Beberapa bulan setelah ditinggalkan kedua orang tuanya, Rama harus menopang hidup di atas gubuk reot warisan, sambil terus dihantui utang yang ditinggalkan. Ia seorang yatim piatu yang bekerja keras, tetapi itu tidak berarti apa-apa bagi dunia yang kejam.
Puncaknya datang saat Kohar, rentenir paling bengis di kampung, menagih utang dengan bunga mencekik. Dalam satu malam yang brutal, Rama kehilangan segalanya: rumahnya dibakar, tanah peninggalan orang tuanya direbut, dan pengkhianatan dingin Pamannya sendiri menjadi pukulan terakhir.
Rama bukan hanya dipukuli hingga berdarah. Ia dihancurkan hingga ke titik terendah. Kehampaan dan dendam membakar jiwanya. Ia memutuskan untuk menyerah pada hidup.
Namun, tepat di ambang keputusasaan, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[PEMBERITAHUAN BUKAN SISTEM BIASA AKTIF UNTUK MEMBERIKAN BANTUAN KEPADA TUAN YANG SEDANG PUTUS ASA!
APAKAH ANDA INGIN MENERIMANYA? YA, ATAU TIDAK.
Suara mekanis itu menawarkan kesepakatan mutlak: kekuatan, uang,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarif Hidayat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 ketegangan di pasar
"Bedebah! Kenapa kau menyerangku?!" raung Jabrig, berdiri tegak meski darah masih menetes dari mulutnya. Wajahnya memerah, bukan hanya karena amarah, tetapi juga karena rasa malu yang amat sangat di depan puluhan anak buahnya.
Rama mengabaikan raungan itu. Ia hanya menatap dingin ke arah kerumunan preman yang kini terkejut dan bingung.
"Kalian tidak mendengarkan peringatan, dan sekarang kalian mencoba membawa seorang gadis untuk melunasi utang yang tidak masuk akal," kata Rama, suaranya pelan, namun bergetar dengan otoritas yang aneh. "Konsekuensinya... kalian sendiri yang akan menanggungnya."
Wajah Jabrig menjadi lebih gelap. "Dengar! Serang dia! Jangan kasih ampun! Siapa pun yang berhasil mematahkan lengannya, akan mendapatkan hadiah besar dariku!"
"SERANG!"
Mendengar perintah itu, lima puluh preman, yang didominasi oleh tubuh-tubuh besar dan wajah-wajah kasar, langsung berteriak keras, melompat maju seperti gelombang tsunami yang ganas. Mereka membawa apa pun yang bisa mereka temukan—bambu, pipa besi tumpul, bahkan botol kaca bekas.
Kerumunan saksi mata langsung menjerit, mundur cepat-cepat, menciptakan lingkaran kosong yang besar di sekitar Rama, karena takut ikut terseret dalam kekerasan masal itu.
Kecepatan Mutlak dan Patahan Tulang
Rama menutup matanya sejenak. Dalam benaknya, lima puluh sosok yang bergerak itu terasa lambat dan kikuk, seperti patung tanah liat yang baru bisa digerakkan. Ia tidak perlu menggunakan teknik Qi yang rumit. Menggunakan Kekuatan Tubuh 250% yang diperkuat Qi-nya sudah lebih dari cukup untuk menghasilkan daya hancur.
[KEJUTAN PERTAMA: BADAI PATAHAN]
Ketika preman terdepan sudah mencapai jarak satu meter, Rama membuka matanya. Matanya tampak berkilat tipis, sedetik sebelum ia menghilang.
Swoosh!
Bukannya melawan, Rama justru bergerak menembus kerumunan! Lima puluh preman itu hanya melihat bayangan Rama berkelebat secepat kilat. Sebelum mereka menyadari apa yang terjadi—
Krak! Krak! Buk! Puk!
Suara yang tercipta bukan hanya benturan tumpul, tetapi suara tulang yang retak dan patah terdengar nyaring dan mengerikan, hampir bersamaan, dari segala arah!
Rama bergerak seperti hantu:
Tendangan ke lutut preman pertama: lutut berputar ke arah yang salah.
Sikut ke lengan preman kedua: terdengar bunyi 'Krak!' saat lengan terayun tak berdaya.
Pukulan cepat ke tulang rusuk preman ketiga: rusuk itu langsung cekung ke dalam.
Ini adalah pembantaian satu sisi. Preman-preman itu jatuh, bukan karena pingsan, tetapi karena anggota badan mereka dilumpuhkan secara permanen.
Dalam waktu kurang dari lima menit pertarungan itu selesai begitu saja,
Ia kembali berdiri di tempatnya semula, pakaiannya rapi, napasnya normal. Sementara itu, 50 preman yang menyerang, kini terkulai di lantai, mengerang kesakitan yang memilukan, sebagian besar dari mereka tidak akan bisa berdiri selama berminggu-minggu.
