Kisah cinta seorang pria bernama Tama yang baru saja pindah sekolah dari Jakarta ke Bandung.
Di sekolah baru, Tama tidak sengaja jatuh cinta dengan perempuan cantik bernama Husna yang merupakan teman sekelasnya.
Husna sebenarnya sudah memiliki kekasih yaitu Frian seorang guru olahraga muda dan merupakan anak kepala yayasan di sekolah tersebut.
Sebenarnya Husna tak pernah mencintai Frian, karena sebuah perjanjian Husna harus menerima Frian sebagai kekasihnya.
Husna sempat membuka hatinya kepada Frian karena merasa tak ada pilihan lain, tapi perlahan niatnya itu memudar setelah mengenal Tama lebih dekat lagi dan hubungan mereka bertiga menjadi konflik yang sangat panjang.
Agar tidak penasaran, yuk mari ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tresna Agung Gumelar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Akhirnya, Husna dan Tama sampai di rumah pukul sembilan malam.
Saat mobil sudah terparkir di depan rumah Husna, keadaan sempat hening karena Husna melihat bapaknya sedang berada di teras rumah seperti sengaja menunggu anaknya pulang.
"Mati aku!" Ucap Husna yang panik sambil menepuk jidatnya.
"Kenapa?" Tama yang heran sambil melihat ke arah rumah.
"Bapak kayanya tahu kalau aku sedang jalan sama kamu Tam. Nggak biasanya malam-malam gini dia diem di teras rumah." Jawab Husna yang mulai pasrah.
"Memang kenapa sih kalau bapak kamu tahu? Lagian bagus dong aku jadinya bisa sekalian kenal sama beliau." Tama yang tidak mengerti malah ingin berkenalan dengan sosok bapaknya Husna.
"Ah kamu. Susah ah aku ngejelasinnya. Mending habis aku turun dari mobil, kamu langsung cabut ya! Biar aku yang di marahin nggak papa." Husna malah menyuruh Tama untuk langsung pulang, karena dia takut Tama dimarahi terus tidak boleh menemuinya lagi di rumah.
"Nggak, aku yang ngajak kamu main keluar, jadi aku juga yang harus mengantar dan mengembalikan kamu ke orangtua mu. Ayo turun!" Dengan tegas, Tama menyuruh Husna untuk turun dan menemui orangtuanya bersama-sama.
Setelah turun dari mobil, Husna yang ketakutan hanya bisa pasrah sambil berjalan menunduk berada di belakang Tama.
Setelah berhadapan dengan bapaknya di teras rumah, Tama langsung mencoba untuk menyapa.
"Malam pak!" Sapa Tama sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman.
"Heh, disuruh siapa kamu bawa anak saya main keluar?" Tangan Tama yang di sodorkan langsung di tangkis oleh bapaknya Husna kemudian bertanya dengan nada tegas.
"Pak!" Husna mencoba menjawab.
"Diam kamu! Bapak nanya sama dia bukan sama kamu." Bapaknya langsung membentak ketika Husna hendak berbicara.
"Em, tadi aku udah izin kok pak sama ibu, maaf ya aku belum sempat izin tadi sama bapak." Tama mencoba tenang sambil menjelaskan.
"Udah berani juga ibu kamu bohongin bapak. Kamu juga Husna bapak kan sudah bilang berkali-kali jangan pernah main dengan laki-laki lain selain Frian." Bentak bapaknya yang semakin menjadi-jadi marah di depan Tama.
"Udah Pak udah, Husna sama ibu nggak salah, aku yang salah nggak minta izin dulu tadi sama bapak. Kalau mau marah, marahin aku aja Pak jangan marahin ibu sama Husna." Permintaan maaf Tama yang tak tega melihat Husna dimarahi seperti itu didepannya.
"Husna, sekarang kamu masuk! Biarkan bapak bicara dulu sama anak ini. Ayo cepetan masuk!" Husna kembali di bentak dan diperintahkan untuk masuk ke dalam rumah. Tapi Husna sempat melihat ke arah Tama sebelum masuk dengan wajah yang sangat khawatir.
