"Urgh... k-kurang ajar! B-bajingan!" gumam Lingga lirih. Tubuhnya semakin lemas dan kesadarannya semakin memudar. "A-apa aku akan... mati?"
Seorang bartender muda yang bergumul dengan utang dan cinta buta bernama Lingga, mengira hidupnya sudah cukup kacau. Tapi, semuanya berubah drastis dalam satu malam yang kelam. Saat hendak menemui pacarnya, Lingga menjadi korban pembegalan brutal di sebuah jalanan yang sepi, membuatnya kehilangan motor, harta benda, dan akhirnya, nyawanya.
Namun, takdir punya rencana lain. Di ambang kematian, Lingga terseret oleh lingkaran cahaya misterius yang membawanya ke dunia lain, sebuah dunia asing penuh kekuatan magis, monster, dan kerajaan-kerajaan yang saling bertarung. Terbangun dengan kekuatan yang belum pernah ia miliki, Lingga harus mempelajari cara bertahan hidup di dunia baru ini, menghadapi ancaman mematikan, dan menemukan arti hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kang Sapu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9
Sebelumnya, di dalam dapur istana para dayang nampak sibuk menyiapkan makanan untuk dihidangkan kepada Lingga. Salah satu dayang yang sedang mengaduk sup di atas kuali kecil tiba-tiba bergumam. "Sampai kapan kita harus begini? Aku merasa berdosa telah melakukan hal ini beberapa kali."
"Mau bagaimana lagi, kita hanya dayang. Sudah sewajarnya kita harus mematuhi perintah Yang Mulia, apapun itu. Termasuk ini," sahut dayang dengan selendang jingga seraya memasukkan sebotol kecil cairan bening ke dalam kuali tersebut.
"Tapi, apa kamu tidak merasa berdosa? Dengan racun ini, kita sudah membunuh banyak manusia dari dunia lain yang dipanggil Ratu Kadita!" bisik dayang berselendang biru yang masih mengaduk sup di kuali hitam itu.
"Yah, iya sih... tapi, kita bisa apa?"
Dayang berselendang biru itu hanya bisa menghela nafas lalu menyahut. "Ya sudah kita bawa ini ke depan."
*
Sementara itu, di ruang perjamuan yang sunyi, suasana nampak semakin mencekam saat Lingga mulai mengerang kesakitan. Namun, pandangan mata Lingga malah tak menunjukkan hal tersebut. Malahan ia membatin dengan tawa keras di dalam hatinya. "Haha! Sepertinya aku berbakat buat akting. Kenapa aku nggak jadi artis aja yah dulu?"
"Ckckck! Aku sudah tahu jika kau tak mendapat apa-apa di dalam ruangan itu, Lingga. Makanya kau berusaha mengulur waktu," ucap Kadita dingin. Wajah ramah dan meneduhkan sebelumnya, kini berubah drastis menjadi lebih kejam dan culas.
"A-apa yang kalian lakukan padaku?" tanya Lingga masih berakting kesakitan. Ia berusaha agar kebohongannya tak cepat terbongkar dan melakukannya secara totalitas.
"Aku juga sudah menyadari sejak awal kemunculanmu dari pintu itu. Kau tak mengalami perubahan apapun. Tak ada secuil energi atau aura kekuatan terpancar dari tubuhmu! Jadi, sudah dipastikan bahwa kau tak mendapatkan apapun dari sana!" imbuh Lira seraya berjalan mendekati kursi Lingga.
"Urgh... b-bajingan kalian berdua!" rintih Lingga dibuat-buat.
"Benar," sahut Kadita seraya menatap Lingga dengan pandangan sinis. "Lingga... apa kau tahu bagaimana nasib manusia yang tak berguna bagi kerajaan ini?"
"A-apa kau akan membunuhku?" tanya Lingga dengan suara terbata. Ekspresi wajahnya ia buat senatural mungkin.
"Benar, nasib yang tepat untukmu adalah... mati!" sahut Lira dengan ekspresi datar.
