kisah cinta seorang gadis bar-bar yang dilamar seorang ustadz. Masa lalu yang perlahan terkuak dan mengoyak segalanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 11
Sore itu Arga membawa mobilnya membelah jalanan menuju ke rumah Adiba. Pikirannya kalut. Iya masih sangat mencintai Adiba tetapi dia tak berani untuk bertemu kedua orang tua kekasihnya. Setelah ketahuan memiliki wanita lain, dia nekat datang ke rumah Adiba.
"Kenapa jadi ketahuan !! Semuanya kacau!"
Arga memukul setir.
"Adiba, aku mohon, jangan marah. Tolong mengerti aku. Aku masih sangat mencintaimu, tolong maafkan aku."
Arga terus bergumam di dalam mobil. Meruntuki kebodohannya sendiri.
Sesampainya di rumah Adiba ia malah dibuat terkejut. Ada mobil lain di sana ia tahu itu bukan milik salah satu keluarga Adiba. Dengan memberanikan diri, Arga melangkah menapaki teras.
Mendengar suara seorang lelaki asing, hati Arga berdesir.
"Assalamualaikum," ucapnya di depan pintu.
"Waalaikumsalam "suara serempak dari dalam membalas.
Pak Mus yang berdiri lebih dulu berjalan di ambang pintu.
"Nyari siapa mas?"
"Adiba nya ada, pak? " tanya Arga sopan.
"Temannya Adiba?"
"Saya Arga, pak." Arga mengulurkan tangan, memperkenalkan diri."Pacarnya Adiba."
Pak Mus menatap datar, meski ia juga menyambut tangan Arga. Lalu melihat ke dalam.
"Diba, pacarmu datang," katanya enteng.
Adiba melihat ke arah Satria, ia malah jadi tak enak pada lelaki itu. Tapi, sepertinya, Satria bersikap biasa saja. Adiba sudah malas bertemu dengan Arga, setelah ketahuan bersama wanita lain tadi.
Adiba berdiri dengan wajah ditekuk.
"Ngapain kamu ke sini?" tanyanya ketus.
"Diba, plis, kita bicarakan ini berdua," pinta Arga memohon.
"Bicarakan apa lagi? Lagian kamu, Ga. Ngapain ngaku-ngaku pacar aku, kita udah putus!" sinis Adiba tetap ketus.
"Diba, plis... Aku masih cinta sama kamu...." Arga mengiba. Adiba memalingkan wajah.
"Ehem!" Pak Mus berdeham cukup keras, "Masuk dulu, jangan bertengkar di depan pintu. Tak elok."
Ayah Adiba itu masuk ke dalam dan duduk di samping bunda Sawitri. Arga ikut melangkah masuk, dan ia tertegun melihat ada lelaki lain dan seorang anak kecil di sana. Ia menatap Adiba meminta penjelasan.
Adiba cuek dan ikut duduk, sengaja memilih tempat di samping Satria.
Arga duduk di dekat pintu, pandangan matanya tak lepas dari Adiba.
"Ehem! Jadi, kamu pacarnya Adiba?" tanya pak Mus, seketika Diba menoleh padanya.
"Enggak! Udah putus!" katanya seraya berganti menatap Arga sinis.
"I-iya, yah. Saya pacar Adiba."
"Udah putus Arga! Jangan ngotot deh!" sela Adiba nyolot.
"Diba," tegur pak Mus pelan.
Adiba memalingkan wajahnya lagi.
"Anak gadis bapak bilang kalian sudah putus."
Arga menggeleng. "Enggak, yah. Kami belum resmi putus, Adiba hanya marah sama saya."
"Marah? Marah kenapa?"
Kini Arga tak bisa menjawab, ia bungkam. Tak mungkin ia mengatakan yang sejujurnya.
"Jawab tuh, kenapa aku marah!" sungut Adiba.
"Diba, plis, kita bicarakan ini berdua?"
"Nggak bisa! Cowok sama cewek dilarang berduaan kalau belum nikah, bisa jadi fitnah! Ngerti kamu!?" tolak Diba membuat Satria menahan senyum, mengingatkannya saat gadis itu datang untuk bicara berdua saja.
"Diba pliss." Arga mengiba, "Aku udah datang kesini seperti yang kamu mau. Kasih aku kesempatan, satu kali lagi."
"Sorry ya, Ga. Enggak ya enggak. Lagian, aku udah punya pengganti kamu," tukas Adiba merangkul lengan Satria tiba-tiba, sampai membuat si pria terjenggit kaget. "Nih, namanya mas Satria! Lebih ganteng dari kamu, tanahnya banyak, anak kiai lagi."
Satria tersenyum hambar, merasa kikuk tiba-tiba dirangkul serapat itu. Bahkan terlalu rapat sampai ia bisa merasakan tonjolan di dada Adiba. Lekas ia menarik tangannya pelan.
"Ehem!" Pak Mus berdeham,"Adiba," sebutnya tertahan. Adiba nyengir kecil pada ayahnya.
Sedangkan Arga tak percaya Adiba bisa secepat itu berpaling.
"Kamu cuma bohongin aku, kan?"
