NovelToon NovelToon
No Khalwat Until Akad

No Khalwat Until Akad

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Spiritual / Beda Usia
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: idrianiiin

Nikah itu bukan penyelamat hidup, tapi pergantian fase. Dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Bukan pula sebagai ajang pelarian agar terbebas dari masalah, justru dengan menikah trouble yang dihadapi akan semakin kompleks lagi.

Tujuan pernikahan itu harus jelas dan terarah, agar menjalaninya terasa mudah. Jangan sampai menikah hanya karena desakan orang tua, dikejar usia, atau bahkan ingin dicukupi finansialnya.

Ibadah sepanjang masa, itulah pernikahan. Diharapkan bisa sekali seumur hidup, tidak karam di pengadilan, dan berakhir indah di surga impian. Terdengar sederhana memang, tapi pada prakteknya tidak semudah yang diucapkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

11-Nyata Adanya

SATU hal yang baru kuketahui, Bang Fariz ternyata sangat royal dan tidak terlalu perhitungan pada setiap pengeluaran, jika bersangkutan dengan Mama. Semua kebutuhan beliau dicukupi, apa pun yang Mama inginkan dipenuhi.

Aku cukup sadar diri, dan berusaha untuk tak iri hati. Memang sudah sewajarnya seperti itu, terlebih kalau mengingat masa-masa sulit yang telah mereka lalui. Mama sangat berhak mendapatkan itu semua.

Menyaksikan secara langsung bagaimana Bang Fariz merawat Mama membuat hatiku menghangat, dia benar-benar menyisihkan banyak waktu luang untuk Mama. Terlebih di hari libur seperti sekarang, tadi pagi pun Bang Fariz bergerak cepat mencari sarapan untuk Mama.

"Kita makan siang di luar yah, aku tahu kamu pasti suntuk dan bosan karena merawat dan menjaga Mama selama seminggu ini," cetus Bang Fariz.

Aku menggeleng pelan. "Gak usah," tolakku cepat.

Pengeluaran Bang Fariz pasti sudah membengkak, sebab semenjak Mama tinggal di rumah kami. Bang Fariz selalu membeli makanan di luar, entah itu untuk sarapan ataupun makan malam. Belum lagi hal-hal lain untuk mencukupi kebutuhan Mama.

Jangan lupakan juga upah untuk Bi Sri karena setiap hari harus merapikan dan membersihkan rumah. Bang Fariz memintaku untuk fokus menjaga dan merawat ibunya, maka dari itu aku lepas tangan atas pekerjaan rumah, termasuk libur memasak. Paling kegiatanku diisi dengan menuntaskan orderan para kostumer.

"Kamu butuh penyegaran, Nak. Jangan cuma ajak makan doang, nonton, atau belanja, kan bisa, Riz," timpal Mama.

Mana mungkin seorang Fariz Alfarizi yang terkenal pelit dan perhitungan sudi untuk membuang-buang uangnya hanya untuk hal-hal yang tidak penting. Rasanya tidak mungkin. Permintaan Mama terlalu mustahil untuk Bang Fariz realisasikan.

"Mama sudah sehat, bisa ditinggal. Besok juga Mama mau pulang ke rumah. Gak enak ngerepotin kalian terlalu lama," sambungnya seraya tersenyum lebar.

"Gak usah pulang, ini juga rumah Mama. Tinggal di sini aja yah," bujukku sembari menggenggam tangannya.

Beliau menggeleng, tangannya mengelus pipiku dengan sangat lembut. "Makasih karena kamu sudah mau merawat Mama. In syaa allah Mama akan selalu baik-baik saja. Kamu gak perlu khawatir."

Kupegang tangan beliau dan kugenggam setelahnya. "Itu memang sudah menjadi kewajiban aku sebagai anak, Ma. Gak usah bilang makasih terus."

"Kalau Mama sudah memutuskan, gak ada satu pun yang bisa melarang. Mama itu keras kepala."

Aku menoleh ke samping di mana suara Bang Fariz berasal.

Mama terkekeh pelan lalu berujar, "Sama, kamu juga. Kita satu gen kalau kamu lupa."

Aku hanya bisa geleng-geleng melihat interaksi di antara sepasang ibu dan anak ini.

"Kalau ada apa-apa Mama langsung hubungi Fariz, jangan sampai kayak waktu itu. Rutin cek gula darahnya, obat sama insulin juga jangan lupa. Bi Sri harus standby 24 jam di samping Mama. Harus ada laporan ke Fariz, gak boleh sampai kelewat," tutur Bang Fariz panjang lebar.

Mama memberi hormat. "Siap, Komandan!"

Aku tertawa dibuatnya, terlebih melihat ekspresi Mama yang begitu tunduk patuh pada sang putra. Ada-ada saja beliau ini.

"Ya udah sana kalian pergi jalan-jalan. Pacaran dulu, mumpung pas, malam mingguan," titah beliau.

Bang Fariz bangkit dari duduknya. "Ayo!"

"Bang Fariz serius? Gak sayang sama uangnya?"

Tanpa rasa malu Bang Fariz mengacak puncak kepalaku. "Abang lebih sayang sama kamu, daripada sama uang."