"Nggak papa Husna, kamu masuk saja ya! Aku nggak papa ko tenang saja." Ucap Tama sambil sedikit senyum ke arah Husna agar Husna tak merasa khawatir kepadanya.
Setelah Husna masuk ke dalam rumah, Bapaknya pun langsung menyeret Tama ke arah depan sampai tepat berada di samping mobil. Sementara di dalam rumah, Husna langsung berpegangan tangan dengan ibunya karena ibunya sedang berada di balik jendela depan.
"Saya ingatkan sama kamu ya, jangan pernah menginjakkan kaki kamu lagi di rumah ini. Kamu juga jangan pernah bermimpi untuk mendapatkan anak saya. Sekarang kamu pulang dan jangan pernah mendekati anak saya lagi!" Tama di maki-maki oleh bapaknya Husna kemudian disuruh untuk segera pulang, tapi Tama masih tenang dan menahan emosinya.
"Bapak boleh maki-maki saya sepuas bapak, saya juga akan coba menuruti kemauan bapak yang barusan bapak bilang, tapi sebelum saya pergi, saya mohon sama bapak, jangan pernah kasar sama Husna! Kasihan dia pak, dia itu anak yang baik dan penurut, bahkan dia rela menyerahkan dirinya untuk menyelesaikan masalah di keluarga bapak."
Plak..
Tamparan keras langsung bersandar di pipi Tama.
"Tahu apa kamu tentang masalah di keluarga saya? Saya peringatkan ya jangan pernah sedikit pun mencampuri urusan Keluarga saya!" Tama kembali di peringatkan sangat serius oleh bapaknya Husna dengan wajah yang sangat menyeramkan.
Tama hanya bisa diam sambil memegang pipinya yang kesakitan. Kemudian dia pergi dan masuk ke dalam mobil, karena merasa percuma bila dia meladeni bapaknya Husna untuk saat ini.
Di dalam mobil Tama terus saja mengelus-elus pipinya karena tamparan tadi begitu keras. Tapi dia masih mencoba menahan emosi sambil menyalakan mesin mobil.
"Sepertinya aku harus benar-benar tahu tentang masalah mereka yang sebenarnya, aku benar-benar nggak rela melihat Husna menderita. Aku ingin Husna baik-baik saja tanpa sebuah paksaan apapun." Gumam Tama dalam hatinya sambil melajukan mobil dengan sangat cepat.
Suasana di dalam rumah setelah Tama pergi.
"Kalian sudah berani berbohong ya sama bapak?" Amarah bapaknya Husna tak berhenti kini ibu dan Husna yang menjadi sasaran.
"Udah Pak udah, ibu yang salah bukan Husna. Kalau mau marah ayo silahkan marahin ibu. Tampar ibu, pukul ibu sesuka hati bapak, jangan pernah menyakiti anakku!" Ucap ibu yang langsung melindungi Husna menjadi tameng di depan tubuh Husna.
"Argghhh. Kenapa sih kalian ini nggak pernah bisa mengerti? Bapak melakukan ini untuk kalian berdua, coba bayangkan bila Frian atau orang tuanya tahu. Kalian mau tinggal dimana? Rumah ini pasti langsung mereka sita." Bapak meradang sambil mengacak-acak rambutnya dengan wajah bercampur sedih.
"Itu kan karena kesalahanmu waktu dulu. Coba saja kamu tak pernah meminjam uang kepada si Teddy rentenir busuk itu, pasti semuanya tak akan jadi seperti ini." Ibu membalikkan penjelasan bapak sambil berteriak.
"Bapak meminjam uang bukan tanpa alasan. Semua itu demi kesembuhan kamu, tahu sendiri kan kamu biaya yang harus dikeluarkan berapa untuk biaya operasi kamu waktu itu. Tahu kan?" Bapak yang tak mau kalah langsung kembali lagi membalikkan perkataan sambil menunjuk ibu.
