NovelToon NovelToon
Antara Takdir Dan Pilihan

Antara Takdir Dan Pilihan

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Konflik etika
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: syah_naz

"Tolong maafkan aku waktu itu. Aku nggak tahu bakal kayak gini jadinya," ucap Haifa dengan suara pelan, takut menghadapi tatapan tajam Nathan. Matanya menunduk, tak sanggup menatap wajah pemuda di depannya.

Nathan bersandar dengan tatapan tajam yang menusuk. "Kenapa lo besoknya nggak jenguk gue? Gue sakit, dan lo nggak ada jenguk sama sekali setelah hari itu," ucapnya dingin, membuat Haifa semakin gugup.

Haifa menelan ludah, tangannya meremas ujung pasmina cokelat yang dikenakannya. "Plis maafkan aku... aku waktu itu lagi di luar kota. Aku beneran mau jenguk kamu ke rumah sakit setelah itu, tapi... kamunya udah nggak ada di sana," jawabnya dengan suara gemetar, penuh rasa bersalah.

mau kisah selengkapnya? ayo buruan bacaa!!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

perubahan sikap Gus zayn

Setelah sampai di rumah, Haifa masuk ke kamar dengan wajah cemberut. Ia melemparkan sepatunya sembarangan dan menghempaskan tubuh ke atas kasur.

“Ngeselin banget tuh orang! Mood orang dipermainkan seenaknya,” gumamnya dengan kesal, mengingat kejadian di kafe barusan.

---

Keesokan harinya, Haifa berkunjung ke pondok pesantren putri untuk memenuhi undangan Ummi Zainab. Ia akan mengisi seminar kajian kitab hadis, sesuatu yang selalu membuat hatinya merasa tenang.

"Assalamu'alaikum, Mi," ucap Haifa sambil tersenyum hangat.

"Wa’alaikumussalam, Haifa sayang. Masuk, ayo. Santri-santri sudah menunggu,” jawab Ummi Zainab penuh kehangatan.

Setelah seminar selesai, Haifa berpamitan. "Assalamu'alaikum, Mi. Haifa pamit dulu, ya."

Namun, Ummi Zainab menahannya. “Ya Allah, Haifa, nggak mau nginep aja? Kebetulan masih ada kamar kosong.”

Haifa tersenyum sopan. “Wah, makasih banyak, Mi, tapi Haifa nggak bawa apa-apa.”

Ali, anak bungsu Ummi Zainab dan adik dari Gus Zayn, tiba-tiba ikut menyela. “Nginep aja, Kak Haifa! Satu malam aja. Nanti pulangnya biar Ali yang anterin Kak Haifa.”

“Betul tuh, Haifa. Lagipula tadi siang kamu capek habis seminar. Nginep aja, ya?” bujuk Ummi Zainab lembut.

Haifa akhirnya mengangguk. “Baiklah, kalau begitu. Haifa nginep, Mi.”

Wajah Ali berseri-seri. “Ayo, Kak Haifa, Ali anterin ke kamar!”

Setelah sampai di kamar, Haifa membersihkan diri, lalu menunaikan salat Isya dengan khusyuk. Malam itu terasa begitu tenang hingga akhirnya, sekitar pukul dua dini hari, Haifa terbangun karena merasa haus. Dengan langkah pelan, ia keluar menuju dapur.

Saat sedang menuangkan air ke gelas, ia merasakan ada seseorang yang mengawasinya. Ketika berbalik, sosok Gus Zayn berdiri di kegelapan, menatapnya tajam.

“Ah!” Haifa hampir menjatuhkan gelasnya. Tubuhnya kehilangan keseimbangan, tetapi dengan sigap Zayn menangkapnya. Kedekatan mereka hanya sesaat, tetapi cukup untuk membuat jantung Haifa berdegup kencang.

“Maaf, Gus...” ucap Haifa pelan, suaranya bergetar.

Zayn menatapnya dalam diam, lalu menjawab singkat, “Hati-hati.”

Haifa menunduk dan buru-buru melangkah pergi. “Permisi,” katanya dengan suara yang nyaris tak terdengar.

“Tunggu,” panggil Zayn tiba-tiba.

Langkah Haifa terhenti. Ia membalikkan tubuhnya perlahan, tangannya yang memegang gelas masih sedikit bergetar.

“Aku melihatmu kemarin di kafe,” ucap Zayn, nadanya datar tetapi tegas.

Haifa terkejut. “K-kafe?”

“Kamu duduk sendirian, lalu Nathan menghampirimu,” lanjut Zayn. “Kamu kenal dia?”

Haifa menelan ludah, mencoba menguasai dirinya. “I-iya... Aku kenal. Gus kenal juga?” tanyanya, berusaha mengalihkan perhatian.

Zayn mengangguk pelan. “Dia teman lamaku. Setelah fokus ngelola pondok, aku jarang nongkrong sama mereka.” Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Ngomong-ngomong, jangan panggil aku Gus. Panggil saja Zayn.”

Pernyataan itu membuat Haifa bingung. Wajahnya memerah, tetapi ia tak berani menatap Zayn langsung. “Eh... baik, Zayn,” jawabnya pelan.

Zayn tersenyum tipis, lalu melangkah mendekat. “Hati-hati kalau dekat Nathan. Dia baik, tapi terlalu suka bermain-main. Jangan sampai kamu tersakiti.”

Haifa hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Sorot mata Zayn yang penuh perhatian membuatnya merasa aneh, seolah ada pesan tersembunyi di balik kata-kata itu.

