Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.
Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 Anak Baron, Herald
Wilayah Edgna, yang merupakan salah satu wilayah terbesar di benua Varnia, terhampar luas bagaikan permadani hijau yang tak berujung. Dataran rendah di bagian timur wilayah ini menjulur hingga ke lautan lepas, tempat ombak berbisik lirih di antara angin sepoi-sepoi.
Tempat ini menjadi rumah bagi seratus juta jiwa, sebuah negeri yang damai dan terkenal akan keasriannya. Rerumputan tumbuh subur, berayun lembut ditiup angin yang membawa aroma tanah basah. Hewan-hewan berkeliaran bebas, merajut harmoni di antara padang rumput dan hutan lebat. Edgna, memang, adalah surga dunia, di mana keindahan bersemayam di setiap sudutnya.
Sekarang, mari beralih ke perbatasan wilayah utara Edgna, tepatnya di sebuah desa bernama Amber—di sinilah kisah ini dimulai.
Desa Amber adalah permata kecil yang tersembunyi di balik bentangan padang rumput dan hutan lebat. Desa yang terletak di pinggiran ini memancarkan ketenangan yang tak tergoyahkan.
Dari kejauhan, terlihat puluhan rumah yang tersebar, mulai dari yang sederhana hingga bertingkat, berdiri rapi membentuk harmoni alami.
Jalan berbatu membentang di antara bangunan-bangunan itu, menjadi saksi bisu kehidupan yang berjalan penuh ketenangan. Anak-anak berlarian riang di jalanan, tertawa lepas, sementara beberapa prajurit melakukan patroli, berjalan dengan langkah mantap dan penuh kewaspadaan.
Di tengah desa yang tenang ini, berdiri sebuah mansion tua yang memancarkan aura yang berbeda. Dindingnya yang rapuh dan arsitekturnya yang sedikit terlupakan masih mempertahankan jejak kejayaan masa lalu. Bangunan itu tetap kokoh berdiri di atas tanah, menantang waktu dan kehancuran. Ini adalah kediaman Baron Demios, seorang bangsawan kecil yang memimpin wilayah utara Edgna.
Namun, di hari ini, ketenangan di mansion itu ternoda oleh gejolak emosi yang membara.
"Apa?! Kalian sudah menemukan Herald?!" suara pria itu menggema di dalam ruangan, dipenuhi dengan kemarahan yang memuncak. Pria tersebut berdiri tegap, tubuhnya kekar, tinggi menjulang melebihi para prajurit yang berdiri di hadapannya. Rambut merahnya berkilauan di bawah cahaya, menambah kesan garang pada wajahnya yang penuh amarah.
Salah satu prajurit yang berdiri di hadapannya segera menjawab dengan suara yang tegas namun tetap penuh hormat. "Iya, Tuan. Kami telah menemukan Herald. Saat ini, beberapa prajurit lain sedang mengejarnya."
Baron Demios berbalik tajam, matanya menyipit penuh ketegangan. "Tangkap dia secepatnya! Bawa dia ke ruang kerjaku. Aku tidak ingin mendengar alasan apa pun jika dia berhasil lolos. Hari ini, dia harus kembali."
"Baik!" Kedua prajurit itu serempak memberikan penghormatan dan segera berbalik, meninggalkan ruangan untuk menjalankan perintah.
Di dalam ruangan itu, Baron Demios tetap berdiri, wajahnya mengeras, rahangnya mengatup erat, dan tinjunya mengepal. Napasnya terengah dalam ketidaksabaran.
"Lihat saja kau, Herald... Setelah ini, kau akan mendapat pelajaran yang pantas."
---
Di luar mansion, di desa Amber...
Seorang pemuda berambut abu-abu acak-acakan berlari di atas genteng-genteng rumah warga. Bola matanya yang berwarna senada dengan rambutnya berkilauan penuh semangat, sementara sebuah keranjang makanan tergantung di tangannya, penuh dengan makanan yang siap diserahkan. Sesekali, dia melompat dari genteng ke genteng dengan gesit, meninggalkan jejak langkah yang hanya bisa diikuti oleh beberapa prajurit yang mengejarnya.
"Tuan Herald, jangan lari!" teriak salah satu prajurit yang terengah-engah.
"Tuan Herald, kembalilah! Tuan Demios dan Nona Asdella mencarimu!" seru prajurit lainnya.
Namun, Herald—ya, itulah orang yang sedang mereka kejar—hanya melontarkan senyum nakal sambil terus melompat. "Hehehe, kejarlah kalau kalian bisa," gumamnya, sambil melesat lebih cepat lagi.
Di bawah, para warga desa melihat dengan tatapan bosan. Kejar-kejaran ini sudah menjadi pemandangan biasa bagi mereka. Percakapan mereka terdengar samar di antara tawa dan langkah Herald yang semakin jauh.