"Oke uang itu memang untuk kesembuhan ku. Tapi kalau pada akhirnya aku jadi benalu untuk kamu, sekarang bunuh saja aku. Aku yang salah, aku yang sudah membuat masalah ini muncul. Harusnya waktu itu aku mati nggak usah sembuh lagi." Ibu kembali teriak sambil menyesali dirinya sendiri.
"Sudah Pak, Bu sudaaaaah!" Husna yang sudah capek melihat orangtuanya saling menyalahkan, dia langsung berteriak melerai berada di tengah-tengah mereka.
Suasana pun hening sejenak.
"Kalau memang aku yang harus jadi jaminannya, sekarang aku siap dan aku bersedia. Aku nggak mau melihat ibu sama bapak berantem terus-menerus dengan masalah ini. Aku capek Bu, Pak, aku capek!" Ucap Husna sambil menangis dengan suara keras.
"Enggak sayang enggak, sampai kapanpun ibu tak akan sudi menyerahkan anak gadis ibu satu-satunya. Kamu sama sekali tak berhak masuk dalam masalah ini. Ayo sayang kita masuk! Mulai sekarang jangan pernah dengerin omongan bapakmu." Ibu mengajak Husna masuk ke dalam kamarnya.
"Hei. Enak sekali ya kamu ngomong Bu, terus mau di bayar pake apa hutang-hutangku itu?" Teriak bapak yang melihat ibu dan Husna beranjak menuju kamar Husna.
"Harusnya kamu mikir harus bayar pake apa, kamu itu kepala keluarga. Aku mau bicara denganmu kalau kepalamu sudah dingin, inget ya pak, semua masalah itu kalau kita berusaha pasti ada jalan keluarnya, kamu itu terlalu gegabah dan selalu menghadapinya dengan emosi, sampai-sampai kamu mau mengorbankan anak gadismu sendiri yang tak bersalah sama sekali." Ibu berkata sambil menunjuk ke arah bapak di depan pintu kamar.
Bapak pun langsung terdiam mendengar ucapan dari ibu. Dia sempat menyesali apa yang sudah dia lakukan kepada Husna.
Bapak langsung menjatuhkan tubuhnya di atas sofa lalu melamun semakin menyesali semuanya.
Flashback satu tahun yang lalu.
Husna dan bapak kini sedang berada di rumah pak Teddy seorang juragan yang sangat di pandang di kampung. Teddy ini mempunyai usaha perkebunan, peternakan dan juga mempunyai yayasan sekolah yang lumayan terkenal di daerah tersebut.
Maksud kedatangan bapak dan Husna adalah untuk meminjam uang yang cukup besar karena saat ini ibu sedang di rawat di rumah sakit dan harus segera melakukan operasi esok hari.
Husna menunggu di ruang tengah, sementara bapak berada di ruangan khusus di ruang kerja pribadi Teddy. Ada Frian juga di dalam yang baru saja masuk setelah berpapasan dengan Husna di tengah rumah.
"Jadi berapa uang yang pak Kamal butuhkan untuk biaya operasi istrinya?" Tanya Teddy sambil mengeluarkan koper yang berisi uang.
"Em, 120 juta juragan, besok pagi istri saya harus segera di operasi." Jawab Kamal yang tidak lain adalah nama bapaknya Husna dengan nada bergetar karena sangat khawatir dengan keadaan istrinya di rumah sakit.
"Besar juga ya? Mohon maaf nih sebelumnya, bukannya saya tidak percaya, jaminan apa yang bisa bapak kasih ke saya agar kita sama-sama enak nanti kedepannya." Ucap Teddy sedikit ragu kepada Kamal.
"Ini ada sertifikat rumah saya juragan. Juragan pasti sudah tahu kan rumah saya yang ada di kampung seberang sana?" Kamal berbicara sambil menyerahkan sertifikat rumahnya.
Saat Kamal menyerahkan sertifikat, Teddy dan Frian langsung tersenyum seperti sedikit meledek.
"Pak Kamal pak Kamal, rumah itu kalau di jual paling juga laku 50 juta pak, sedangkan bapak meminjam lebih dari dua kali lipat dari harga rumah itu." Ucap Teddy sambil sedikit tertawa bersama Frian.
