Akay, pemuda yang kadang bermulut pedas, terjebak dalam pernikahan dengan Aylin, gadis badung yang keras kepala, setelah menabrak neneknya. Itu adalah permintaan terakhir sang nenek—dan mereka harus menandatangani perjanjian gila. Jika Akay menceraikan Aylin, ia harus membayar denda seratus miliar. Tapi jika Aylin yang meminta cerai, seluruh harta warisan neneknya akan jatuh ke tangan Akay!
Trauma dengan pengkhianatan ayahnya, Aylin menolak mengakui Akay sebagai suaminya. Setelah neneknya tiada, ia kabur. Tapi takdir mempertemukan mereka kembali di kota. Aylin menawarkan kesepakatan: hidup masing-masing meski tetap menikah.
Tapi apakah Akay akan setuju begitu saja? Atau justru ia punya cara lain untuk mengendalikan istri bandelnya yang suka tawuran dan balapan liar ini?
Apa yang akan terjadi saat perasaan yang dulu tak dianggap mulai tumbuh? Apakah pernikahan mereka hanya sekadar perjanjian, atau akan berubah menjadi sesuatu yang tak pernah mereka duga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Godaan
Setelah membisikkan kata-kata yang membuat Aylin membeku, Akay kembali ke ranjang dan menatap Aylin yang masih berdiri di tempatnya. "Lama banget. Kamu mau tidur di situ aja?" Ia menepuk kasurnya, sengaja membuat ekspresi menggoda. "Sini, 'kan ini ranjang suami-istri."
Aylin mendengus, matanya menyipit penuh curiga. "Mimpi aja. Aku tidur di kamar sebelah!"
Akay pura-pura menghela napas panjang dan menatapnya dengan ekspresi sok kecewa. "Sayang sekali. Padahal aku sudah niat buat malam ini jadi malam spesial."
Aylin kembali membeku. "A-apa maksudmu?"
Akay belum puas menggoda istrinya, ia bangkit dari kasur, berjalan perlahan mendekatinya. Mata tajamnya mengunci pandangan Aylin, bibirnya melengkung membentuk smirk yang membuat jantung Aylin berdebar tak karuan.
"Maksudku..." Akay mendekat sedikit lagi, tubuhnya nyaris menyentuh Aylin. Ia menurunkan suaranya, nyaris berbisik di telinga gadis itu. "Aku pria dewasa, Aylin. Aku bisa melakukan banyak hal kalau aku mau."
Aylin langsung meloncat mundur, matanya membelalak. "G-gila! Aku tidur di kamar sebelah! TITIK!"
Alih-alih menghentikan keusilannya, Akay justru terkekeh. "Tapi itu 'kan masih di dalam apartemenku. Aku bisa masuk kapan saja, 'kan?"
Aylin semakin pucat. "Kurang ajar! Kalau kau macam-macam, aku teriak!"
Akay mengangkat bahunya santai. "Teriak aja. Apartemen ini kedap suara."
"Dasar nyebelin!" Aylin hendak berlari ke kamarnya, tetapi sebelum sempat mencapai pintu, sebuah tangan kuat menangkap pergelangannya.
"Ack—!"
Dalam sekejap, tubuhnya terangkat dari lantai.
"A-Akay! Lepasin aku!" Aylin menjerit, meronta sekuat tenaga saat pria itu dengan mudah menggendongnya dalam posisi berhadapan. Tangan kecilnya memukul-mukul dada dan bahu Akay, tapi tubuh pria itu terlalu kokoh, seolah tak merasakan dampak pukulannya sama sekali.
Akay hanya terkekeh, menatapnya dengan sorot mata penuh keusilan. "Mau lari ke mana, hmm?"
"Aku mau tidur!" geram Aylin.
"Tidur? Bagus," Akay tiba-tiba melangkah ke ranjangnya dan merebahkan Aylin di sana. Dengan satu gerakan cepat, ia menindih tubuh gadis itu, kedua tangannya menekan sisi kepala Aylin, mengungkungnya di bawah tubuhnya yang lebih besar.
Aylin menelan ludah. "A-Apa yang kau lakukan?!"
Senyuman licik terukir di wajah Akay. "Meminta hakku."
