Di khianati dan terbunuh oleh orang yang dia cintai, Nada hidup kembali di tubuh seorang gadis kecil yang lemah. Dia terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa?
"Kakak, tolong balaskan dendam ku." Pinta gadis kecil yang namanya hampir sama dengan Nada.
"Hah!! Gimana caranya gue balas dendam? tubuh gue aja lemah kayak gini."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.3
Di tempat yang berbeda, tepatnya disalah satu panti asuhan. Bunda Kasih, menatap sedih foto Nada. Sudah dua tahun sejak kepergian Nada, untuk selamanya. Pertama kali jasad Nada di temukan oleh tetangga rumah susun tersebut, karena mencium bau busuk dari unit sebelah.
Keadaannya sangat memprihatinkan, walau hampir dua bulan. Namun, kondisi Nada masih bisa dikenali. Seolah dia meminta di kebumikan dengan layak, Bunda Kasih yang mendapati kabar tersebut syok dan jatuh pingsan.
Selama berminggu-minggu, pemilik panti tersebut mengurung diri di kamar.
"Bun." Panggil Embun, salah satu anak panti yang seumuran dengan Nada. Namun, Embun memutuskan untuk mengabdi di panti tempat dia di besarkan.
"Bunda merindukan, Nada. Malang sekali nasibnya, Bunda ..." Isak Bunda Kasih, Embun dengan cepat memeluk sang Ibu.
"Bunda sudah, Nada pasti sedih jika Bunda sedih." Balas Embun, Embun dan Nada sudah seperti adik kakak yang tak terpisahkan.
Saat Nada menemukan keluarga kandungnya, Embun bahagia. Bahkan Nada meminta orang tuanya untuk mengadopsi Embun.
Embun memeluk Bunda Kasih dengan erat, mencoba menyalurkan kehangatan pada wanita yang sudah membesarkannya.
"Sekarang kita makan malam dulu, kasian adik-adik sudah nunggu. Bunda Tari juga," ujar Embun.
Bunda Kasih mengangguk, dan keluar bersama Embun setelah mencuci wajah lebih dulu. Dia menatap anak-anak yang tersenyum ke arah Bunda Kasih, teringat saat Nada kecil tersenyum manis membujuk dirinya. Karena Nada melanggar aturan panti, Bunda Kasih selalu luluh pada Nada.
"Yey! Bunda.." seru anak-anak, saat melihat Bunda Kasih mau keluar kamar.
"Ayo kita makan, maaf buat kalian menunggu lama." Kata Bunda Kasih, Bunda Tari pun ikut tersenyum.
Bersyukur Bunda Kasih mau keluar kamar, dan makan bersama anak-anak dan pengurus panti.
Setelah selesai makan malam, Embun memutuskan membereskan piring kotor dan akan di cuci oleh Mbak Aida.
"Lebih baik kamu istirahat, Bun. Kamu udah lelah kerja seharian, ehh ... Malah bantu-bantu disini." Ujar Mbak Aida.
"Gak papa kok, Mbak. Aku senang ngerjain semuanya," balas Embun, padahal dia juga sedang mengalihkan rasa sedihnya dari Nada sahabat rasa saudara menurutnya.
"Ya sudah, kamu memang keras kepala seperti Nada." Lirih Mbak Aida, dia juga sedih jika mengingat Nada.
Hening, hanya ada suara air mengalir yang menemani mereka. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Embun menatap Mbak Aida, yang menyeka sudut matanya.
"Doakan Nada, Mbak." Lirih Embun, dia memeluk Aida.
"Iyaa, Mbak hanya rindu saja."
"Aku juga rindu, Nada sudah seperti kakak bagiku."
Aida dan Embun, memeluk saling menguatkan. Anak-anak panti yang sudah lebih besar juga merindukan Nada bukan hanya orang dewasa.
****
Tak terasa pagi pun menyapa, Elvina langsung disibukan dengan pekerjaan rumah yang menumpuk. Sesekali, Evelin mencuci seminggu sekali.
Dia menatap pakaian Kara, dia mulai mengkhawatirkan sang anak.
"Kara, dimana ya? Kok, belum pulang!" gumamnya, menatap seprai yang terdapat bercak darah.
Alfa sendiri dia sedang tidur, semalam entah kemana perginya kekasihnya tersebut. Setiap di tanya jawabannya selalu membuat Evelin kesal.
Terdengar suara pedagang sayur yang didepan rumah Evelin, dia pun memutuskan untuk membeli bahan makanan. Saat keluar rumah, sudah ramai ibu-ibu yang membeli sayur sekaligus bergosip.
"Eh! Evelin, kok dirumah? Bukannya Kara dirumah sakit?" tanya salah satu Ibu yang dandanannya menor, sepertinya dia tidur dengan make-up di wajahnya.
"Rumah sakit, kenapa dia?" tanya Evelin cepat.
"Kamu gak tau, Ev. Dia ... Aww! Kok di injak sih." Protes Sari.
"Jangan bilang-bilang yang sesungguhnya," bisik Tina.
