Di pertengahan tahun 2010, kerasnya kehidupan wanita bernama Sekar Nabila Putri dimulai. Tak ada dalam benak Sekar jika hidupnya setelah selesai kuliah berubah menjadi generasi Sandwich.
Setiap anak tentu tak bisa memilih di keluarga mana mereka dilahirkan. Ibunya lebih menyayangi sang kakak daripada Sekar. Alasannya sepele, hanya karena kakaknya adalah laki-laki dan menjadi anak pertama. Sedangkan Sekar adalah anak perempuan, si bungsu dari dua bersaudara.
Impiannya menjadi seorang akuntan yang sukses. Untuk menggapai sebuah impian, tak semudah membalikkan telapak tangan. Sekar harus terseok-seok menjalani kehidupannya.
Aku butuh rumah yang sebenarnya. Tapi, saat ini rumahku cuma antidepressant ~ Sekar Nabila Putri.
Akan tetapi sederet cobaan yang mendera hidupnya itu, Sekar akhirnya menemukan jalan masa depannya.
Apakah Sekar mampu meraih impiannya atau justru takdir memberikan mimpi lain yang jauh berbeda dari ekspektasinya?
Simak kisahnya.
Mohon dukungannya.💋
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Safira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 - Antipati
Mau tak mau Sekar pun menuntun motornya menuju pos polisi terdekat dengan perempatan jalan tersebut. Dalam hatinya, Sekar terus menggerutu. Seakan cobaan dalam hidupnya datang silih berganti.
Pagi sudah didesak ibunya perihal gaji dan pekerjaan, sekarang kena tilang. Hari apes sejatinya tak ada di kalender.
Sekar memarkirkan motornya, lalu mengekori sang polisi tersebut untuk ikut masuk ke dalam pos.
"Pagi, Ndan." Sapa anggota yang lain pada polisi yang menilang Sekar.
"Pagi," balasnya dengan nada cukup tegas di telinga Sekar.
"Tadi tuh anggota panggil dia komandan apa ajudan sih?" batin Sekar seraya menggaruk telinganya sendiri.
Ekor mata Sekar melihat area sekelilingnya. Ada beberapa orang yang juga bernasib sama pagi ini seperti dirinya yang kena tilang.
"Kalau dia komandan, pasti pakai jalur lain bukan jalur langit. Palingan ini orang umurnya masih 30 tahun nan. Hebat banget kalau masih muda udah jadi komandan. Koneksinya keren. Kalau cuma ajudan, ya masih cocok lah. Bisa jadi dia ajudan yang beneran pinter otaknya dan masuk polisi pakai jalur langit bukan jalur kekuatan yang lain," batinnya.
"Silahkan duduk," titah sang polisi pada Sekar.
Keduanya saat ini sudah berada di dalam sebuah bilik kecil di dalam pos polisi tersebut. Hanya ada mereka berdua dan duduk saling berhadapan.
"Angga Yudho P," batin Sekar membaca nama sang polisi yang tertera di seragamnya. "P nya apaan ya kepanjangannya?"
Sekar mendadak kepo. Padahal sejatinya dia tipikal orang yang cukup menjaga jarak dengan para pria berseragam seperti polisi yang sedang duduk di depannya saat ini. Bukan karena Sekar memiliki trauma dengan pria berseragam. Mantan kekasihnya pun bukan berasal dari keluarga berseragam seperti itu.
Hanya saja terlalu banyak membaca berita, desas-desus gosip dan pengalaman teman-teman kuliahnya dahulu, membuat Sekar seakan antipati pada pria-pria berseragam.
Antipati adalah perasaan tidak suka yang kuat atau penolakan terhadap seseorang atau sesuatu.
"Sudah paham salahnya di mana?" tanya Angga, polisi yang menilang Sekar.
"Saya tetap merasa gak bersalah, Pak. Apalagi saya gak ada bukti nyata seperti CCTV atau rekaman ponsel. Kalau tahu bakal mau ditilang begini, ya saya pasti rekam duluan tuh lampu lalu-lintas. Biar saya gak dituduh melanggar rambu lalu-lintas,"
"Ngeyel juga Mbak ini," ujarnya.
"Ya ngeyel lah, Pak. Selama kita benar ngapain harus takut!" desis Sekar.
"Berani juga. Unik," batin Angga yang mendadak ingin tersenyum tapi ia tahan. Dirinya tetap menampilkan wajah tegas dan garang di depan Sekar.
Akibat rasa antipati yang telah berakar dalam emosional Sekar, membuat wanita ini tak gentar menghadapi sosok Angga yang notabene seorang polisi. Sekar melihat jam tangannya yang saat ini menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Artinya kurang setengah jam lagi dirinya harus masuk kerja.
Sekar memutuskan membuka tasnya, lalu ia mengambil dompetnya. Angga hanya mengamati gerak-gerik Sekar.
