Ada cowok yang pikirannya masih di zaman batu, yang menganggap seks cuma sekedar kompetisi. Semakin banyak cewek yang ditiduri, maka semakin jantan dia.
Terus ada juga yang menganggap ini cuma sebagai salah satu ajang seleksi. Kalau goyangannya enak, maka mereka bakal jadian.
Ada lagi yang melihat ini cuma buat kesenangan, tanpa perlu ada keterikatan. Ya, melakukannya cuma karena suka. Sudah, begitu saja.
Dan ada juga cowok yang menganggap seks itu sesuatu yang sakral. Sesuatu yang cuma bisa mereka lakukan sama orang yang benar-benar mereka sayangi.
Nah, kalau gue sendiri?
Jujur, gue juga nggak mengerti. Gue bahkan nggak tahu apa arti seks buat gue.
Terus, sekarang gue ada di sini sama Carolline?
Gue baru kenal dia, jadi gue nggak ada niatan buat tidur sama dia. Tapi kalau soal bikin dia puas?
Itu cerita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta Pertama
Setelah mandi dan menghabiskan beberapa jam buat rebahan di sofa, gue baru sadar apartemen gue belakangan ini berasa kosong banget.
Vey masih belum balik sejak kejadian itu, waktu gue mabuk dan melepaskan ucapan bego itu, sementara Dino hampir gak pernah ada.
Gue belum sempat minta maaf ke Vey, dan gue juga gak pengen kirim pesan duluan.
Tapi kenapa, sih?
Toh, sekedar kirim pesan minta maaf saja.
Semua itu emang lebih gampang kalau ngobrol langsung. Rasanya beda, bilang sesuatu secara tatap muka dibanding nulis dan berharap orang lain menangkap maksudnya dengan benar. Soalnya, kalau cuma tulisan, orang bisa baca dengan nada yang mereka tentuin sendiri.
Gue buka Instagram, sekadar buat hiburan, memperhatikan story orang lain. Pas lewat story-nya Selma, ada foto buram dia di depan cermin, lagi pakai lipstik pink, sama kayak yang dia pakai waktu kita ketemu.
Ada tagar #Readyforparty, jadi kayaknya dia benaran bakal dateng ke pesta yang Phyton bilang.
Gue tahan jari di layar biar story-nya nggak hilang, terus gue perhatiin fotonya. Dia kelihatan happy. Dan itu bikin gue mikir, kayaknya dia benaran nggak ada niatan buat menghubungi gue lagi atau mengajak ketemu.
Ah, Asta, lo jangan kebanyakan mikir sendiri.
Gue lepas jari dari layar, dan story selanjutnya malah bikin gue senyum.
Niria.
Cinta pertama gue, first time gue, cewek yang pernah menghancurkan hati gue tapi juga yang menyembuhkannya sebelum dia pergi ke universitas.
Gue masih ingat banget sore itu, setahun yang lalu....
....Angin pantai bikin rambut hitamnya berkibar ke samping. Kita duduk di pasir, menghadap ke laut, kadang-kadang ombak menyentuh kaki kita.
Kita habisin weekend bareng, cuma berdua, di villa dekat pantai milik temannya Niria. Gue sendiri nggak yakin kita tuh sebenarnya apa. Kita nggak pacaran, tapi juga nggak dekat sama orang lain. Minggu depannya, Niria bakal pergi ke universitas.
"Lo merasa, nggak, laut itu kayak nggak ada ujungnya?" Gue lihat dia dari samping. "Luas banget,... bebas."
Gue menghela napas, terus balikan pandangan ke laut. "Mungkin."
"Gue merasa kayak laut," katanya sambil genggam tangan gue di atas pasir. "Gue pengen ke universitas, pengen berpetualang, kenal orang baru, dan gue pengen banyak hal."
Aduh.
Tapi gue langsung nyoba buat balikin keadaan.
"Anan sama Zielle mau coba LDR, kenapa kita nggak bisa?" Nada suara gue hampir kayak lagi mohon-mohon.
Niria makin kenceng genggam tangan gue, terus mukanya makin dekat.
"lihat gue, Asta," dia nyuruh, dan gue nurut. Tatapan gue tenggelam di matanya yang hitam pekat. "Sekarang bilang jujur, ini benaran yang lo mau?"