"Hei, kamu lihat itu? Itu kan Herald, anak dari Baron Demios yang menghilang selama tiga hari. Sekarang dia sudah kembali."
"Sepertinya dia akan mendapat masalah besar dari ayahnya lagi..."
"Iya, dia memang tak pernah jera," jawab yang lainnya.
"Ah, ini kan sudah sering terjadi. Aku bahkan tidak kaget lagi. Ayo, kita lanjutkan pekerjaan kita."
---
Beberapa saat berlalu, Herald yang masih melarikan diri akhirnya mencapai bagian akhir perumahan. Tidak ada lagi genteng yang bisa dia pijak. Dengan sigap, dia melompat turun ke tanah dan melesat pergi, meninggalkan para prajurit yang mengejarnya. Tak lama kemudian, prajurit-prajurit itu muncul dan terus berusaha mengejar.
"Jangan lariii!"
"Tuan Herald, berhenti!!"
Tapi Herald tetap tidak mendengarkan. Dia terus berlari, memasuki gang-gang sempit yang berkelok di antara rumah-rumah, mencoba menghindari kejaran para prajurit. Setelah beberapa saat, dia akhirnya mencapai ujung gang yang terhubung ke jalan raya. Namun, baru saja dia hendak melangkah keluar, dia bertemu dengan prajurit lain.
"Tuan Herald!" Prajurit itu terkejut melihatnya.
"Kau...?!"
Herald terkejut, namun tidak ada pilihan lain selain berlari. Dia berbalik dan berlari ke celah lain, berusaha kabur lagi.
Kejaran mereka terus berlanjut, dan Herald akhirnya tiba di sebuah tempat di mana penjual bunga menjual berbagai jenis bunga yang tertata rapi. Tidak peduli dengan bunga-bunga yang ada, Herald terus berlari melewati tempat tersebut. Hal itu memicu kemarahan dari si penjaga bunga.
"Oi, jangan lari-lari di sini! Semua bungaku bisa hancur karena ulahmu!" teriak penjaga bunga itu.
Tapi saat dia melihat siapa yang sedang berlari, ekspresinya berubah terkejut. "T-tuan Herald?!"
Herald tidak peduli, dan tetap berlari, meski wajah si penjaga bunga tampak ketakutan. Setiap langkah Herald semakin mendekat pada dinding tinggi yang mengepungnya. Dalam sekejap, dia mendapati dirinya terjebak di jalan buntu.
"Ternyata di sini jalan buntu," gumamnya frustrasi, sambil menatap ke belakang. Para prajurit sudah mengepungnya, tak ada jalan untuk melarikan diri.
"Tuan Herald, tolong menyerah saja dan kembalilah ke mansion. Ayah dan ibu Anda sudah menunggu," ujar salah seorang prajurit dengan suara penuh harapan.
Namun Herald tidak mau mendengarkan. "Tidak, aku tidak akan kembali. Aku masih ingin bebas," jawabnya tegas.
Pria itu menghela napas dan memberi aba-aba pada prajurit lainnya, "Jika begitu, kami akan menggunakan kekerasan."
Para prajurit bersiap untuk menangkap Herald dengan paksa. Herald yang terpojok mengalihkan pandangannya ke celah di sisi kiri dinding, tempat dia bisa memanjat dan melarikan diri. Di sekitar tempat itu tumbuh bunga Dandelion yang terhampar indah.
[Jika aku bisa melompat ke sana, mungkin aku bisa lolos,] pikir Herald.
Dia melompat dengan cepat, namun tiba-tiba kakinya terpleset. "Eh?" Herald terkejut, dan tanpa bisa menahan tubuhnya, dia terjatuh ke tanah dengan keras.
"Bukk!!"
Herald jatuh, menghantam beberapa pot bunga yang pecah berantakan. Keranjang makanannya terjatuh, isinya berserakan. Tanpa peduli dengan rasa sakit di tubuhnya, Herald menatap langit biru, di mana bunga Dandelion terbang perlahan, membawanya pada pemandangan yang menenangkan.
Mata Herald berbinar-binar. Bunga-bunga Dandelion yang melayang di udara membuatnya tertegun sejenak. Sebuah pemandangan yang sederhana, namun indah, menyapu semua rasa sakit yang ia rasakan.
Namun, saat itu juga, para prajurit sudah mengepungnya, dan mereka mulai bertanya-tanya tentang kondisinya setelah terjatuh. Namun Herald tidak peduli. Matanya tetap terpaku pada bunga-bunga Dandelion yang melayang, tidak sadar jika satu bunga jatuh tepat di wajahnya, diikuti oleh beberapa tangkai lainnya.