Level Up Milenial mengisahkan Arka, seorang guru muda berusia 25 tahun yang ditugaskan mengajar di SMA Harapan Nusantara, sekolah dengan reputasi terburuk di kota, dijuluki SMA Gila karena kelakuan para muridnya yang konyol dan tak terduga. Dengan hanya satu kelas terakhir yang tersisa, 3A, dan rencana penutupan sekolah dalam waktu setahun, Arka menghadapi tantangan besar.
Namun, di balik kekacauan, Arka menemukan potensi tersembunyi para muridnya. Ia menciptakan program kreatif bernama Level Up Milenial, yang memberi murid kebebasan untuk berkembang sesuai minat mereka. Dari kekonyolan lahir kreativitas, dari kegilaan tumbuh harapan.
Sebuah kisah lucu, hangat, dan inspiratif tentang dunia pendidikan, generasi muda, dan bagaimana seorang guru bisa mengubah masa depan dengan pendekatan yang tak biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Rifa'i, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketahuan.
Tiga hari setelah perjalanan belajar di alam itu, suasana kelas 3A terasa berbeda. Bukan karena mereka jadi lebih pendiam atau kelelahan, justru sebaliknya, mereka jadi lebih hidup. Dina membawa bunga kering yang dia temukan di bukit dan menempelnya di halaman depan buku catatan. Reza sibuk menyusun video dokumentasi kegiatan mereka. Amira tak berhenti menulis puisi tentang hujan, rumput, dan semut.
Dan Arka masih mencoba menulis laporan yang bisa menjelaskan kegiatan luar ruangan itu dalam bahasa yang "masuk akal" untuk Pak Darman. Tapi belum sempat laporan itu kukirim, kabar buruk datang duluan.
"Pak Arka! Pak Arka!"
Reza berlari dari arah koridor, napasnya memburu. Di tangan kirinya, sebuah ponsel terbuka menampilkan video yang tak asing.
"Video kita trending, Pak! Masuk FYP TikTok! Ada yang repost di Instagram juga. Udah 300 ribu views!"
Jantungku berdebar. Campuran antara bangga... dan panik.
"Videonya yang mana?" tanyaku cepat.
"Yang waktu kita debat soal mie instan versus sandal jepit. Sama yang di bukit, pas Reza ngomong 'belajar nggak harus pakai tembok'."
Aku menelan ludah. "Oke... kita kumpul di kelas sekarang. Semua."
Lima menit kemudian, seluruh kelas sudah duduk, walau sebagian masih dengan ekspresi bingung. Aku berdiri di depan mereka sambil menatap satu per satu wajah yang penuh semangat dan rasa percaya diri. Rasa yang baru tumbuh... dan bisa saja hancur seketika jika hal ini salah ditangani.
"Anak-anak," kata Arka pelan, "aku bangga sama kalian. Kalian udah bikin sesuatu yang nggak cuma lucu, tapi punya makna. Tapi... kita harus hati-hati."
"Kenapa, Pak? Kan nggak ada yang salah," ujar Reza.
"Benar, nggak ada yang salah," sahut arka. "Tapi orang-orang di luar sana... belum tentu ngerti cara kita belajar. Bisa jadi mereka lihat video itu dan mikir kita cuma main-main. Atau yang lebih parah, mereka kira sekolah ini nggak serius."
Hening.
"Lalu kita harus gimana, Pak? Hapus videonya?" tanya Amira, kecewa.
"jangan !" teriak Jaka.
Aku menggeleng. "Nggak. Tapi kita harus siap. Siap kalau ada yang datang dan tanya-tanya. Siap kalau ada yang marah. Siap kalau kita diminta jelaskan apa yang kita lakukan. Dan siap untuk membuktikan bahwa kita memang belajar, meskipun caranya nggak biasa."
Tiba-tiba pintu kelas diketuk. Tiga kali. Lalu terbuka.
Arka membuka pintu mengintip pelan-pelan, betapa terkejutnya, ia langsung menutup pintu dan berkata kepada murid-muridnya. "ada yang datang, tolong simpan barang aneh kalian dan berlagak lah normal." ucap Arka.
"siap jendral !" teriak Jaka menyembunyikan Helm di bawah bangku meja.
Semua berlagak normal seperti siswa pada umumnya.
Di sana berdiri pak Darman yang menggetar kan kumisnya, bersama dua orang tak di kenal. Satu pria berkemeja rapi dengan ID Card bertuliskan Dinas Pendidikan, satu lagi perempuan muda seusia Arkan dengan tablet di tangan.
"Selamat siang," sapa pria berkemeja. "Kami dari Dinas. Boleh ikut kelas ini sebentar?"