"Buat bapak sarapan," ucap Sekar seraya menyodorkan uang satu lembar warna biru yakni lima puluh ribu rupiah.
"Kamu mau ny0gok saya," ucap Angga dengan nada sinis.
"Bukan begitu, Pak. Tolong mengerti kondisi saya. Sekarang ini hari pertama saya kerja di kantor baru. Saya ini masih masa percobaan selama tiga bulan. Kalau saya belum kerja tapi sudah datang terlambat, bisa-bisa rapor kinerja saya jadi merah. Terus setelah tiga bulan masa percobaan misal kantor gak memberikan kontrak kerja, otomatis saya didepak dan jadi pengangguran. Bapak mau nanggung biaya hidup keluarga saya di rumah?"
"Buat apa saya nanggung semua itu? Kan ada suami kamu di rumah. Ya, suruh dia saja yang tanggung jawab atas hidupmu!" balas Angga.
"Suami?"
"Iya, suamimu." Angga berpikir jika Sekar sudah menikah.
"Saya belum punya suami, Pak. Saya itu belum nikah. Apa perlu saya keluarkan KTP? Kalau kurang sekalian Kartu Keluarga biar bapak polisi percaya," tantang Sekar. Padahal dalam hatinya, Sekar tak sudi menunjukannya.
"Gak perlu," jawab Angga. "Jadi ini tadi kamu mau berangkat kerja?"
"Iya, bapak polisi. Jadi wanita harus mandiri, Pak. Kalau saya nanti nikah, gak mau terlalu bergantung sama suami. Kalau suami mendadak selingkuh dengan pela_kor, terus saya terbiasa menggantungkan hidup pada suami, ya ajuuuur Pak hidupku dan anakku nantinya!" tegas Sekar.
"Kalau punya penghasilan sendiri kan sebagai istri kita masih bisa senyum di depan suami. Tunjukkan bahwa kita masih bisa berdikari sendiri dan merawat anak-anak tanpa bantuan suami yang modelan WC umum!" desisnya.
Seketika Angga terkesima dengan penuturan wanita yang duduk di depannya saat ini. Sekar sejak tadi tak pernah menampilkan senyum padanya. Bahkan hanya tampak sebuah ketegasan dari seorang wanita muda dan sosok tangguh serta berprinsip kuat yang Angga tangkap dari raut wajah Sekar.
"Kok cuma lima puluh ribu? Kenapa gak lebih banyak s0g0kannya ?" pancing Angga yang mendadak didera penasaran pada sosok wanita unik di depannya ini.
Jarang sekali seorang Angga menemukan wanita seperti Sekar di hidupnya. Dominan wanita yang ada di sekitarnya tanpa dipancing pun, mereka dengan suka rela datang padanya dan menggoda polisi muda itu. Justru hal tersebut membuat Angga bergidik ngeri dan memilih menjauh dari para wanita yang seperti itu.
"Adanya cuma segitu, Pak. Jangan tega-tega amat dah. Itu pun sebenarnya uang buat jatah bensin seminggu, Pak." Sekar menjawab apa adanya.
"Lah kalau kamu kasih ke aku, nanti gimana motormu jalan selama seminggu? Apa kamu mau ganti bensinnya pakai air sumur?"
"Kalau bisa jalan tuh motor pakai air sumur, sudah ku lakukan Pak." Sekar memutar bola matanya jengah. "Terpaksa jatah buat perut yang aku tahan," sambungnya.
"Puasa dong," goda Angga.
"Iya, Pak. Mau gimana lagi,"
Angga pun seketika melepaskan Sekar dan tak jadi menilangnya. SIM dan STNK milik Sekar pun diberikan kembali oleh Angga.
Sekar mengucapkan terima kasih pada Angga. Akan tetapi, Sekar bersikap biasa saja bukan wah yang heboh dan lain sebagainya. Sekar tetap tak memberikan senyum sedikit pun pada Angga. Rasa antipatinya pada pria berseragam jauh lebih besar bercokol di hatinya daripada rasa ingin senyumnya saat ini.
Sekar bergegas pergi dari pos polisi tersebut. Sekar sudah memakai helm dan menaiki motor maticnya. Saat akan tancap gas, mendadak urung karena telinganya mendengar seruan Angga di belakang tubuhnya.
"Tunggu!" panggil Angga.
"Astaga, ini polisi ngapain lagi sih!" batin Sekar seraya menggerutu sebal.
Sekar masih belum menengok ke arah Angga yang berjalan ke tempatnya. Seketika...
Bersambung...
🍁🍁🍁
cintanya emang pollllllllllllllll
Sekar pelan² sajaaaaaaa
dihhh si yuni ga di beliin oleh" ko sewot, dasar ipar ga da ahlak