Ku Yakin Bahagia Datang
"Ayah... Ayah... Bangun Ayah!" Gendhis meraung histeris, tubuhnya lunglai di samping pusara ayahnya. Bismo, dengan wajah yang tak kalah sendu, mencoba menenangkan adiknya.
"Gendhis, sudah... Ikhlaskan Ayah," ucap Bismo, suaranya bergetar.
"Bagaimana bisa aku ikhlas, Mas? Ayah pergi secepat ini, aku belum sempat membalas semua kebaikannya," isak Gendhis, air matanya terus mengalir membasahi pipinya.
Bismo memeluk erat adiknya, mencoba menyalurkan kekuatan. "Ayah sudah tenang di sana, Gendhis. Kita harus kuat, kita harus melanjutkan hidup untuk Ayah."
Gendhis masih menangis dalam pelukan kakaknya. Kepergian ayahnya adalah pukulan berat bagi mereka. Ayah mereka adalah sosok yang sangat mereka cintai dan hormati. Beliau adalah tulang punggung keluarga, sosok yang selalu ada untuk mereka dalam suka maupun duka.
"Mas janji akan selalu ada untuk kamu, Gendhis. Mas akan menjadi pengganti Ayah untuk kamu," ucap Bismo, dengan suara yang penuh tekad.
Gendhis mengangguk lemah. Dia tahu, hanya kakaknya yang sekarang ia punya. Bismo adalah satu-satunya keluarga yang tersisa setelah kepergian ayah mereka.
"Ayo kita pulang, Gendhis. Kita harus mempersiapkan segala sesuatu untuk tahlilan Ayah," ajak Bismo, mengusap lembut rambut adiknya.
Gendhis mengangguk dan mengikuti langkah kakaknya. Mereka berjalan bergandengan tangan, meninggalkan pusara ayah mereka dengan hati yang hancur.
Beberapa hari kemudian
Suasana rumah duka masih terasa kental. Keluarga, kerabat, dan teman-teman almarhum Haris Bimantoro berkumpul untuk mengikuti acara tahlilan. Gendhis dan Bismo menyambut kedatangan para tamu dengan senyum yang dipaksakan.
Di tengah keramaian, Gendhis melihat seorang wanita paruh baya yang berdiri di sudut ruangan. Wanita itu tampak sedih,seperti yang pernah ia lihat sebelumnya. Gendhis mencoba mengingat-ingat, dan tiba-tiba ia teringat. Wanita itu adalah mantan sekretaris ayahnya.
Gendhis menghampiri wanita itu. "Tante, kan? Mantan sekretaris Ayah?" sapa Gendhis, dengan sopan.
Wanita itu tersenyum. "Iya, Nak Gendhis. Saya turut berduka cita atas kepergian Pak Haris," ucapnya, dengan nada yang tulus.
"Terima kasih, Tante. Tante kenal baik dengan Ayah?" tanya Gendhis, penasaran.
"Tentu saja. Saya sudah bekerja dengan Pak Haris selama bertahun-tahun. Beliau adalah orang yang sangat baik, jujur, dan bertanggung jawab," jawab wanita itu, dengan nada yang penuh hormat.
Gendhis terdiam sejenak. "Tante, apa Tante tahu sesuatu tentang kecelakaan yang menimpa Ayah?" tanya Gendhis, dengan hati-hati.
Wanita itu tampak ragu sejenak. "Sebenarnya, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan, tapi saya tidak tahu apakah ini waktu yang tepat," jawabnya, dengan nada yang bimbang.
"Tante, tolong ceritakan semuanya. Aku berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Ayah," pinta Gendhis, dengan suara yang memohon.
Wanita itu menarik napas dalam-dalam. "Baiklah, Nak Gendhis. Saya akan menceritakan semuanya."
****
Savilla, mantan sekretaris Haris, menarik napas dalam-dalam sebelum memulai ceritanya. "Nak Gendhis, sebenarnya ada hal yang selama ini saya simpan rapat-rapat. Saya tahu ini mungkin akan sulit diterima, tapi ini adalah kebenaran yang harus kamu tahu," ucap Savilla, dengan suara yang bergetar.
Gendhis menatap Savilla dengan tatapan yang penuh pertanyaan. "Katakan saja, Tante. Aku siap mendengarkan apapun," jawab Gendhis, dengan suara yang mantap.
Savilla mengangguk. "Beberapa hari sebelum kecelakaan, Pak Haris mendapat informasi bahwa ada seseorang yang mencoba untuk sabotase mobilnya. Orang itu ingin mencelakai Pak Haris," kata Savilla, dengan nada yang serius.
Gendhis terkejut mendengar perkataan Savilla.
"Apa? Sabotase? Siapa yang berani melakukan itu pada Ayah?" tanya Gendhis, dengan nada yang marah.