Aku menoleh ke anak-anak. Mereka tampak kaget, tapi tak ada yang panik. Dina bahkan langsung duduk lebih tegak. Reza menggenggam kameranya, seolah siap merekam kapan saja.
"Silakan, Pak," kata Arkan. "Hari ini kami ada sesi presentasi laporan observasi sekolah."
Dan dimulailah kelas paling penting dalam hidup kami.
Satu per satu murid maju. Jaka bercerita soal burung kecil yang mengajarkannya tentang kesabaran. Sari menunjukkan gambar pohon yang tumbuh di tanah keras, simbol harapannya untuk terus tumbuh meski di sekolah yang 'kering'. Reza memutar cuplikan video dokumenter pendek yang mereka beri judul Sekolah Tanpa Tembok.
"Kami tahu ini nggak seperti pelajaran biasa," katanya dengan nada bangga. "Tapi di luar ruangan itu... kami belajar lebih banyak daripada saat duduk di kelas. Dan kami ingin orang tahu, belajar bisa di mana saja."
Pak Darman tampak gelisah. Tapi Bu Arin pegawai dinas pendidikan sedikit demi sedikit mulai tersenyum.
Pria dari dinas menulis sesuatu di tablet. Lalu menoleh padaku.
"Pak Arka. Boleh kami tanya sesuatu?"
"Silakan, Pak."
"Baru kali ini, di tahun 2025 para siswa SMA harapan Nusantara berbeda, kita tau sebelumnya, para siswa yang nakal dan jauh dari kata pintar, kami telah melakukan observasi di sekolah ini, namun kali ini jauh sekali sikap dan metode belajarnya.
"Kenapa memilih metode ini? Padahal, risikonya jelas. Sekolah ini sedang diawasi, dan pendekatan Bapak... sangat tidak umum."
Aku menghela napas, lalu menjawab, "Karena saya percaya, tugas guru bukan hanya mengajar. Tapi membangkitkan semangat belajar. Anak-anak ini bukan produk gagal. Mereka cuma belum diberi kesempatan menemukan cara belajar yang cocok untuk mereka. Saya cuma... membuka pintu itu."
Suasana hening. Lalu terdengar suara tepuk tangan kecil, Amira, disusul Jaka.
Dan tak lama kemudian seluruh kelas bertepuk tangan. Bukan karena Arka, Tapi karena mereka tahu, hari itu... mereka membuktikan sesuatu.
Saat tim dinas pamit dan keluar kelas, Bu Arin menghampiriku. Ia tak langsung bicara. Hanya menatap papan tulis yang penuh gambar dan catatan anak-anak.
"Kamu tahu ini masih belum tentu aman, kan?" katanya pelan.
"Saya tahu, Bu."
"Tapi saya belum pernah lihat kelas ini... seperti ini."
Bu Arin tersenyum. "Saya juga belum pernah lihat mereka seperti ini, aku ditugaskan untuk memantau kegiatan sekolah ini pada setiap hari Senin-selasa."
"Lanjutkan, Pak Arka. Tapi bijaklah. Sekolah ini butuh keajaiban. Mungkin... Anda salah satunya."
Dan sore itu, ketika anak-anak pulang dengan wajah lega dan senyum lebar, aku tahu satu hal, Kami belum menang. Tapi untuk pertama kalinya, kami tak lagi sendirian.
internal baru, semacam kecemburuan sekolah lain atau tekanan media yang salah paham. Atau kamu punya ide arah selanjutnya?
...----------------...
Keesokan harinya arka datang dengan semangat, ia berjalan memasuki halaman sekolah Arka menyapa ibu kantin yang bermuka datar itu dan melambaikan tangannya." selamat pagi Bu."
tersenyum datar dan di hinggapi Lalat."ya, pak."
Tak lama kemudian, Bu Arin dari dinas pendidikan datang dan masuk ke kelas. Amira yang terlebih dahulu datang menuliskan puisi cinta di papan tulis.
Arka membaca dengan lantang.
"tatapan mu, tenang seperti senja,menyentuh hati tanpa suara. Cinta tak butuh kata,cukup ada kamu, aku bahagia."
Arka membaca tulisan kecil di lahir kalimat."Arin."
Pada saat Arka menoleh ke belakang, ia terkejut melihat semua telah duduk di bangku kelas, termasuk Arin terperangah melihat Arkan membacakan puisi itu dengan keras.
"tunggu ! siapa yang membuat puisi ini !" teriak Arka malu dan gugup.
"cie.. Pak arka." ucap Amira tertawa.
"Amira...." teriak arka malu.