"Em, tapi yang saya punya hanya rumah itu, tolong ya juragan saya sangat perlu uang itu malam ini juga. Saya janji pasti berusaha kok untuk mengembalikan uang itu." Kamal memohon dengan wajah memelas.
"Eh pak, itu di depan anaknya bapak?" Frian tiba-tiba bertanya tentang Husna kepada Kamal.
"Iya Den itu anak saya. Kenapa memang?" Kamal bertanya sambil melihat ke arah pintu keluar membayangkan keberadaan anaknya di luar sedang apa.
"Maaf ya pak Kamal sebelumnya bukannya saya merendahkan, boleh nggak kalau kiranya saya mendekati anak bapak? Kalau masalah uang tenang saja pasti papa kasih ko. Iya kan pah?" Ucap Frian mendelik ke arah papanya sambil mengedip-ngedipkan mata. Papanya pun sedikit mengerti dengan kemauan anaknya.
"Maksudnya gimana ya Den?" Kamal sedikit bingung apa yang dimaksud oleh Frian kepada Husna.
"Tenang pak, saya cuma ingin dekat saja ko dengan anak bapak, saya nggak akan macam-macam saya lelaki baik-baik ko. Saya juga tahu anak bapak, dia kan murid saya juga di sekolah." Frian mencoba meyakinkan Kamal karena sebenarnya dia sudah menyukai Husna sejak lama, tapi Husna selalu cuek kepadanya. Dan kali ini dia jadikan kesempatan agar Husna mau jadi kekasihnya.
"Em, kalau itu memang bisa membuat saya mendapatkan uang itu sekarang, silahkan saja Den, asal anak saya di jaga baik-baik ya. Dia anak yang baik dan dia juga anak saya satu-satunya." Karena dengan tawaran uang, Kamal tanpa ragu menyerahkan anaknya itu untuk jadi kekasih Frian.
"Tapi pak Kamal, sertifikat rumah ini tetap saya tahan ya, ini opsi kedua agar kita sama-sama enak nantinya." Sahut Teddy kepada Kamal sambil menyimpan sertifikat rumah ke dalam laci kerjanya.
"Iya silahkan juragan." Jawab Kamal sambil menganggukkan kepala.
"Oh iya satu lagi, saya ini kan seorang pengusaha, jadi meminjam uang ke saya tetep harus ada bunga ya pak. Bunganya 40% jadi bapak punya hutang ke saya 168 juta." Ucap Teddy sambil memperlihatkan nominal di kalkulatornya.
"Hah? Besar sekali juragan?" Kamal pun kaget mendengar nominal itu.
"Tenang pak Kamal nggak usah kawatir, selama Husna bersama saya nanti, pak Kamal nggak usah mikirin itu. Hutang pak Kamal pun akan baik-baik saja nggak akan papa tagih, iya kan Pah?" Frian menjawab kepanikan Kamal sambil melihat kembali ke arah papanya mengedip-ngedipkan mata.
"Em, ya ya yasudah kalau begitu." Kamal hanya bisa mengiyakan karena di pikirannya saat ini hanyalah kesembuhan istrinya.
Setelah melakukan tanda tangan persetujuan, Kamal pun diberikan uang yang sudah dimasukkan ke dalam amplop sebanyak yang dia perlukan tadi.
"Terimakasih banyak ya Juragan, Den, kalau gitu saya mau langsung pamit karena harus Segera menyelesaikan administrasi di rumah sakit." Sambil berdiri membawa uang itu, Kamal pun berpamitan.
"Jangan lupa pak Kamal nanti langsung bilang ya sama Husna. Terus sampaikan salam hangat saya untuknya." Frian dengan sopan meminta kepada Kamal untuk segera mendekatkan dirinya dengan Husna.
"Baik Den, tenang saja saya pasti langsung bilang malam ini juga sama Husna." Ucap Kamal tersenyum meyakinkan Frian.
Setelah itu Kamal pun pergi dan langsung menemui anaknya di tengah rumah. mereka berdua bahagia karena rencana untuk mendapatkan uang sebanyak itu berhasil.
Flashback off.