"Nah bagus ada perubahan. Palakin aja sekalian," cetus Mama ikut menimpali.

"Gak pake gopean, kan bayarnya?" tanyaku memastikan.

Secara spontan Mama tertawa terpingkal-pingkal. Bahkan, Bang Fariz pun tersenyum samar.

"Nih pegang, beli apa pun yang kamu mau dan butuhkan," katanya seraya menyerahkan sebuah kartu ATM.

Alisku terangkat satu. "Paling juga itu ATM gak ada isinya, kan? Mana mungkin Bang Fariz ngasih aku begituan dengan cuma-cuma. Mustahil."

"Cek sendiri kalau gak percaya," cetus Bang Fariz kini beralih menyerahkan ponselnya.

Aku menyerahkan dua benda itu. "Aku takut kalau Bang Fariz kayak gini. Abang sehat, kan?"

Suara tertawa Mama terdengar begitu kencang dan menggelegar. "Makannya jangan pelit-pelit kalau sama istri. Jadi ketakutan, kan istri kamu. Dikira Kirania kamu sawan dan kerasukan kali."

"Mama rusuh banget, puas banget lagi ketawanya," sembur Bang Fariz.

"Lah kok jadi nyalahin Mama. Harusnya kamu yang introspeksi diri, Fariz."

Bang Fariz tak menjawab, tapi dengkusan pelannya cukup menandakan bahwa dia tidak suka atas perkataan sang ibu.

Mama bangkit dari duduknya, menarik tanganku dan meletakan sebuah black card di sana. "Simpan dan gunakan dengan bijak. Mulai sekarang ini milik kamu."

Aku menggeleng kuat dan kembali menyerahkannya pada beliau. "Mama sama Bang Fariz kenapa sih? Aku gak buat salah apa-apa, kan sama kalian?"

Jujur saja aku takut sekaligus shock atas apa yang baru saja terjadi. Ini benar-benar aneh, dan aku tak mengerti apa penyebabnya. Aku merasa tidak membuat sebuah kesalahan yang fatal dan besar. Jadi, mereka tak usah menghukumku dengan cara seperti ini.

Mama malah terkekeh lantas berujar, "Dikasih black card nolak. Emang limited edition istri kamu, Riz."

"Langka dan cuma satu-satunya," timpal Bang Fariz.

Aku sudah seperti orang linglung yang dilanda kebingungan. Benar-benar tak bisa berpikir jernih, kepalaku pun rasanya mendadak pusing. Seperti ada burung-burung yang mengelilingi. Tubuhku limbung, bahkan kegelapan pun seketika melanda.

"KIRANIA! KIRANIA! KIRANIA!" Samar-samar aku mendengar seseorang yang memanggilku.

Mataku seketika terbuka dengan lebar, langsung disuguhi pemandangan Bang Fariz yang tengah bersidekap dada seraya menyenderkan tubuhnya ke dinding. Menatapku dengan tatapan tidak terbaca.

"Gak baik tidur setelah ashar. Mimpi apa kamu, sampai kayak orang linglung gitu?" tanya Bang Fariz.

Sontak aku pun meraup wajah kasar dan berulang kali mengucap istighfar. Astagfirullahaladzim. Ternyata aku hanya mimpi.

"Minum dulu," titah Bang Fariz seraya menyerahkan segelas air putih.

Aku langsung menandaskannya. Napasku masih belum teratur, bahkan detak jantungku pun berdetak dengan begitu cepat. Kurapatkan mata beberapa saat, berharap ketenangan akan segera hinggap.

"Sebentar lagi magrib, bersih-bersih dulu biar segeran. Abang mau siap-siap ke masjid. Awas jangan tidur lagi," ungkap Bang Fariz setelah menerima gelas kosong yang aku sodorkan.

Aku menahan tangannya agar kembali duduk di sisiku. "Uang koin Abang masih banyak, kan?"

Kening Bang Fariz terlipat, bahkan satu alisnya terangkat. "Bangun tidur yang ditanyain uang. Kamu kenapa, Kirania?"

Aku tak menjawab, tapi malah memeluknya dengan sangat erat. Tubuh Bang Fariz mendadak kaku, tapi detik berikutnya aku merasakan pelukan hangat yang dia berikan.

"Kamu kenapa, hm?" tanyanya sembari memegang kedua pipiku agar melihat ke arahnya.

Aku hanya menggeleng dan kembali melesakkan kepala di dada bidang Bang Fariz. Hatiku benar-benar kacau, mimpi tadi terasa sangat nyata.

"Kamu kenapa sih?" gumamnya yang masih bisa kudengar dengan jelas. Dengan lembut Bang Fariz mengelus-elus rambutku.

1
aca
lanjut thor
aca
cerai aja klo masih pelit dasar bangsa t
aca
novelmu bagus kok like dikit bgt
aca
mending g usa lanjut mertua matre istri dokter g ada uang nya gk guna
aca
reza ngerepotin orag tua aja lo
aca
bodoh cerai aja punya suami gt
Novie Achadini
nggak usah nyesel fatiz bp jahat kaya gitu biar aja mati
Novie Achadini
yg sabar ya neng org sabar padti kesel
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!