"Cepat bilang, Kara kenapa?" tanya Evelin, sementara ibu-ibu yang lain memilih diam tidak mau ikut campur urusan orang.
Toh Evelin sudah diberitahu dan mereka sudah mengingatkan Evelin, bahwa Alfa orang yang buruk. Dia malah memelihara lelaki mokondo tersebut.
"Sudahlah, kamu tanya sama Mama Jayden." Sahut Tina, lalu kembali sibuk memilih sayur.
Tatapan Evelin mengarah pada Sekar yang baru saja bergabung, Sekar pun menyadari tatapan keingintahuan tersebut.
"Mbak aku ..."
"Rumah sakit Kasih Ibu, kamar nomor dua." Potong Sekar, lebih baik Evelin melihat langsung anaknya dari pada dia menjelaskan.
"Tapi kenapa dia, Mbak?"
"Kamu lihat saja sendiri, Ev." Balas Sekar kesal, Evelin menghembuskan nafasnya dengan pelan.
Dia memutuskan tak jadi belanja, dan akan pergi ke rumah sakit dimana Kara berada. Saat Evelin tak ada, Ibu-Ibu riuh kembali bergosip. Menggosipkan Evelin yang kumpul kebo dengan Alfa.
"Geram banget tau gak! Kenapa juga Pak Rt, gak bertindak?" tanya salah satu warga.
"Entahlah, tapi menurut gosip. Waktu itu Pak Rt sudah akan bertindak dan menegur Alfa. Kalian tau apa yang, terjadi?"
"Apa?" seru ibu-ibu dengan serempak.
"Esoknya, anak Pak Rt kecelakaan motor."
Mereka tercengang akan fakta yang baru saja mereka ketahui, mereka tak percaya jika Alfa seperti itu. Sekar yang mendengar pun hanya diam, tidak menanggapi apapun dia memang tahu bahwa Alfa tidak baik.
****
Evelin sudah sampai di rumah sakit tempat Kara di rawat, dia membuka pintu dengan pelan sampai Kara tidak menyadari keberadaannya. Evelin menatap sang anak dengan tatapan sendu, wajahnya pucat sedikit memar di pipi. Entah apa yang terjadi pada anaknya tersebut.
"Kara." Lirih Evelin, dia mendekati Kara yang sedang melamun. Tatapannya kosong, ada luka dan trauma yang mendalam.
Evelin menyesal karena abai dan tidak langsung percaya pada Satria saat itu.
"Kara sayang, ini Mama. Nak," lirih Evelin, dia menggenggam tangan sang anak yang sesungguhnya terasa kurus.
Refleks Nada menjauhkan tangannya dari Evelin, sisi dewasanya terkejut atas kehadiran orang asing. Namun, memori dalam kenangan milik Kara bahwa dia adalah Ibunya.
"Ma-Mama." Isak Kara, Evelin langsung memeluk Kara dengan erat. Entah mengapa, jiwa Nada pun tidak menolak pelukan tersebut.
"Jadi gini, rasanya di peluk oleh seorang Ibu?" ucap Nada dalam hati, dulu saat dia seusia Kara. Nada ada di panti asuhan.
Walau selama ini dia selalu mendapatkan pelukan dari Ibu angkatnya, tapi itu sangat berbeda dengan yang dia rasakan saat ini.
"Mama."
"Kamu kenapa, Kara? Siapa yang menyakitimu? Apa Jayden?" cerca Evelin, dalam hati Nada mendengus kesal.
"Cih, kekasih sialan mu yang membuat Kara begini. Nyonya Evelin!"
"Bukan Ma, tapi ..."
Kara ragu untuk mengatakannya, seolah dia memiliki rencana lain untuk membongkar kebusukan kekasih ibu dari Kara tersebut.
Beruntung Evelin pun tidak memaksa, dia akan bertanya nanti pada Jayden untuk sekarang dia garus fokus. Pada kesembuhan Kara.
"Kamu sudah sarapan, sayang?" tanya Evelin.
"Belum, aku gak mau makan. Ma," jawab Kara.
Evelin terkejut karena bicara Kara begitu lancar. Namun, dia tidak mempermasalahkan itu sebaliknya dia merasa bersyukur.
"Ya sudah kalau begitu, Mama belikan bubur ayam, mau?"
"Mau aku mau," jawab Kara antusias.
"Ya sudah, kamu tunggu ya! Mama beli dulu."
Evelin mengusap rambut Kara, lalu dia menitipkan Kara pada keluarga pasien sebelah. Karena menurut keluarga tersebut, Jayden pergi sekolah dan menitipkan pada perawat.
Kara menatap pintu yang tertutup, rasa antusias tersebut spontan dia rasakan.
"Mungkin ini jiwanya Kara," gumam Nada.
"Kara kamu senang, kan? Kamu tenang saja, Kara. Aku akan balas dendam pada lelaki brengsek itu."
Nada menyeringai, sudah banyak rencana yang dia susun setelah keluar dari rumah sakit. Walau dia juga merasa kasian pada Kara, saat memori lalu hadir.
Bersambung ...
Maaf typo