NovelToon NovelToon
The Last Class

The Last Class

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Romansa / Enemy to Lovers
Popularitas:586
Nilai: 5
Nama Author: Alona~

Di SMA Triguna Jaya, kelas 11 IPS 5 dikenal sebagai "Kelas Terakhir." Diremehkan oleh murid lain, dianggap kelas paling terakhir, dan dibayangi stigma sebagai kelas "kurang pintar," mereka selalu dianggap sepele. Namun, di balik pandangan sinis itu, mereka menyimpan sesuatu yang tak dimiliki kelas lain: talenta tersembunyi, kekompakan, dan keluarga yang mereka bangun sendiri.

Ketika cinta segitiga, persaingan ambisi, dan prasangka mulai menguji persahabatan mereka, batas antara solidaritas dan perpecahan menjadi kabur. Apakah mereka bisa menjaga mimpi bersama, atau akan terpecah oleh tekanan dunia luar?

©deluxi

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alona~, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

11. Luka Masa Lalu

...۪ ׄ ۪ 🎀 Disclaimer‼️: ׂ 𖿠𖿠...

...Semua cerita ini hanyalah cerita fiksi. Jika ada kesamaan dari nama, karakter, lokasi, tokoh, itu semua karena unsur ketidaksengajaan. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam menulis....

...۪ ׄ ۪ 🌷 Happy Reading 🌷: ׂ 𖿠𖿠...

Tak… Tak… Tak…

Suara detik jam berdenting memenuhi keheningan rumah besar itu. Jia menatap kosong pada foto keluarga yang tergantung di dinding ruang tengah. Foto lama, saat sang Mama masih ada.

Menghela napas panjang, Jia menggelengkan kepala, berusaha menepis memori kelam yang perlahan menyusup masuk. Sudah lima tahun sejak kepergian Mamanya, namun rasa sakit itu tak juga pudar.

Jia membenci kesepian. Sunyi membuat pikirannya berlarian liar. Itu sebabnya ia selalu menyibukkan diri, bergabung dengan berbagai ekstrakurikuler dan organisasi di sekolah, seolah mencoba melarikan diri dari perasaan itu.

Namun malam ini, hujan deras di luar jendela memperburuk suasana hatinya. Tak ingin berlarut-larut, ia berjalan ke dapur. "Hujan-hujan begini, enaknya masak apa ya?" gumamnya lirih.

Setelah melihat isi kulkas, ia memutuskan untuk membuat ramen dan seblak. Sambil menunggu masakannya matang, Jia menyalakan televisi di ruang tengah, supaya tidak terlalu sunyi.

Ting… Tong… Ting… Tong…

Suara bel rumah berbunyi terus menerus. Jia mengernyit heran. "Siapa sih yang bertamu malam-malam begini? Masa Raden?"

Dengan perasaan tidak menentu, Jia berjalan menuju layar CCTV di dekat pintu. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Di luar sana, berdiri sosok pria dengan tubuh tinggi yang sangat dikenalnya ─── Ayahnya.

Dada Jia langsung sesak. Nafasnya tak beraturan. Tangan gemetar. Panic attack-nya kambuh.

Tanpa berpikir panjang, Jia segera mengaktifkan sistem pengunci otomatis di seluruh rumahnya. Ia berlari ke lantai dua, mengunci pintu kamar rapat-rapat, tubuhnya terduduk lemas di belakang pintu.

"JIA! INI AYAH!"

"KAMU ADA DI DALAM, 'KAN? BUKA PINTUNYA, NAK!"

Jia menutup telinganya dengan kedua tangan. Suara ayahnya terdengar semakin jauh di tengah gemuruh kepanikannya.

Air matanya mengalir deras. Tubuhnya gemetar hebat, keringat dingin bercucuran. Ia meraih botol obat penenang dari laci dan menelan beberapa butir sekaligus.

Tak ada yang tahu soal penyakitnya ini. Bahkan Raden, sepupu yang paling dekat dengannya, pun tak tahu. Jia terlalu takut dianggap gila.

Hingga suara notifikasi dari handphone nya membuat atensi Jia teralihkan. Ia memijat pelipisnya, merasa bingung dengan situasi sekarang.

