Ini tentang sebuah perselisihan dua puluh Tahun lalu antara Atmaja dan Biantara
Mereka berperang pertumpuhan darah pada saat itu. Atmaja kalah dengan Biantara, sehingga buat Atmaja tak terima dengan kekalahannya dan berjanji akan kembali membuat mereka hancur, sehancur-hancurnya
Hingga sampai pada waktunya, Atmaja berhasil meraih impiannya, berhasil membawa pergi cucu pertama Biantara yang mampu membuat mereka berantakan.
Lalu, bagaimana nasib bayi malang yang baru lahir dan tak bersalah itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skyl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 11 - restu
"Kamu tidur dulu, saya tidak akan kemana-kemana."
"Monster kapan kita pulang ke rumah monster?" tanya Aruna.
"Kenapa mau pulang?" tanya Kaivan balik.
Aruna mencibikkan bibirnya ke bawah, air matanya jatuh membasahi pipinya.
"Di sini enggak seru, di rumah monster banyak mainan, bisa main sama bibi-bibi juga. Di sini enggak ada bibi, Aruna kesepian, Aruna mau pulang monster. Kita pulang ayo," rengek Aruna.
Kaivan menghela napas, mengangguk seraya menghapus air mata gadis kecilnya.
"Baiklah kita akan pulang, jangan menangis lagi."
Aruna menghapus air matanya setelah itu tersenyum sangat bahagia.
"Tapi malam ini kamu harus tidur, besok kita pulang."
"Enggak sekarang?" tanya Aruna.
"Besok Aruna, kan udah malam. Saya mau istirahat dulu."
"Tapi janji yaa, Una sama monster akan pulang."
"Iya Aruna, sudah tidurlah." Kaivan menuntun gadis tersebut kembali tidur.
"Tutup matamu." Aruna menurut, dia memejamkan matanya, menikmati usapan lembut di kepalanya.
Beberapa menit kemudian. Kaivan memandang Aruna, sepertinya sudah terlelap. Dengan pelan dia menarik tangannya yang Aruna peluk.
Cup!
Satu kecupan dia berikan ke kening Aruna sebelum meninggalkan kamar tersebut. Awalnya dia ingin di sana menemani Aruna, takut tiba-tiba rewel tengah malam. Namun, sudah ribuan kali mamanya terus datang ke kamar untuk mengingatkan jangan tidur berdua di satu kamar.
Akhirnya, Kaivan tidak jadi tidur di sana melainkan tidur di kamarnya.
Sengaja dia tak tutup pintu agar jika Aruna terbangun dan mencarinya, dia bisa keluar dari kamar.
"Sudah tidur?" tanya Deri yang baru saja mengambil minum di dapur.
"Sudah, pah."
"Bisa papa ngomong berdua sama kamu?"
Kaivan mengangguk. Mereka pun menuju ruang tengah.
"Apa keputusan kamu untuk merawatnya hingga sembuh sudah bulat Kaivan?"
"Iya pah."
"Saya percaya sama anak papa. Papa juga bangga padamu. Papa akan dukung apapun yang kamu lakukan." Deri menepuk pundak putranya. "Kamu mencintainya?"
Kaivan langsung menoleh ke arah papanya. Mencintai? Mereka baru saja tinggal selama seminggu, tidak mungkin dia secepat itu mencintai Aruna, tidak. Dia belum mencintai Aruna.
"Belum, pah."
"Belum atau kamu bingung sama perasaan kamu sendiri? Nak, papa tau isi pikiran kamu. Kai, perasaan tidak harus tumbuh saat bertemu, mengenal yang sudah lama. Kamu pernah dengar istilah cinta pandangan pertama? Kamu jatuh cinta pada pandangan pertama dengan gadis itu, tetapi belum kamu menyadarinya, wajar papa tau kamu belum pernah mencintai wanita mana pun selain mama kamu. Memang sangat membingungkan, nak."
Kaivan mencerna setiap ucapan papanya. Apakah benar? Dia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Aruna?
"Seseorang akan buta jika sudah mengenal cinta. Dia akan menerima segala kekurangan dan kelebihan orang yang dicintainya, seperti kamu kepada siapa nama gadis tadi?"
"Aruna."
"Iya Aruna, kamu menerima kekurangannya kan?"
"Aruna sempurna, pah."
Deri tersenyum mendengar ucapan putranya. Oke, sekarang dia tak ingin membuat Kaivan memaksa diri untuk menyadari perasaannya.
"Baiklah-baiklah."
"Papa kok lama ambil air minumnya!" teriak Pharita.
"Astaga papa, malah nongki di sini sama Kai. Mama udah nunggu air yang papa bawakan, mama haus tau."
