kakak tidak terulang lagi.
"Dih, kau mau menantang ku? Kau masih bocah piyik aja sok-sokan kuat. Baru dijetes aja sudah keok," Kesombongan sang kakak.
"Wah ... wah, mau mencoba!" Ryan sudah berdiri ingin mengajak gelut.
"Ayo sini, kalau berani!" Kakak pun tak mau kalah juga.
"Ehhh ... eeh. Sudah ... sudah. Nanti bakalan ada korban jiwa masuk rumah sakit!" Cegah Bagas.
"Kalau masuk rumah sakit bagus 'lah itu. Lebih senang lagi jika dia masuk liang lahat. Hahahah!" Puasnya kakak beradu mulut.
"Wah ... wah, minta di tampol sandal jepit nih orang," Ryan makin dibuat emosi.
"Coba saja. Wlueeek!"
Para anak buah dibuat pusing dan kerepotan.
Suasana cukup tenang. Terpisah ruangan. Kopi dan camilan disuguhkan.
Para anak buah melayani penuh kehati-hatian terhadap sang kakak. Salah singgung dikit saja pasti berakibat fatal bagi bosnya.
"Sekarang ikut, Mama. Cepat ... cepat!" ujar beliau sudah datang juga.
Sang Mama datang terlambat, sebab tempat kerja kakaknya lebih dekat dengan kantor Ryan, daripada rumah asli orang tuanya.
"Bagus, Ma. Cin cang dia. Hahaha!" gelak tawa puas sang kakak.
"Awas kau. Akan ku buat perhitungan nanti."
"Coba saja kalau berani. Wluek, hahah."
"Udah diam kamu," paksa beliau untuk ikut.
"Aakghh ... Aaa ... Aww, Ma! Sakit, lepaskan!" ucap Ryan sambil menahan jeweran telinga.
"Cepat ... ayo cepat! Tidak usah tawar menawar," Tangan mamanya masih saja sibuk menjewer, untuk mengikuti langkah kaki.
Kini mereka semua menuju mobil yang terparkir ditempat kerja dinas Ryan, dimana sang ayah ternyata juga sudah menunggu dimobil.
"Ya ampun ... apa lagi ini!" batin Ryan dalam hati.
Hidung yang berdarah sudah tersumpal tisu sebelah kanan dan kiri, sampai nafas pun tidak bisa menghirup udara dengan benar. Rasanya hidung sudah nyeri bagaikan patah, dan untung saja dia adalah kakaknya, kalau bukan saja pasti akan dilawan Ryan, serta sudah dijebloskan dipenjara akibat melukai perwira polisi.
"Kamu itu sudah tak waras 'kah, Dek?" tanya sang kakak.
"Apaan, sih? Ngak penting banget dan bermutu pertanyaanmu itu."
Seketika Ryan hanya diam membisu, ketika mata mamanya sudah melotot tajam kearahnya.
"Apa yang terjadi?" tanya Papa lemah lembut.
"Apanya, Pa?"
"Ngak usah pura-pura tidak tahu, atau kurang banyak aku menghajar kamu tadi," simbat Kakak tidak senang.
"Ciiih, beraninya cuma sama anak kecil."
"Kecil apaan. Rambut atas bawah udah tumbuh semua tuh. Apalagi kulit udah berbulu gitu, ihhh. Hahaha."
"Dih, pikiran mes*m amat sih."
"Kenyataan 'kan? Cinta-cintaan aja udah paham, apalagi menyakiti orang."
Papa fokus menyetir. Tidak peduli perdebatan kedua anak kesayangan mereka.
"Nah, benar kata Kakak kamu itu. Kamu memang anak kurang ajar. Sudah berani-beraninya selingkuh sama Dona? Otak kamu ditaruh dimana, hah? Apa kamu itu tidak mikir kalau kamu itu sudah punya istri?" saut Mama mulai emosi.
"Otaknya lagi kurang waras. Kurang asupan kali, atau belaian gajah. Biar sekalian sekarat ditimpa si semox gajah. Hahaha."
"Cihh, ngadi-ngadi."
"Benar kata kakakmu kamu, sudah tidak waras! Kalaupun masih cinta Dona, ngapain kemarin merengek-rengek minta nikah sama Mila," cecar Mama.
"Kalian semua salah paham, termasuk Mila dan kakak juga. Jangan asal main hakim sendiri, kalau tidak tahu kebenarannya dulu," ucap Ryan berusaha membela diri.
"Apa? Jadi kamu nyalahin kakak, gitu? Kamu yang selingkuh malah nyalahin orang," ketus Kakaknya berbicara.
"Bukan gitu, Kak. Aku akan jelaskan semuanya, ok!" imbuh Ryan.
"Hmm, terserah kamu," Kakak mulai lelah menyahut.
Akhirnya Ryan menjelaskan semuanya yang terjadi, dari cerita A sampai Z secara terperinci dan detail, sehingga Mama dan Kakaknya kini hanya bisa terdiam, sebab semua ini hanya kesalahpahaman belaka.
enaknya kalau ketahuan bukan hnya dihajar tp bakalan kena karma