“Jaga dirimu, Haifa,” ucap Zayn sebelum berbalik pergi, meninggalkan Haifa yang masih mematung di tempat.

Malam itu, Haifa kembali ke kamar dengan pikiran yang penuh. Kata-kata Zayn terus terngiang, membuatnya bertanya-tanya. "Kenapa dia peduli? Apa maksudnya Nathan suka bermain-main?" batinnya. Tapi di sudut hatinya, ada sesuatu yang mulai menggugah... sebuah rasa yang tak bisa ia pahami.

......................

Saat waktu Subuh tiba, Haifa bangun dengan semangat. Ia segera menunaikan salat Subuh dengan khusyuk, lalu melanjutkannya dengan membaca Al-Qur'an di sudut kamar. Suaranya yang lembut melantunkan ayat-ayat suci menciptakan suasana tenang dan damai.

Waktu berlalu hingga pukul setengah enam pagi. Haifa menutup Al-Qur'annya dengan penuh rasa syukur, lalu merapikan tempat tidurnya sebelum keluar dari kamar. Saat ia berjalan menuju dapur, suara panci beradu dengan spatula terdengar. Haifa mendapati Ummi Zainab sedang memasak di sana.

"Assalamu'alaikum, Mi. Lagi masak apa pagi-pagi begini?" tanya Haifa sambil tersenyum hangat.

"Wa'alaikumussalam, Haifa. Ummi lagi masak sarapan untuk kita semua. Kamu udah bangun? Pasti masih capek, kan?" balas Ummi Zainab sambil memotong sayuran.

Haifa menggeleng dan mendekat. "Nggak, Mi. Haifa malah pengen bantuin Ummi. Biar lebih cepat selesai."

Ummi Zainab tersenyum lembut. "Ya Allah, baik sekali kamu, Haifa. Kalau begitu, tolong potong bawang merah ini, ya."

Dengan cekatan, Haifa membantu memotong bawang merah, lalu menyiapkan bahan lainnya. Kebersamaan mereka di dapur penuh kehangatan. Ummi Zainab sesekali bercerita tentang masa kecil Ali dan Zayn, membuat Haifa tersenyum kecil membayangkan dua bersaudara itu.

"Ali itu dari kecil memang suka jahil, tapi Zayn selalu jadi pelindungnya," cerita Ummi Zainab dengan nada penuh kasih. "Meskipun kadang mereka berdua juga nggak akur."

Haifa tersenyum mendengar cerita itu, tetapi tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Dalam hati ia bertanya-tanya, seperti apa sebenarnya sosok Zayn di luar perannya sebagai seorang Gus.

Tak lama kemudian, Ali muncul dengan wajah masih sedikit mengantuk. "Pagi, Kak Haifa. Wah, Kak Haifa bantu masak juga?" tanyanya dengan semangat.

Haifa tertawa kecil. "Iya, Ali. Biar cepet selesai."

Suasana pagi di pondok terasa begitu hangat. Meski sederhana, momen kebersamaan itu meninggalkan kesan mendalam di hati Haifa. Ada sesuatu yang ia rasakan, seolah pondok ini bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga rumah yang penuh kasih sayang.

Setelah selesai sarapan, Haifa bersiap-siap untuk pulang dan menuju kampus. Ali, yang sudah menanti-nanti momen ini, dengan penuh percaya diri berkata, “Ayo, Kak! Ali anterin ke kampus!”

Namun, sebelum Haifa sempat menjawab, tiba-tiba Gus Zayn muncul dari belakang dan menarik kerah baju Ali. “Idih, bocil FF, sok banget lo,” ucap Zayn santai, sambil berjalan melewati mereka.

Ali langsung cemberut, “Kak Zayn ini kenapa sih?” gumamnya kesal.

Tanpa memperdulikan protes adiknya, Zayn menoleh ke Haifa dan berkata dengan nada ringan, “Ayo ke kampus bareng. Lebih aman kalau aku yang anter.”

Haifa menatap Zayn dengan kaget. “Ke kampus bareng? Serius, Gus?” tanyanya tak percaya.

Zayn mengangguk. “Iya, kata Ummi, kita satu kampus. Betul, kan, Mi?” ucapnya sambil menoleh ke arah Ummi Zainab.

Ummi Zainab tersenyum penuh arti. “Betul, Haifa. Zayn juga kuliah di sana, jadi kalian bisa bareng. Aman dan nyaman.”

Ali yang merasa rencananya digagalkan langsung protes. “Idihhh, dasar Kak Zayn modus!” ucapnya dengan nada kesal, lalu melipat tangannya.

Gus Zayn hanya tertawa kecil sambil mengacak rambut Ali. “Sini belajar dulu cara jadi pengantar yang baik, bocil.”

Haifa tersenyum canggung, bingung dengan interaksi kakak-beradik itu. “Tapi… nggak merepotkan, Gus?”

“Sudah kubilang, jangan panggil aku Gus. Panggil Zayn aja. Dan enggak, ini nggak merepotkan. Ayo, kita berangkat sekarang,” jawab Zayn dengan santai.

Ali hanya mendengus kesal sambil memandang punggung Zayn yang mulai berjalan keluar. “Dasar modusnya kebangetan…” gumamnya pelan, yang membuat Haifa hampir tertawa.

Akhirnya, Haifa mengikuti Zayn ke mobilnya. Perjalanan ke kampus pun dimulai, dengan suasana canggung tapi penuh tanya dalam hati Haifa. "Kenapa Zayn mendadak perhatian seperti ini?" batinnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!