Semua senyap. Kengerianlah yang mengambil alih suasana. Para pedagang, pembeli, dan Bu Mirna yang memeluk putrinya, kini menatap Rama dengan rasa hormat yang bercampur ketakutan. Mereka melihat pemuda itu bukan lagi sebagai manusia, tetapi sebagai mesin penghancur yang bersembunyi dalam wujud sederhana,
Keputusasaan Jabrig yang Mutlak
Jabrig, yang baru pulih dari pukulan pertama, menyaksikan pemandangan itu. Jantungnya serasa copot. Keringat dingin langsung membasahi punggungnya. Amarahnya lenyap, digantikan oleh kepanikan yang mutlak.
"I-ini... ini tidak mungkin! Mereka semua...!" bisik Jabrig, menunjuk anak buahnya yang tergeletak mengenaskan. kekuatan dan kecepatan pemuda itu sungguh di luar nalarnya,
bahkan bisanya sendiri yang merupakan seorang ahli bela diri tingkat tinggi, tidak bisa di bandingkan dengan pemuda ini,
Ia melihat kaki anak buahnya bengkok, tangan mereka terpelintir, dan mereka menjerit meminta tolong, bukan untuk melawan, melainkan untuk dibawa ke rumah sakit.
Kemudian rsma mendekati perlahan ke arah Jabrig, dan itu membuat jabrig seketika mundur beberapa langkah ke belakang,
Begitu Rama mendekat, Jabrig merasa seolah-olah sebuah gaya gravitasi aneh menekannya ke bawah. Udara di sekitarnya terasa sesak, dan kakinya mulai gemetar tak terkendali.
"K-kau... kau iblis! Kau monster!" Jabrig tersentak mundur, air mata mulai menggenang di matanya. Ia tidak bisa menjelaskan sensasi tekanan ini, tetapi nalurinya yang paling primitif berteriak bahwa ia sedang berhadapan dengan malaikat maut.
"Aku sudah memperingatkanmu," kata Rama, suaranya datar. "Tapi kau justru malah mengabaikannya. Kali ini, kalian semua harus mendapat pelajaran yang mendalam, pelajaran yang akan kalian ingat setiap kali tulang kalian terasa nyeri."
Tepat saat itu, Rama mengangkat kakinya. Jabrig, yang kini diliputi keputusasaan, mengira ia akan mendapatkan tendangan mematikan. Ia menutup mata dan berteriak sekuat tenaga.
Brakk!
Bukan tendangan ke tubuhnya, melainkan tendangan ke aspal di samping kepalanya yang gemetar!
Aspal pasar yang keras itu langsung terbelah dan hancur, menciptakan lubang kecil sedalam beberapa sentimeter dengan asap tipis mengepul dari pecahannya. Debu dan pecahan kecil aspal berhamburan, membuat Jabrig terbatuk-batuk dan buru-buru membuka matanya.
Jabrig menatap kaki Rama, lalu ke lubang yang tercipta. Kengerian itu kini mencapai puncaknya—ia baru saja lolos dari kematian. Ia tahu, jika tendangan itu diarahkan ke kepalanya, ia tidak akan memiliki wajah lagi.
"Aku... aku menyerah! Ampuni aku, Tuan! Kami tidak akan pernah kembali! Tolong, lepaskan saya, saya berjanani tidak akan mengulanginya lagi!" Jabrig, yang biasanya sombong dan kejam, kini benar-benar berlutut dengan lutut menyentuh aspal yang dingin, menangis dan memohon ampunan.
Rama memandangnya jijik, lalu menoleh ke arah Bu Mirna dan putrinya.
"Aku harap kalian semua melihatnya," kata Rama, berbicara kepada kerumunan, suaranya kini memancarkan perintah yang tidak bisa dibantah. "Jika orang-orang ini kembali mengganggu, tidak peduli siapa bos di belakang mereka, aku sendiri yang akan memastikan mereka membayar sepuluh kali lipat. Laporan yang kalian berikan ke polisi mungkin bisa 'ditelan', tetapi patahan tulang ini tidak akan bisa 'ditelan' oleh siapa pun."
Setelah memastikan Jabrig dan preman lainnya benar-benar lumpuh oleh rasa takut dan sakit, Rama berbalik. Ia berjalan santai, seolah baru saja menyelesaikan tugas ringan, dan menghilang kembali ke keramaian, mencari toko pakaian tempat Bela menunggunya.
"T-Terima kasih banyak, anak muda! Semoga Tuhan membalas kebaikan Anda!" Bu Mirna buru-buru membungkuk dalam-dalam, air mata bercampur lega mengalir di pipinya.
Rama segera menahan wanita itu dan berkata,"Jangan pernah berlutut di depan siapapun, saya hanya membantu memberi pelajaran pada sampah-sampah seperti mereka dari pasar ini,"
"Te-terimakasih nak," Ucap wanita itu kembali sebelum Rama akhirnya pergi dari sana,
Kerumunan kembali ramai, namun dengan bisikan-bisikan horor dan kekaguman. Mereka tahu, hari ini, mereka telah menyaksikan sesuatu yang akan mengubah dinamika pasar selamanya—seorang pemuda yang tidak perlu takut pada preman mana pun, karena dialah monster yang sebenarnya.