Pharita mengambil pitcher yang berisi air dari tangan suaminya.
"Hemm. Aruna sudah tidur?" tanya Pharita pada Kaivan.
"Sudah, mah."
"Kalian bakal di sini selama seminggu kan?" Padahal tadi aja wanita paruh baya itu tidak ingin bicara apapun menyangkut Aruna, tetapi lihatlah sekarang, sudah menanyakan tentang Aruna.
"Tidak, mah. Kami akan kembali ke mansion besok."
"Lah kok gitu."
"Aruna tidak terbiasa dengan lingkungan ini, mah. Tadi dia menangis ingin pulang ke mansionku."
Pharita terlihat murung sekarang. "Nanti juga dia jadi istri kamu, dia harus sering berkunjung ke sini, atau dia enggak mau ketemu sama mama?"
"Ciee udah nerima calon menantu ini?" ejek papa Deri membuat Pharita menutup mulutnya.
"Belum, mama masih kecewa sama Kaivan, tapi mau gimana pun Kaivan akan menikahinya kan?" Pharita menatap kedua lelaki di depannya, ia menghela napas. "Iya-iya mama jujur deh, Aruna lucu. Mama enggak bisa lama-lama marah sama gadis selucu dia."
Kaivan tersenyum. Sekarang sudah tak ada kendala, mama sama papanya mulai menerima Aruna serta kekurangan yang gadisnya miliki.
"Mama akan terus dukung setiap pilihan kamu, sayang. Mama hanya ingin yang terbaik untuk putra satu-satunya di keluarga kita, kalau Aruna adalah pilihan yang akan membuatmu bahagia. Kamu ingin menyembuhkannya lalu hidup bersamanya, membentuk keluarga kecil. Mama akan dukung keputusanmu, apapun itu selama pilihan kamu baik."
Terharu! Kedua orang tuanya begitu bijak, dia tidak menuntut apapun kepadanya.
"Kalian menikah minggu depan," ucap Deri tiba-tiba membuat Kaivan menatap ayahnya. "Menikah di kua aja dulu, setidaknya kalian sudah berstatus sah. Papa takut kamu ke khilaf menyentuh Aruna."
"Pah, Kaivan tidak akan memanfaatkan kondisi Aruna."
"Iyakan siapa tau kamu khilaf? Kamu hanya menikah, kamu mau kan menikah sama Aruna? Lambat atau cepat kalian akan menikah, jadi kalian sahkan status kalian, nanti jika Aruna sudah sembuh baru kita buat resepsi."
"Betul kata papamu, kamu dan Aruna tinggal di satu atap. Tidak kemungkinan besar kamu akan ke khilaf."
Kaivan berpikir sesaat. Benar juga ucapan mereka, dan kalau dirinya dan Aruna sudah menikah, dia sudah tak ada batasan kepada Aruna.
"Kenapa? Ragu?"
"Tidak, pah. Kai mau, kalau bisa besok Kai daftar di kua buat nikah, kami nikah besok."
Deri dan Pharita saling menatap, awalnya mereka ingin mengetes Kaivan, apa dia ragu ingin menikah? Tetapi ternyata dugaan mereka salah, Kaivan bahkan ingin secepatnya, ini berarti anak mereka sudah kecintaan sama gadis peter pan.
"Papa ada urusan di luar kota besok, minggu depan saja. Papa sama mama ingin ikut hadir."
"Baiklah. Kalau begitu Kai mau mau ke kamar Kai." Kaivan beranjak dari posisinya, melangkah ke arah tangga.
Melihat hingga bahu lebar putra mereka sudah tak terlihat.
"Kaivan benar-benar sudah dewasa, mas." Pharita memeluk suaminya.
"Kaivan sudah berumur tiga puluh satu tahun, mah. Dia bukan anak kecil lagi."
"Iya tetap saja, Kaivan masih tetap jadi anak kecil bagi kita. Perasaan baru kemarin mama menggantikan popoknya, menyiapkannya bekal untuk berangkat ke sekolah, sekarang dia sudah menjadi pria dewasa, pemimpin perusahaan yang baik, sekarang dia akan segera menikah. Kita juga terbukti kita sudah tua, pah."
"Itu berarti didikan kamu dan mas berhasil, dia tumbuh dengan baik. Mas juga bangga kepada anak kita."
Mereka lanjut bercerita di kamar mereka, bercerita tentang masalalu dan putra mereka.
"Mama berharap, hubungan mereka seperti kita pah. Sampai tua."
"Aamiin, papa yakin Kaivan bisa membangun rumah tangga, dia anak papa, dia akan menuruti sikapku."