Napas Aylin tercekat. "K-Katanya aku bukan tipemu?!"
"Itu dulu." Akay merunduk sedikit, wajahnya begitu dekat hingga napasnya menyapu kulit Aylin. "Lagi pula, ini 'kan bagian dari kewajiban seorang istri…"
Aylin membelalak. "Aku… aku sedang datang bulan!" dustanya panik.
Akay menatapnya dengan senyum geli. "Oh?" Jemarinya yang besar terangkat, dengan santai menyentuh dagu Aylin dan mengangkatnya sedikit. "Nggak masalah. Kita bisa melakukannya dengan cara lain."
Jantung Aylin nyaris copot dari tempatnya. Ia menjerit dalam hati, otaknya bekerja keras mencari jalan keluar. Napas hangat Akay semakin terasa, wajahnya semakin dekat—
Tanpa pikir panjang, Aylin langsung membuka mulut dan—
GIGIT!
"AARRGH!"
Akay langsung menjauh, mengusap lehernya yang kini berbekas gigitan merah. "SIALAN! KAMU BARU SAJA NGGIGIT AKU?!"
Aylin, yang sudah berhasil kabur dari bawah tubuhnya, langsung melompat turun dari ranjang. "Lagian, siapa suruh macem-macem?! Rasain! Weekk!" Aylin menjulurkan lidahnya ke Akay.
Sambil menahan nyeri di lehernya, Akay melotot ke arahnya. "Ya ampun, ini sakit, tahu?! Apa kamu vampir?!"
"Terserah! Aku tidur di kamar lain!" teriak Aylin sebelum kabur secepat kilat keluar dari kamar.
Akay hanya bisa menghela napas panjang, menyentuh lehernya yang masih berdenyut nyeri. "Astaga… ini pertama kalinya aku kena gigitan gara-gara usil."
Namun, tak lama kemudian, senyum kecil terukir di bibirnya. "Ternyata, menggoda bocah itu cukup menghibur juga."
Aylin berlari ke kamar sebelah, membanting pintu, dan buru-buru menguncinya. Napasnya tersengal, pipinya panas karena marah dan panik.
"Brengsek! Gila! Dasar pria mesum!" gerutunya, benar-benar merasa kesal pada suaminya.
Di kamar sebelah, Akay tertawa kecil, menggelengkan kepala. "Dasar bocah. Padahal aku cuma pura-pura."
Tapi, wajahnya masih menyisakan smirk jail. Ia memang menikmati melihat Aylin kalang kabut seperti itu. Meski lehernya harus menjadi korban gigitan.
Akay menghela napas panjang, menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, menatap langit-langit kamar.
Ia masih sulit percaya bahwa dirinya kini telah menikah. Dan lebih anehnya lagi, pernikahan itu terjadi begitu cepat. Bukan dengan seseorang yang sudah lama ia kenal, apalagi dengan wanita yang ia cintai—tetapi dengan seorang gadis yang bahkan baru ia temui beberapa menit sebelum akad.
"Gila."
Ia menghela napas, satu lengannya bertumpu di dahi, mencoba mengurai segala hal yang terjadi begitu cepat.
Sebelumnya Akay tidak pernah benar-benar peduli dengan detail pernikahannya. Baginya, pernikahan ini hanya sebuah konsekuensi dari permintaan Nenek Ros, dan ia tidak punya alasan kuat untuk menolak. Lagipula, untuk apa ia mempertanyakan sesuatu yang sudah terjadi?
Akay tertawa pelan, tawa ironi. "Aku tak menyangka akan menikah dengan gadis SMA."
Ia tidak pernah bertanya lebih jauh tentang Aylin—tentang apakah dia masih sekolah atau tidak, tentang bagaimana perasaannya terhadap pernikahan ini, atau bahkan tentang kehidupannya sebelum mereka bertemu.
Dalam pikirannya, jika keluarga gadis itu tidak keberatan menikahkannya, maka itu berarti dia sudah cukup dewasa untuk menikah. Kalau pun dia masih sekolah saat itu, pasti usianya sudah mendekati legal. Kalau tidak, mana mungkin pernikahan ini bisa terjadi tanpa keberatan?