"Enggak! Kami bahkan bentar lagi mau nikah!"
Arga berganti menatap Satria yang memilih diam, ia lalu berganti pada kedua orang tua Adiba seolah meminta penjelasan.
"Maaf ya, nak Arga. Adiba memang sudah dikitbah." Bu Sawitri menjelaskan.
Bagai disambar petir, dunia Arga runtuh begitu saja. Tubuhnya menjadi lemas tak bertulang.
"Nak Arga, bunda senang kamu sempatin mampir ke sini. Bunda jadi tau seperti apa nak Arga. Tolong, ikhlas. Bunda yakin, nantinya kamu akan dapat gadis yang pantas untukmu."
"Dia yang nggak pantas buat Diba, bunda," potong Adiba geram.
"Diba." Pak Mus menegur lagi dengan suara tertahan.
"Udah pergi sana!" usir Adiba berdiri seraya menarik tangan Arga dan mendorong keluar.
"Tega kamu sama aku, Diba! Kamu bersikap seperti yang paling tersakiti, nyatanya kamu juga melakukan hal yang sama denganku!" protes Arga marah, setelah mereka bepindah di teras. "Menusukku dari belakang!" sambung nya penuh penekanan seraya menunjuk dadanya sendiri.
Plak!
Mata Adiba melebar menyiratkan amarah, bibirnya menipis, dan rahang mengeras.
"Kita beda Arga! Jelas sangat beda! Aku mengupayakan banyak hal agar bisa sama kamu! Tapi lihat kamu! Kamu malah HS sama cewek lain!"
Arga memegangi pipinya yang terasa panas.
"Aku nggak seburuk kamu! Kamu membuatku jijik!"
Diba mendorong dada Arga.
"Pergi!" usirnya. "Jangan datang lagi!"
Kaki Arga menapak mundur dengan tanpa daya, lemas, lemah, dan juga marah. Rasa panas di pipinya terasa lebih sakit mendengar ucapan kekasihnya. Eh, mantan kekasihnya.
Pria berwajah cindo itu terlihat linglung, karena terlalu marah pada dirinya sendiri, juga pada keadaan. Ia lantas pergi begitu saja dengan membawa mobilnya.
Adiba bernapas lega, tapi ia juga marah. Ia mengusap wajah, dan menutupinya. Tau-tau malah menangis. Bunda Sawitri mendekat dan membawanya ke dada. Mengusap bahu dan lengan putrinya dengan lembut.
****
"Mau ke mana?" tanya bunda Sawitri melihat anak gadisnya menyalami dan mencium tangannya.
"Ketemu teman bunda, skalian mau balikin jaket."
"Oh, ya udah hati-hati, pulang jangan malam-malam."
"Heemm, assalamualaikum." Adiba berjalan ke depan, memasang helm dan menyalakan motor. Rencana hari ini ia mau ke Pakis tempat Satria. Jaket yang dulu ia bawa malah lupa dikembalikan saat Satria datang dua hari lalu. Tentu saja, ia tidak akan datang sendiri. Motor matik Adiba berhenti di depan rumah Yana.
"Yana-nya ada Bude?" tanya Adiba memarkirkan kendaraan di depan teras.
"Ada," sahut ibunya Yana menyambut tangan Adiba yang menyalami dan mencium tangannya
"Yana!" teriak wanita itu tanpa beranjak dari dipan di ujung teras.
"Duduk sini," suruhnya. Adiba duduk."Mau kemana?"
"Mau ke kajian, Bude."
"Kok nggak pakai jilbab?" Si bude mengernyit.
"Eh, iya, lupa tadi. Ini mau skalian pinjam sama Yana Bude."
Ibunya Yana memperhatikan Adiba dengan tatapan menyelidik. Adiba hanya nyengir kaku.
"Udah siap, ayok!" Yana keluar dengan terburu.
"Bude, kami pergi dulu ya," pamit Adiba menyalami ibunya Yana. Temanya itu pun melakukan hal yang sama.
"Gocap, buk." Yana menengadahkan tangan. Maklum, anak baru lulus sekolah, jadi nggak punya uang.
Ibunya berdecak. "Dua puluh ribu aja, ibuk nggak punya uang."
"Yah."
"Mau ke pengajian ngapain bawa duwit banyak-banyak? Infak aja nanti lima ribu, masih ada sisa lima belas ribu itu, kalau mau jajan."
Yana masih cemberut, tapi dikantongi juga uang dua puluh ribu itu.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
"Mending kamu dikasih uang saku Yan," cetus Adiba setelah mereka diatas motor yang melaju. "Aku malah nggak tadi."
"Yah, terus nanti beli bensin gimana?" gerutu Yana dari jog belakang.
"Udah, tenang aja, nanti ke warung Madura, ninggal KTP."
"Yah, KTP baru bikin mau ditinggal."
Satu jam perjalanan, akhirnya Adiba dan Yana sampai di desa Pakis.
"Kamu ini terniat banget balikin jaket sampai sini," celetuk Yana.
"Ini nggak cuma balikin jaket Yana, ada misi penting."
"Misi apaan lagi?"
Adiba mengulas senyuman.