Ketukan palu dari hakim ketua, mengakhiri biduk rumah tangga Nirma bersama Yasir Huda.
Jalinan kasih yang dimulai dengan cara tidak benar itu, akhirnya kandas juga ... setelah Nirma dikhianati saat dirinya tengah berbadan dua.
Nirma memutuskan untuk berjuang seorang diri, demi masa depannya bersama sang buah hati yang terlahir tidak sempurna.
Wanita pendosa itu berusaha memantaskan diri agar bisa segera kembali ke kampung halaman berkumpul bersama Ibu serta kakaknya.
Namun, cobaan datang silih berganti, berhasil memporak-porandakan kehidupannya, membuatnya terombang-ambing dalam lautan kebimbangan.
Sampai di mana sosok Juragan Byakta Nugraha, berulangkali menawarkan pernikahan Simbiosis Mutualisme, agar dirinya bisa merasakan menjadi seorang Ayah, ia divonis sulit memiliki keturunan.
Mana yang akan menang? Keteguhan pendirian Nirma, atau ambisi tersembunyi Juragan Byakta Nugraha ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28
“Tak nya dirimu paham? Setiap akhir pekan Mamak selalu menunggumu di teras, menatap lalu lalang kendaraan yang lewat seraya melangitkan doa berharap salah satu permata hati ini pulang. Namun, batang hidungmu pun tak pernah tampak! Tiap kali Mamak makan enak, terasa seperti menelan batu kerikil! Sampai menyisihkan sedikit dalam piring kosong, seolah kau ikut makan, Nirma!” Bahu Mak Syam bergetar hebat, ia menutup wajahnya menggunakan hijab lebar.
Bibir Nirma kembali bergetar, ia peluk erat ibunya. “Mamak, maaf!”
“Tolonglah Nak! Biarkan Mamak tebus waktu tu dengan menjamu dirimu layaknya seorang Putri Raja. Hanya hal tersebutlah yang bisa sedikit mengobati rasa bersalah serta mengurangi sesak di dada, Nirma!” Mak Syam memukul pelan punggung si bungsu.
“Iya Mak, boleh sangat.” Nirma mencium bertubi-tubi pipi berkulit kendur ibunya.
Mala mengusap sayang kedua punggung orang tersayang nya.
“Dahlah, dah macam tokoh wayang di pentas orang punya hajatan saja ku tengoknya adegan mengharu biru ni.” Dhien mengikis jarak, merentangkan kedua tangannya.
“Tak nya kau rindu dengan ku wahai si cengeng, tukang merajuk, yang dulu suka sekali menangis kala ditinggal seorang diri bila kami menguras rawa-rawa.”
“Kakak!” Nirma langsung menabrakkan badannya, memeluk erat dengan linangan air mata.
“Tak ku sangka kau begitu berubah, bukan hanya penampilan saja, tapi jua cara pandang serta kerendahan hati, sudi bersimpuh meminta maaf, mau mengakui kesalahan. Nirma, semoga hijrah mu ini selalu istiqamah.” Ia usap sayang punggung sosok yang sudah dianggap seperti adiknya sendiri. Umur mereka hanya terpaut dua tahun.
“Aamiin. Terima kasih banyak ya Kak.”
Selepasnya, mereka sama-sama menghapus air mata, tersenyum begitu tulus.
“Meutia dan Kak Wahyuni kemana, Kak? Mengapa mereka tak tampak?” Netranya mencari keberadaan para sahabatnya yang lain.
“Tia dan Wahyuni, pergi ke kota Kecamatan, Dek. Belanja bulanan, mungkin tak lama lagi mereka pulang.” Mala yang menjawab, tangannya membenarkan ujung hijab adiknya, agar menutupi dada.
“Lantas si kembar di rumah ini atau seberang jalan, Mbak?” Nirma menanyakan para keponakannya yang esok hari aqiqah di umur 41 hari.
“Zeeshan dan Zain, sedang tidur di rumah Mbak dan Abang mu. Mereka di jaga oleh Nyak Zainab dan para pengasuhnya,” jawab Mala.
“Ayo kita tangkap Ayam jagonya,” sela Mak Syam.
“Mamak ni tak sabar betul lah, padahal nanti pasti cuma teriak-teriak sambil cakap; Cepat tangkap! Di sana! Yang ligat lah!” sungut Dhien dengan bibir maju sekian centi.
Nirma, Mala tertawa terpingkal-pingkal. Mak Syam sendiri bermuka masam, tapi tak pelak menyunggingkan senyum simpul.
Saat Dhien dan lainnya hendak bersiap menangkap Ayam, si Ron menghalangi niat mereka seraya berkata.
“Biar saya saja yang menangkapnya!” ucapnya tenang dengan mimik wajah datar.
“Boleh, sangat boleh. Itu Ayam nya sedang mencari makan di bawah pohon pinang!” Mak Syam menunjuk hewan berkaki dua, berbulu hitam campur merah api.
Kemudian Mak Syam masuk kedalam rumah, mengambil beras sebagai umpan agar Ayam mudah ditangkap.
“Anak buah juragan Byakta yang satu tu, dah macam patung kutengok nya. Selalu berdiri tegak di belakang sang tuan, yang membedakan dia dengan pajangan manekin cuma matanya saja bisa bergerak-gerak,” Dhien berkata lirih, netranya menatap Ron dan Mak Syam yang berjalan di barisan pohon pinang.