Logikanya sederhana. Kalau memang tidak sah atau ada yang salah, pasti dari awal sudah ada yang menentang, 'kan?
Namun sekarang, setelah pernikahan ini benar-benar terjadi, setelah mereka tinggal bersama sebagai suami-istri... apakah hal itu masih penting?
Akay bukan tipe pria yang suka memusingkan masa lalu atau hal-hal yang tak bisa diubah. Yang jelas, Aylin sekarang adalah istrinya. Terlepas dari bagaimana mereka terikat dalam hubungan ini, mereka sudah menikah—dan itu adalah kenyataan yang tak bisa dihindari.
Namun, satu hal yang masih mengganjal di benaknya...
"Aku bahkan belum memberi tahu orang tuaku tentang pernikahan ini."
Pikirannya melayang ke rumah. Bagaimana reaksi mereka nanti? Akay tidak terlalu terbuka pada keluarganya, tetapi pernikahan adalah hal besar. Dan mereka sama sekali belum tahu.
"Mau sampai kapan aku menyembunyikan ini?"
Menghela napas, Akay menutup matanya, mencoba mengabaikan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Namun, semakin ia mencoba tidak peduli, semakin pikirannya dipenuhi oleh sosok Aylin. Gadis kecil yang selalu menantangnya, yang selalu punya cara membuatnya kesal—tetapi entah kenapa, keberadaannya juga membuat Akay merasa... berbeda.
"Sial."
Ia mendecak pelan, lalu berbalik menghadap sisi ranjang yang kosong.
Akay berbaring miring, menatap dinding di hadapannya dengan tatapan iseng.
Ingatan tentang bagaimana wajah istrinya memerah saat ia goda tadi masih begitu jelas di benaknya. Matanya yang membulat, bibirnya yang mengerucut, hingga ekspresi kesalnya yang justru membuatnya tampak semakin menggemaskan.
Perlahan, sudut bibir Akay terangkat.
"Kenapa begitu menyenangkan melihatnya kesal?"
Ia bahkan tidak tahu sejak kapan ia mulai menikmati momen-momen seperti itu. Yang jelas, setiap kali Aylin bereaksi berlebihan atas godaannya, Akay merasa puas. Ada dorongan aneh dalam dirinya untuk terus mengulanginya.
"Apa dia sudah tidur?" gumamnya pelan, pandangannya masih tertuju pada dinding yang membatasi kamar mereka.
Ia membayangkan gadis itu di kamarnya, mungkin tengah meringkuk di balik selimut, atau justru masih sibuk memikirkan perkataan terakhirnya tadi. Akay terkekeh kecil, membayangkan Aylin yang pasti tengah merutuki dirinya sendiri karena terlalu GeEr lalu dijatuhkan lagi olehnya.
"Dasar bocah, mudah sekali terpancing," pikirnya, merasa geli sendiri.
Tangannya terangkat, mengetuk ringan permukaan dinding seolah mencoba mengusik gadis itu. Tapi tentu saja, tak ada respons.
Tatapan jailnya semakin menjadi. Godaannya belum selesai.
Akay duduk, bersandar pada kepala ranjang dengan satu tangan menopang dagu. Haruskah ia mampir sebentar? Sekadar untuk memastikan apakah gadis itu sudah tidur atau masih menggerutu sendirian.
Ia menggeleng sambil tersenyum.
"Sudah malam. Besok saja."
Namun, senyumnya semakin lebar.
Besok... dan besoknya lagi, ia tahu ia tak akan pernah bosan menggoda gadis itu.
Tanpa sadar, bibit-bibit cinta mulai tumbuh di hati yang selama ini enggan tersentuh. Namun, apakah keduanya akan menyadarinya?
...🌟...
...Cinta itu seperti udara, tak terlihat namun selalu ada. Tanpanya, kita tak bisa bernapas, tak bisa hidup sepenuhnya....
...Cinta itu seperti angin, kadang lembut membelai, kadang bergelora membadai....
...Biarkan cinta mengalir seperti udara, tanpa paksaan dan batasan. Ia akan menemukan jalannya sendiri, mengisi setiap ruang dalam hati....
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
ada ketidak sukaan yang Akay rasakan..secara terang²an si Jordi suka sm Aylin