"Lira... racun yang dimasukkan di makanan Lingga memiliki efek dua puluh empat jam. Dalam sehari semalam, Lingga akan merasa tersiksa dengan urat-urat syaraf yang mulai putus perlahan. Aliran darahnya akan tersumbat. Serta nafasnya akan tersendat. Setelah itu, ia akan mati dalam keputusasaan!"
"Argh!" teriak Lingga seraya menggerak-gerakkan tubuhnya. "Apa salahku? Kenapa kalian melakukan hal ini kepadaku?" erangnya dengan suara parau.
"Kesalahanmu adalah, kau tak berguna untukku, Lingga..." gumam Kadita seraya tersenyum licik.
"Kenapa kita tak langsung membunuhnya saja, Yang Mulia?" tanya Lira dengan alis yang terangkat.
Kadita menyeringai, lalu menjambak rambut Lingga dengan keras. "Aku mau melihatnya tersiksa dulu sebelum dia tewas! Karena ia telah membohongiku, sudah sepantasnya ia mendapatkan hal itu!"
"Kalau begitu, biar hamba masukkan ke dalam penjara bawah tanah saja. Biar dia membusuk di sana!" imbuh Lira seraya menunduk sejenak.
Kadita bertepuk tangan lalu tertawa. "Haha... boleh juga idemu, Lira. Bawa dia ke sana!"
"Siap, Yang Mulia!" sahut Lira seraya menarik tubuh Lingga yang lemas. Lingga hanya mempu mengerang kesakitan saat tubuhnya diseret menjauh dari ruang perjamuan oleh Lira.
"Argh! B-bajingan kau, Kadita!" teriak Lingga dari kejauhan.
Sementara Kadita masih berdiri di tempatnya dengan pandangan jijik kepada Lingga. "Huh... sebaiknya besok aku mulai melakukan persiapan pemanggilan lagi. Kenapa manusia-manusia yang aku panggil tak ada yang berguna!" gumamnya sedikit kesal.
*
Bruak!
Lira membuka pintu penjara dengan mantra pelepas kunci lalu menghempaskan tubuh Lingga ke atas lantai berbatu yang dingin. Lingga tersungkur dan Lira menutup jeruji besi. Dari balik jeruji, Lira menatap Lingga dengan tatapan penuh rasa puas. "Rasakan, Lingga! Kau akan mati dan membusuk di dalam penjara ini!
Setelah Lira berjalan pergi dan menjauh dari penjara, Lingga segera bangkit dan terduduk. Ia menghela nafas panjang seraya menatap ke sekeliling lalu memandangi cincin pada jarinya. "Rupanya cincin ini beneran bisa menetralisir racun. Tadi, aku sempet merasa ada yang aneh saat makanan itu masuk ke tenggorokanku, rupanya benar... mereka telah memasukkan racun ke dalamnya," gumamnya dengan perasaan lega.
"Huh, terus... apa yang akan aku lakukan setelah ini? Seharusnya aku tadi pura-pura langsung mati aja. Tapi, kalau aku pura-pura mati, bisa aja mereka nusuk aku atau bahkan memenggal kepalaku buat mastiin. Hii... untung aja! Hmm, jika mendengar ucapan dari ratu sialan itu, aku jadi lega karena keputusanku sudah tepat. Sebentar, coba aku cek... apa aku bisa kabur dari tempat ini," ucapnya seraya bangkit dan berjalan menuju ke pintu penjara yang terkunci itu.
Bzzztt!
Lingga menyentuhnya sesaat, namun tiba-tiba ada energi seperti sengatan listrik yang muncul. Lingga pun menarik tangannya karena terasa sakit. "Argh! Sialan! Sepertinya ada energi yang melindungi penjara ini. Kayaknya dia nggak ngebiarin orang yang masuk penjara ini untuk kabur. Huh... terus gimana dong? Apa cincin ini bisa membuka kunci juga ya?" gumamnya seraya mengarahkan ujung cincinnya ke arah pintu. Namun, tak ada yang terjadi. "Argh! Percuma aja... nggak bisa!"