Savilla mengangkat bahunya. "Saya tidak tahu siapa orangnya, Nak Gendhis. Pak Haris hanya bilang bahwa orang itu adalah musuhnya dalam bisnis," jawab Savilla, dengan nada yang menyesal.
Gendhis terdiam sejenak, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja ia dengar. "Lalu, kenapa Ayah tetap pergi ke Surabaya? Kenapa Ayah tidak melaporkan hal ini ke polisi?" tanya Gendhis, dengan nada yang bingung.
Savilla menghela napas. "Pak Haris adalah orang yang sangat percaya diri. Beliau tidak percaya bahwa ada orang yang berani mencelakainya. Beliau juga tidak ingin membuat masalah menjadi besar, jadi beliau memutuskan untuk tidak melaporkan hal ini ke polisi," jawab Savilla, dengan nada yang sedih.
Gendhis menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Ini tidak mungkin. Ayah tidak mungkin seceroboh itu," gumam Gendhis, dengan nada yang frustrasi.
Savilla mengangguk. "Saya tahu ini sulit untuk diterima, Nak Gendhis. Tapi inilah kenyataannya. Saya minta maaf karena baru menceritakan hal ini sekarang. Saya takut kamu akan semakin sedih," ucap Savilla, dengan nada yang penuh penyesalan.
Gendhis menatap Savilla dengan tatapan yang penuh terima kasih. "Tidak apa-apa, Tante. Aku justru berterima kasih karena Tante sudah mau menceritakan semuanya. Sekarang aku tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Ayah," ucap Gendhis, dengan suara yang lirih.
Savilla tersenyum. "Saya harap kamu bisa menerima semua ini, Nak Gendhis. Pak Haris adalah orang yang baik. Beliau tidak pantas mendapatkan semua ini," ucap Savilla, dengan nada yang penuh harap.
Gendhis mengangguk. "Aku akan berusaha untuk menerima semuanya, Tante. Aku percaya bahwa Ayah sudah tenang di sana," ucap Gendhis, dengan suara yang penuh keyakinan.
****
Tentu, ini kelanjutan cerita novel Anda:
Di tengah perbincangan yang serius antara Gendhis dan Savilla, tiba-tiba muncul sosok Khalisa Azilia Rumpoko, istri dari Bismo, kakak Gendhis. Khalisa menghampiri mereka dengan langkah anggun namun raut wajahnya terlihat dingin dan penuh prasangka.
"Maaf, Tante Savilla, bisa saya bicara sebentar dengan Gendhis?" tanya Khalisa, dengan suara yang terdengar Formal.
Savilla, yang menyadari ketegangan yang terpancar dari wajah Khalisa, mengangguk dan memberikan isyarat kepada Gendhis. "Tentu, Nak Khalisa. Saya permisi dulu," ucap Savilla, sambil berlalu meninggalkan mereka berdua.
Setelah Savilla pergi, Khalisa menatap Gendhis dengan tatapan yang tajam. "Ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu, Gendhis," ucap Khalisa, dengan nada yang dingin.
Gendhis, yang merasa tidak nyaman dengan tatapan Khalisa, hanya mengangguk pelan. Ia sudah merasakan firasat buruk dari sikap kakak iparnya ini.
"Saya tahu kamu sedang mencari tahu tentang kematian ayahmu," kata Khalisa, memulai pembicaraan.
Gendhis terkejut mendengar perkataan Khalisa. "Bagaimana kamu tahu?" tanya Gendhis, dengan nada yang penasaran.
Khalisa tersenyum sinis. "Saya tidak bodoh, Gendhis. Saya tahu kamu tidak akan tinggal diam setelah ayahmu meninggal secara tiba-tiba," jawab Khalisa, dengan nada yang merendahkan.
Gendhis terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa seperti sedang dihakimi oleh kakak iparnya sendiri.
"Saya ingin kamu berhenti mencari tahu tentang kematian ayahmu," kata Khalisa, dengan nada yang tegas.
Gendhis menatap Khalisa dengan tatapan yang tidak percaya. "Kenapa? Kenapa aku harus berhenti?" tanya Gendhis, dengan nada yang marah.
Khalisa mengangkat bahunya. "Karena ini bukan urusanmu. Biarkan polisi yang menangani kasus ini," jawab Khalisa, dengan nada yang acuh tak acuh.
Gendhis mengepalkan tangannya. Ia tidak terima dengan perkataan Khalisa. Ia merasa Khalisa menyembunyikan sesuatu darinya.
"Aku tidak akan berhenti, Kak Khalisa. Aku akan mencari tahu kebenaran tentang kematian ayahku," kata Gendhis, dengan nada yang penuh tekad.
Khalisa tertawa sinis. "Terserah kamu saja, Gendhis. Tapi jangan salahkan saya kalau kamu menyesal nanti," ucap Khalisa, sambil berlalu meninggalkan Gendhis dengan tatapan yang penuh kebencian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments