Singgasanaku dibuat dari indung mutiara yang dibentuk menyerupai jalinan akar pohon.
Aku menyebutnya rumah, yang lain mengatakan ini penjara. Walau demikian penjaraku dibuat seindah tempat tinggal para dewa, mungkin karena ibu berharap putranya adalah dewa dan bukannya iblis.
Tidak ada pilar atau ruangan-ruangan lain. Hanya ada pohon tunggal yang tumbuh kokoh di halaman singgasanaku. Pohon yang menjadi sumber kehidupanku, kini semakin kehilangan kecemerlangannya. Saat pohon itu meredup lalu padam, aku juga akan sirna.
Sebelum aku menghilang dan dilupakan, akan kuceritakan masa singkat petualanganku sebagai iblis yang menyamar jadi manusia atau barangkali iblis yang berusaha menjadi dewa hingga aku berakhir didalam penjara ibu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Author GG, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hantu Gilda
"Baiklah Hyura, apa yang akan kita lakukan sekarang?"
Rupanya kami tidak pula melakukan apa-apa selain aku memandangi hewan kuning itu sampai pertengahan malam. Apa yang harus kulakukan padanya, apakah ide bagus membiarkannya berkeliaran begitu saja di kamarku? Atau membiarkannya memandangiku saat aku tidur?
"Hyura, jangan salah sangka, aku tidak bermaksud mengusirmu dari kamarku yang sangat kau sukai, tapi aku tidak cukup yakin bisa merawatmu lebih baik ketimbang Ka-Lam. Tidakkah kau ingin kembali ke kamarmu?"
"Oh, ya sudah."
Kubilang padanya, aku akan segera kembali. Sepertinya aku harus mencari Ka-lam untuk meminta sedikit petunjuk atau mengambil kandang Hyura, tapi yang mana kamarnya?
Gilda dalam keadaan sunyi, beberapa bangunan menyala, memancarkan kehidupan, disisi lain terlalu gelap. Burung mengepak, keluar dari pepohonan terbang ke langit. Malam ini bulan sabit menaungi gilda.
Hyura bukan satu-satunya alasan aku keluar, ada hal yang membuatku gelisah, angin membisikkan sesuatu yang tidak kupahami. Kakiku bergerak lebih dulu begitu terdengar gelak tawa dan dengung percakapan dikejauhan.
Sudah selarut ini, siapa?
Ini memanglah gilda yang mana anggota bebas keluar masuk dan barang kali mereka adalah anggota juga tapi instingku mengatakan lain, aku bergerak dikegelapan.
Sekelompok orang telah memasuki gilda dan tidak ada tanda-tanda bahwa satupun terlihat seperti anggota baik-baik. Aku mendarat di hadapan mereka. Orang yang berjalan paling depan merentangkan tangan, mengisyaratkan pada yang lainnya untuk berhenti.
Ada enam pria, yang satu tampak digelayuti dua gadis, dari tampangnya dia mewakili pria bajingan. Sepertinya orang ini pemimpinnya. Kecongkakkan terpampang jelas sekali di wajahnya.
Aku memikirkan Phoenix dan mungkin ada beberapa gadis lain yang tidur di gilda. Aku tidak mengerti kenapa Phoenix tidak memasang penjagaan ketat di pintu, apakah dia tidak pernah memikirkan ancaman semacam ini?
"Kami tidak menerima pengunjung di jam seperti ini," kataku. "Atau bisa perlihatkan kartu anggota kalian tuan-tuan?"
Orang yang tadi merentangkan tangan mendengus. "Kau tidak membiarkan kami lewat?"
"Sayang sekali, kau benar."
"Sialan! Anak iblis, minggir!"
"Tidak!"
Satu dari mereka hilang kesabaran dan menyerang ke arahku, melancarkan serangan yang amat payah, kupelintir lengannya lalu kujitak kepalanya dengan buku-buku jariku. Dia jatuh ke belakang, yang lainnya buru-buru membantunya berdiri.
Aku berlagak mengaduh sambil mengibaskan tanganku. "Sialan, kepalamu sangat keras."
Yang lainnya maju lagi, aku berputar untuk menendang, ujung sepatuku mengenai dagunya. Kendi arak terbang melayang dan segera saja kutangkap.
"Lihat, wah apakah ini?" kugoyangkan isinya dan kuhirup. Aroma arak langsung menusuk hidungku, aku mengernyit. "Aih, apa ini persembahan untukku, eh?"
Mereka menanggapiku dengan menggertakan gigi.
"Aku tidak menerima persembahan seperti ini." Aku menjauhkan kendi itu dari hidungku. "Sudah seratus tahun aku benci arak dan kalian mecoba membawanya ke hadapanku? Amat tidak sopan. Coba kalian bawa manisan kumquat yang sangat disukai istriku."
Salah satu dari mereka berkata, "Beraninya, siapa kau?"
"Siapa aku? Kalian tidak tahu siapa aku heh? Yak, aku hantu di wilayah sini, tidak kah kalian gemetar karena telah berani-beraninya mengusik jiwaku? Jiwaku yang penasaran. Jiwaku yang tidak bisa pergi ke akhirat. Jiwaku senantiasa terikat di sini bersama bunga magnolia kesayangan istriku..."
Aku berdiri menunggu, "Dengarlah wahai tuan-tuan dan nona-nona! Ini adalah kisah seorang pemuda yang tidak dikenal yaitu... Aku!"
Mereka saling bertukar pandang. Mereka tampak skeptis namun penasaran. Aku melanjutkan dengan memasang ekspresi yang berlebihan.
"Aku datang dari desa kecil dengan impian besar! Mimpiku adalah menikahi wanita tercantik di negeri ini. Tapi lihatlah nasibku. Aku hanyalah pemuda miskin yang senantiasa mencuri roti untuk bertahan hidup."
Salah satu dari mereka mengejek. "Kenapa tidak cari pekerjaan saja."
Aku tidak terpengaruh. Kulanjutkan bualanku, mengatur nada suaraku seolah aku sampai di momen paling penting.
"Untungnya aku begitu tampan. Wanita itu terpikat dan mau menikah dan hidup susah denganku yang miskin. Setiap hari kami menjalani kehidupan yang bahagia. Setiap pagi istriku pulang dari pekerjaannya sebagai penari, dan aku selalu menyambutnya dengan penuh cinta di depan gubuk kami yang jelek, namun aku selalu kesal ketika dia tidak membawakanku arak."
"Suatu ketika istriku yang amat cantik tidak pulang... tahukah tuan-tuan sekalian kenapa?" Aku melangkah mendekat mencari-cari jawaban di antara sorot mata mereka yang mulai memasang kembali kewaspadaannya terhadapku.
"Dia pergi dengan pria kaya terhormat setelah memberiku teh... Ah bukan, bukan teh, itu racun, benar sekali, istriku meracuniku."
Aku selesai bercerita. "Bagaimana? Bukankah kisahku begitu tragis dan menyedihkan?"
"Kakak, apa yang harus kita lakukan padanya?"
Orang yang dimaksud mengibaskan tangan. "Habisi pembual ini."
"Nah, sudah habis," kataku, begitu tidak ada yang sanggup lagi berdiri melawanku. Tadi mereka menyerangku keroyokan, tidak butuh waktu lama untuk menumbangkan para pemabuk ini.
Kini tinggal menyisakan dua gadis dan si bajingan yang tadi dipanggil kakak.
"Silahkan yang berikutnya."
"Kurang ajar!" Dia menarik sebilah pedang.
"Apa menurutmu itu adil, heh?" Aku berdecak. "Lihatlah kau membawa benda tajam. Kalau begitu biarkan aku memilih senjataku juga."
"Jangan habisi dia, aku menginginkannya."
"Tutup mulutmu wanita, kau bersamaku malam ini."
"Bagaimana ya, tuan hantu itu lebih tampan daripada kau. Meskipun tuan itu agak gila."
Kini kuselipkan ranting ceri yang tadi jadi senjata di angkinku.
"Kan sudah kuperingatkan jangan mengusik hantu wilayah sini."
Dia bangkit sambil memegangi dada, meludah dan menatapku dengan berang. Dua orang pria yang sudah pulih membantunya berdiri, ketika ketiga pria dan satu wanita itu terburu-buru meninggalkan gilda Phoenix, aku tidak berselera mengejarnya.
"Apa yang harus kulakukan pada kalian, heh?" Aku memandangi tiga perusuh yang tidak sanggup kabur karena pingsan.
Nona ini juga tampaknya tidak baik-baik saja.
"Lihat mereka meninggalkanmu," kataku. "Ayo," aku berusaha membantunya berdiri.
"Kenapa kau tidak temani aku saja?" ocehnya. Dia menarik ikatan tali pakaian luarnya hingga sedikit melorot dan memperlihatkan bahunya. Gambaran wanita di buku Gairah Cinta Sang Kaisar milik si gadis liar. "Bagaimana bisa kau lebih berkilau daripada bulan di atas sana."
"Kau mabuk, sebaiknya istirahat. Aku akan pinjamkan kamarku."
Aku membimbingnya menuju kamarku, dia nyaris oleng ke kolam koi, aku menangkapnya sebelum ia jatuh tercebur.
"Hati-hati," kataku.
Aku mengikat para pria tapi aku tidak sampai hati membiarkan perempuan tidur di luar apalagi membiarkan nona ini bersama tiga berandalan pemabuk itu.
Aku membawanya ke tempat tidurku dan dia melirik buku yang tergeletak disana. "Bukankah kau menginginkanya?"
Kukibaskan lengan untuk menyingkirkan buku itu dari pandangannya sampai buku tersebut jatuh dan tersembunyi. Dia tersenyum dan menarikku lebih dekat, mencengkram pakaianku.
"Kau sudah baca bukunya? Kenapa tidak kita wujudkan seperti apa yang dikatakan buku? Pasti menyenangkan."
"Kau jangan sampai hilang akal, nona."
"Ada begitu banyak dewa, apakah kau salah satunya?"
"Aku akan ambilkan minum."
"Tidak, aku tidak butuh minum, aku..."
Dia menjerit dan melepaskanku. "Iw, singkirkan hewan itu dariku."
"Hyura!"
Hyura melecut-lecutkan ekornya, memandang gadis yang kini telah menaikan kedua kakinya di atas ranjang.
"Ayo, Hyura, kita biarkan nona itu beristirahat."
Hyura merayap ke kakiku sampai menemukan posisi yang pas di bahuku. Aku mengelusnya dan keluar kamar.
Diam diam aku berbisik pada Hyura, mengucapkan terimakasih karena kedatangannya aku terbebas dari nona itu.
"Hyura, sekarang aku tidak ada kamar, apa kau mau kembali ke Lam? Sepertinya aku akan pergi saja ke atap. Eh, apa? Apa kau mau ikut denganku? Baiklah, pegangan yang erat."
Aku melesat, dan mendarat di atap. Malam ini aku harus berjaga dari sini sampai Phoenix memasang keamanan di gerbang, siapa tahu mereka kembali untuk membebaskan kawan-kawannya. Aku memilih bangunan yang tepat mengarah ke pintu gerbang gilda Phoenix tanpa terhalang apapun.
"Apa? Kau namakan ini kencan?" kataku pada Hyura. "Yah, bukankah diatas sini sangat romantis."
masih nyimak