Wush!
Saat Lingga berusaha mencari jalan keluar dari kebuntuan ini, tiba-tiba tekanan udara di dalam penjara berubah jadi lebih berat. Hawa dingin seketika berembus terasa menusuk tulang. Lingga bergidik sesaat sembari melayangkan pandangan ke penjuru ruangan lembab berukuran tiga kali empat meter itu.
"Kok tiba-tiba hawanya nggak enak gini sih?" gumam Lingga seraya menggosok-gosokkan tangan pada kedua lengannya.
Wush!
Tiba-tiba sesosok wanita bertubuh transparan muncul dari balik dinding di sebelah kiri Lingga, menembusnya. Lingga sedikit terkejut saat melihat gadis berambut hitam panjang dan berwajah pucat itu. Gadis bertubuh kecil dengan gaun putih usang itu melayang perlahan mendekati Lingga.
"Kak... kenapa kamu di sini? Apa Ratu Kadita yang memasukanmu ke dalam penjara ini?" tanyanya dengan ekspresi datar.
"Bentar-bentar... siapa kamu? Tiba-tiba muncul gitu aja."
"Aku... aku adalah salah satu korban dari Ratu Kadita. Aku disiksa dan dilecehkan oleh prajuritnya sebelum akhirnya aku dibunuh," sahutnya seraya tertunduk. Wajahnya memancarkan aura kesedihan yang begitu mendalam. "Namaku... S-salma..."
Deg!
"Berarti kamu roh ya?" tanya Lingga sedikit terkejut seraya memandang tubuh Salma dari atas kepala hingga ujung kaki.
Salma menganggu pelan. "Benar, tapi... entah mengapa aku tidak bisa pergi ke dunia sana. Seolah jiwaku tertahan dan terjebak di sini. Selama lebih dari lima belas tahun aku terpaksa tinggal dan mendiami penjara ini..."
Lingga tertegun saat mendengar hal itu. "Sudah lama ya ternyata... lantas, apa kamu manusia yang juga dipanggil ke dunia ini sebelumnya?" tanyanya penasaran.
"Bukan..." Gadis bernama Salma itu menggeleng. "Aku dulunya adalah salah satu gadis kuil di kerajaan ini. Karena suatu masalah, aku dihukum dan seperti yang aku jelaskan sebelumnya... aku dibunuh."
"Gadis kuil? Apa itu? Apa gadis yang bertugas untuk menjaga kuil atau semacamnya?"
Salma menggeleng pelan lalu melayang berpindah posisi. "Itu hanya sebutan saja. Tugas kami sebagai gadis kuil adalah melakukan ritual pemanggilan makhluk dunia lain untuk dijadikan tentara dan tenaga bantuan untuk memperkuat kerajaan ini. Dan, kami juga mempunyai spesifikasi kemampuan dalam hal pengobatan seperti tabib, mulai dari mengobati luka atau menyembuhkan orang sakit hingga menghidupkan orang mati melalui sebuah ritual khusus."
"Berarti kamu seperti Lira?" tanya Lingga dengan ekspresi terkejut.
Salma melayang perlahan sembari menatap langit-langit. "Ah, Lira... iya, benar. Waktu aku dibunuh, Lira masih berumur lima tahun. Berarti sekarang dia sudah jadi penerusku ya..."
"Iya, benar. Tapi, dia sangat menjengkelkan!" sahut Lingga tiba-tiba merasa jengkel.
"Padahal dulu dia sangat lucu dan penurut," sahut Salma seraya menoleh ke arah Lingga sembari menyungging senyum.
"Ah, ngomong-ngomong namaku Lingga," ucap Lingga dengan pandangan tajam. "Apa kamu tahu bagaimana caranya agar aku bisa keluar dari penjara ini?"
Salma mengangguk lalu menatap tajam ke arah Lingga. "Sepertinya inilah waktunya..."
Lingga mengernyitkan dahi tak paham dengan ucapan Salma. "Ha? Apa maksudmu, Salma?"
***