"Setelah sekian lama hilang, dan gak peduli sama gue, ngapain sekarang harus memunculkan lagi?"

...🌷 🌷 🌷...

Kring... Kring... Kring...

Suara bel pulang berbunyi, membuat seluruh siswa bersorak gembira. Namun, di tengah keramaian itu, Jia hanya diam dan terlihat murung.

"Heboh banget kalian, gak betah ya saya ngajar di sini?" tanya Pak Dian yang hari ini tengah mengajar kelas IPS 5 pada jam akhir.

"Bukan gak betah, Pak. Kita kasian sama bapak, bapak pasti cape pengen buru-buru pulang hehe," ucap Jildan sambil cengengesan. Memang, yang paling berani menyahut ucapan Pak Dian, ya Jildan atau engga Squad jamet.

"Heleh, kalian yang pengen buru-buru pulang? Atau saya? Sudahlah, pelajaran hari ini dicukupkan sampai di sini, bapak pergi dulu, Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh!" ucap semunya dengan serempak.

"Jiji! Club bahasa, nggak?" tanya Heera.

Selain panggilan 'Mama Jia', Jia juga mendapat panggilan baru, yakni 'Jiji' keliatannya kaya ngeledek, tapi Jia mah bodoamat, selagi mereka nyaman, Jia cuma bisa pasrah aja.

Jia menggeleng pelan. "Engga, Hee. Izin dulu, lagi ada urusan," jawabnya singkat dengan senyum kaku.

Raden yang mendengar langsung menatapnya curiga. "Urusan apa?"

"Kepo banget sih," Jia menghindar, lalu buru-buru pergi meninggalkan teman-temannya yang kini menatapnya bingung.

"Den? Jia kenapa?" tanya Jendra pada Raden.

Mendapat pertanyaan dari Jendra, Raden menggelengkan kepalanya, pertanda ia tidak tahu ada apa dengan Jia.

...🌷 🌷 🌷...

"Ma, Jia kangen, Mama."

Jia berjongkok di depan sebuah nisan bertuliskan nama Sania Ananda. Matanya sembab, tangannya meremas rok dengan erat.

"Ma, Ayah muncul lagi, Ma. Jia nggak mau ketemu Ayah, Jia takut."

Tangisannya pecah. Ia merasa dunia ini terlalu kejam. Satu-satunya tempat yang bisa membuatnya merasa aman adalah di sini, di sisi makam sang Mama.

"Jia punya penyakit panic attack, Ma. Jia gak bilang siapa-siapa kalau Jia punya penyakit ini. Jia takut gila, Ma. Jia butuh Mama, walaupun teman-teman Jia baik, semuanya sayang Jia. Kalau gak ada Mama di sisi Jia, Jia gak kuat, Ma."

Hening. Hanya suara angin yang menemani. Jia menghapus air matanya.

Jika sudah seperti ini, rasanya Jia ingin menyusul sang Mama, Jia lelah, Jia butuh Mama, Jia butuh pelukan Mama, Jia mau Mama kembali.

"Jia pulang dulu ya, Ma. Makasih udah dengerin Jia."

...🌷 🌷 🌷...

Sesampainya di rumah, Jia mengernyit. Pintu rumahnya tidak terkunci. "Lho? Kok pintunya gak kekunci? Siapa yang masuk? Raden kah?"

"Raden? Lo ada di sini?" Jia beteriak.

Namun bukan Raden yang muncul, melainkan───

"Jia, kamu baru pulang?"

Deg!

Jia mematung. Tubuhnya bergetar hebat. Nafasnya tersengal. "Jia, Ayah kangen kamu, Nak."

"JANGAN MENDEKAT! JANGAN COBA-COBA MENDEKATI SAYA!" teriaknya histeris, mundur ketakutan.

"Jia, dengar dulu, ini Ayah, Ayah ingin—"

"PERGI! JANGAN DEKATI SAYA! SAYA BENCI KAMU!"

Tanpa berlama-lama, Jia berlari ke luar rumah dengan sekencang mungkin, mengabaikan teriakan Ayahnya dari dalam rumah.

"JIA! KAMU MAU KEMANA?! JIA!"