“Kakak tak jua berubah ya, suka betul membicarakan orang lain. Awas ... nanti jodoh loo,” goda Nirma.
“Si Ron tu bukan tipe Dhien, Dek. Sebab tak mungkin nya bisa dibanting.” Mala terkikik kecil.
“Kak Dhien cari calon suami atau lawan gulat?” Nirma memalingkan wajahnya, menatap penasaran.
“Keduanya lah. Bila nanti dia macam-macam, bisa lah kita kasih pelajaran supaya jerah! Tapi, kalau macam si Ronde tuh … yang ada awak babak belur dibuatnya. Tak nya kau tengok lengannya sudah mirip batang pohon jati, liat sekali!” Dhien bergidik ngeri.
“Kau kira dia wedang jahe apa?” Mala bertanya seraya tertawa jenaka, begitu juga dengan Nirma.
Kemudian para wanita masuk ke dalam dapur. Netra Nirma berkaca-kaca, menatap takjub rumah baru kakaknya yang dihadiahkan sebagai seserahan oleh suaminya, Agam Siddiq.
“Masya Allah, bagus sekali hunian Mbak Mala.” Nirma duduk di amben beralaskan karpet, bukan lagi tikar.
“Alhamdulillah ya Mbak, dirimu mendapatkan suami yang begitu menghargai, serta meratukan Mbak, sekaligus memuliakan Mamak,” ucapnya tulus.
“Iya Dek. Alhamdulillah.” Mala membuka toples, mengeluarkan bubuk kopi. “Juragan minum kopi atau teh, Nirma?”
Nirma berdiri mendekati kakaknya. “Biar Nirma saja yang buat, Mbak.”
“Bilang saja bila kau menghindari menggiling bumbu ‘kan?” Dhien menatap penuh curiga.
“Iya, Kak. Aku tu masih tak bisa mengulek. Selepasnya pasti tangan dan bahkan paha ku terasa panas macam terbakar,” aku nya apa adanya, tangannya menuang gula ke dalam gelas.
Nur Amala, Dhien, mereka bekerja sama dalam meracik bumbu. Sedangkan Nirma baru saja menghidangkan dua gelas kopi hitam kepada calon suami dan abang iparnya yang duduk di teras rumah sambil bermain dengan Kamal.
Mak Syam serta Ron sedang di halaman belakang rumah, mencabuti bulu Ayam yang sudah direndam sebentar di dalam air panas.
.
.
“Kakak euy Kakak! Tengoklah sini! Kami baru saja merampok hasil bumi!” Ayek berteriak kencang memanggil para wanita dewasa.
“Astaghfirullah! Kalian tu hanya disuruh menangkap ikan, mengapa kembali dengan bawaan banyak sekali?” Nirma berdiri diambang pintu dapur, menatap tak percaya pada para anak laki-laki beranjak remaja yang masing-masing membawa beban berat.
Bug!
Ayek menjatuhkan tandan kelapa muda isi empat. “Dahulukan, Kak Nirma suka sekali makan degan. Nah pas ketemu pohon kelapa entah milik siapa, langsung saja ku panjat!” katanya tanpa rasa bersalah ataupun berdosa.
Bug!
“Ini yang punya singkong sudah pikun. Pasti nya lupa bila memiliki tanaman telah siap panen. Jadi, daripada di makan Babi hutan, lebih baik ku cabut saja! Setidaknya diri ini telah berbaik hati meringankan pekerjaan si Aki!” Rizal menjatuhkan satu pohon ubi, yang berbuah besar dan panjang-panjang.
“Ini aku petik buah cempedak, jangan tanya milik siapa, karena diri ini pun tak tahu! Daripada dimakan kawanan Monyet liar, bukankah lebih baik kita yang menikmati? Anggap saja yang punya sedang bersedekah! Nanti tinggal kita doakan saja semoga berkah!” Danang menjatuhkan dua buah cempedak matang yang wanginya harum sekali.
Nirma bingung hendak bereaksi seperti apa, yang jelas netranya berkaca-kaca, hatinya dipenuhi oleh rasa haru. Ternyata begitu banyak orang yang menyayanginya, menyambut antusias kepulangannya.
“Terima kasih banyak ya wee … kalian masih ingat betul kesukaan Kakak,” ucapnya sambil menghapus airmata.
“Sama-sama Kak Nirma!” balas mereka serempak.
.
.
Kurang lebih dua jam kemudian, hidangan lezat sudah terhidang di atas tikar lantai ruang tamu.
Nirma dan lainnya duduk melingkar, mulai menikmati makanan yang memiliki cita rasa khas Nusantara.
Selama makan, tidak ada yang bersuara. Setelahnya baru juragan Byakta mulai mengucapkan kalimat pembuka.
“Kedatangan saya kesini, selain ingin mempererat tali silaturahmi dan menghadiri acara aqiqah si kembar_” Ia tatap satu persatu para orang yang jelas terlihat penasaran.
“Saya berniat ....”
"TUNGGU!!"
.
.
Bersambung.
Gak tahu aja mereka, kalau juragan Byakta dan Aji sudah mepersiapkan seminggu sebekum hari H.nya.
merusak suasana saja 😂
itu perut sebuncit apasih? kok disebut-sebut terus, jangan bilang sebuncit orang hamil tujuh bulan 😆