Gue buka mulut, tapi nggak ada kata yang keluar. Terus gue tutup lagi. Niria usap pipi gue dengan lembut.
"Kita berdua masih punya banyak hal buat dijelajahin sendiri-sendiri," katanya. Gue tahu persis maksudnya. "Gue pengen kita biarin aja semuanya kayak gini... tetep indah, tetep bebas, dan tetep ada rasa sayang di antara kita."
Gue nggak bisa nahan perasaan yang mulai numpuk di dada.
"Gue sayang lo, Niria." Gue cium dia, karena gue bisa merasakan apa yang kita punya mulai larut sama angin laut. "Gue sayang lo," ulang gue, tepat di bibirnya.
"Gue juga sayang lo, Asta. Ih jari-jari lo jangan usil."
Kita berdua ketawa, dan gue cium dia lagi, pengen menikmati tiap detik terakhir yang kita punya.
Pikiran gue terbawa ke malam pertama kali gue lihat dia, di klubnya Antari. Dia tiba-tiba muncul di samping gue, senyum sambil goyangkan badannya, seperti mengajak biat lupain semua yang bikin kepala berat.
Gue ingat banget waktu itu gue sempat mikir, "Gila, dia cakep banget."
Apalagi pas dia senyum, wajahnya benar-benar bersinar.
Tapi Niria bukan cuma sekadar manis. Dia dengarin gue lebih dari siapa pun, mengerti gue luar dalam tanpa pernah menghakimi.
Kita emang pantas dapat akhir yang indah kayak gini, romantis, masih saling sayang, tanpa harus saling mengikat. Karena cinta yang sesungguhnya nggak mengekang, nggak bikin sesek, dan nggak membatasi kita...
Jadi, pas gue lihat story-nya, gue langsung senyum lebar karena ya… dia benar. Buat gue, Niria bukan kenangan pahit atau yang nyakitin, dia itu kebebasan dan kasih sayang yang nggak ada habisnya.
Di story-nya, dia lagi di pesta penuh lampu warna-warni, loncat-loncat sambil megang cup merah, teriak-teriak kayak orang gila, rambutnya goyang ke segala arah. Auranya benar-benar bikin seneng.
Di story berikutnya, dia nyium cewek berambut merah. Gue senyum lagi. sudah beberapa bulan ini dia pacaran sama cewek itu, dan kelihatan banget bahagianya. Niria emang nggak pernah suka sama yang namanya rasis. Dia selalu bilang kalau dia itu fleksible, jatuh cinta sama orangnya, bukan sama gendernya.
Gue langsung reply story-nya pakai emoji hati, dan nggak nyampe semenit, eh, dia nelepon lewat video.
"Astaaaa!” Niria teriak sekenceng-kencengnya, hampir bikin gendang telinga gue copot. Suara musik, suara orang ngobrol, semua berantem di latar belakang, tapi gue masih bisa melihat sekilas wajahnya.
“Jangan bilang lo cuma di rumah doang, bego!”
Gue ketawa kecil, karena gue tahu percuma ngomong, dia pasti nggak bakal dengar dengan suara sekacau itu.
“KELUAR SEKARANG, Asta Batari!” Dia teriak lagi sebelum tiba-tiba matiin teleponnya.
Gue lihat HP, terus lihat diri sendiri.
Ya sudah lah.
Dengan semangat, gue ambil barang-barang gue dan pergi ke pesta.
cobalah utk hidup normal phyton
𝚜𝚊𝚕𝚞𝚝 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊,𝚠𝚊𝚕𝚊𝚞𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚊𝚕𝚟𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚍𝚒𝚊 𝚝𝚍𝚔 𝚋𝚎𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊,𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚗𝚐𝚎𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗
𝚜𝚎𝚖𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚍𝚘𝚗𝚐 🥰🥰
𝚜𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚌𝚘𝚌𝚘𝚔 𝚢𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 🥰🥰
𝚜𝚎𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚍𝚐𝚗 𝚊𝚍𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚗𝚎𝚖𝚞𝚒𝚗 𝚓𝚊𝚝𝚒 𝚍𝚒𝚛𝚒 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚍𝚊𝚗 𝚕𝚞𝚙𝚊𝚒𝚗 𝚟𝚎𝚢..𝚐𝚊𝚔 𝚜𝚎𝚝𝚞𝚓𝚞 𝚔𝚕𝚘 𝚊𝚜𝚝𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚟𝚎𝚢