Jia berlari tanpa arah. Nafasnya tersengal, dadanya terasa sesak. Dingin menyelimuti tubuhnya yang gemetar. Tubuhnya melemah, namun ia tetap berusaha menjauh dari rumah───dari pria yang baru saja ia lihat di dalam rumah.

Ayah

Sosok yang ia hindari selama ini. Sosok, yang pernah membuatnya merasa hancur.

Matanya berair, pandangannya buram oleh tangisan yang tertahan. Napasnya semakin tersengal. Ia ingin berteriak, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan.

Brugh!

Tubuhnya terjatuh dengan keras ke atas jalan yang basah. Lututnya tergores, perih. Telapak tangannya yang terbuka ikut tergores aspal kasar.

"Aarrgghh..." Jia memejamkan mata, menggigit bibirnya menahan rasa sakit. Tubuhnya semakin menggigil, air mata bercampur dengan air hujan di wajahnya.

Namun kemudian, sebuah suara memanggilnya dari kejauhan.

"Jia?!"

Suara itu familiar. Langkah kaki mendekat dengan cepat.

"Astaga, Jia! Lo kenapa?!"

Jendra. Sosok yang selalu ada di saat-saat seperti ini.

Jendra langsung berlutut di hadapan Jia, matanya membulat panik, melihat keadaan gadis itu yang basah kuyup, pucat, dan menggigil hebat. Ia langsung memegang wajahnya dengan kedua tangan.

"Jia, liat gue. Tarik napas, pelan-pelan. Ikutin gue, ya? Tarik...tahan...buang...pelan..."

Jia mencoba mengikutinya. Meski tubuhnya masih bergetar, perlahan nafasnya mulai teratur. Namun air matanya tak berhenti mengalir.

"Jen... A-aku... Ayah.. Dia.. Dia.."Jia terisak, tubuhnya bergetar hebat.

"Shh.. Gak apa-apa. Lo aman sekarang, gue di sini. Udah, jangan pikirin sekarang, lo aman. Lo sama gue. Gue gak bakal biarin lo sendirian, oke?"

Jendra meraih tubuh Jia dalam pelukannya, mendekapnya erat di tengah derasnya hujan.

"Kalau mau nangis, nangis aja, gue di sini. Lepasin semaunya, Jia. Lo aman."

Dan akhirnya, tangisan Jia pecah. Isakannya menggema di dada Jendra. Suara hujan pun tak mampu meredam kepedihan yang begitu dalam.

"Jia, dengerin gue ya," suaranya lirih namun tegas.

"Lo gak sendirian. Lo punya gue, Raden, Luna, semua yang sayang sama lo. Gue gak tahu apa yang terjadi sama lo dan ayah lo. Tapi, tolong jangan simpen sendiri kaya gini lagi. Lo gak perlu jadi kuat sendirian, ngerti?" Jia mengangguk pelan, meski air matanya masih mengalir di pipi.

Jendra mengusap wajahnya dengan lembut, menghapus air mata yang bercampur dengan hujan.

"Udah, yuk pulang ke rumah Raden. Lo kedinginan, nanti sakit."

Tanpa menunggu persetujuan, Jendra membantu Jia berdiri, merangkulnya dengan penuh perhatian. Langkah mereka pelan, menyusuri jalan yang basah, tapi kehangatan pelukan Jendra membuat Jia meras - untuk pertama kalinya - tidak sepenuhnya sendirian.

...🌷 🌷 🌷 ...

...Aku gak bakalan bosan bosan mengingatkan kalian, jangan lupa tinggalkan jejak ya, seperti vote, komen, dan tambahkan ke favorit kalian ya😉🌷...

...Sampai ketemu di part selanjutnya 🌷...

...ִ ׄ ִ 𑑚╌─ִ─ׄ─╌ ꒰ To be continued ꒱ ╌─ׄ─۪─╌𑑚 ۪ ׄ...

1
deluxi☁
baguss
Diana (ig Diana_didi1324)
hai thor ceritanya menarik aku suka bacanya, aku baca sampai sini dulu ya yuk mampir juga dikaryaku
deluxi☁: terimakasih kakk sudah mampir🥰🥰 okeyy nanti aku mampir 🌷🌷
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!