Demi menghindari bui, Haira memilih menikah dengan Mirza Asil Glora, pria yang sangat kejam.
Haira pikir itu jalan yang bisa memulihkan keadaan. Namun ia salah, bahkan menjadi istri dan tinggal di rumah Mirza bak neraka dan lebih menyakitkan daripada penjara yang ditakuti.
Haira harus menerima siksaan yang bertubi-tubi. Tak hanya fisik, jiwanya ikut terguncang dengan perlakuan Mirza.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terpengaruh
Mirza menyeret tubuh Haira dari dalam ke luar kamar. Lalu mendorongnya hingga gadis itu jatuh tersungkur. Tak ada belas kasihan bagi Haira. Kebencian Mirza memuncak dan tak ada kata maaf lagi.
"Aku peringatkan sekali lagi, kedudukanmu di rumah ini seperti pelayan. Bukan istri." Menjelaskan dengan suara lantang. Merendahkan derajat wanita yang ia menikahi. Seperti ucapannya, Mirza mulai membunuh Haira dengan perlahan.
Beberapa orang yang ada di ruangan itu bisa mendengar perkataan Mirza. Namun, mereka bagaikan patung yang tak bisa berbuat apa-apa.
Mirza menutup pintu dengan keras hingga Haira tersentak kaget. Ia tidak masalah dengan itu, baginya saat ini bisa menjalani hukuman dengan baik, dan bisa lepas dari jeratan Tuan Mirza. Bertemu dengan neneknya dan Nada, itu sudah cukup dari segala kenikmatan yang ada di bumi.
Arini bertepuk tangan berjalan menghampiri Haira. Hatinya berbunga-bunga melihat penderitaan wanita itu. Ternyata di rumah itu ada boneka yang bisa menghiburnya saat bosan.
"Kamu dengar, kan. Kata kak Mirza, di sini kamu bukan siapa-siapa, hanya pelayan." Arini menoyor kening Haira. Lalu meninggalkannya.
Ini tidak ada sangkut pautnya dengan wanita itu, namun masih saja usil mengganggu Haira.
Haira menatap punggung Arini berlalu. Ia menyesal dengan pilihannya. Ternyata hidup di rumah Mirza jauh lebih mengerikan daripada jeruji besi. Ia bagaikan tawanan yang terbelenggu pada sebuah perjanjian. Bukan ini yang ia inginkan, namun takdir yang mengantarkan pada seseorang yang sangat kejam. Menikah dengan tuntutan balas dendam.
Haira memahat semua yang dikatakan Mirza, tak boleh menyentuh apapun yang berhubungan dengan pria itu. Menangis pun percuma, Tidak akan mengembalikan keadaan, Haira pasrah akan nasibnya yang entah bagaimana nantinya.
Ia bangkit, berjalan tertatih-tatih menghampiri bi Enis yang ada di dapur. Meskipun banyak orang tetap saja suasana rumah itu senyap bagaikan tanpa penghuni.
Haira menatap semua orang. Matanya berhenti pada Erkan yang mematung di samping meja makan.
"Tuan, katakan apa yang harus saya lakukan. Tuan Mirza meminta saya untuk melayaninya dari bangun tidur sampai mau tidur, tapi tadi dia bilang tidak ingin melihat wajah saya."
Erkan hanya diam, itu perkara yang sangat membingungkan baginya. Penuturan Mirza memang sulit dimengerti, bahkan terkadang Erkan tak bisa membaca keinginan Tuannya tersebut.
Melirik ke arah kamar Mirza sekilas, lalu menatap Haira.
"Maaf, Nona. Saya tidak bisa memberi pendapat. Hanya Tuan Mirza yang berhak mengatur hidup, Anda. Bukan saya atau orang lain."
Haira tertunduk lesu.
Mengatur hidup, ucapan itu sudah mencakup nasib Haira yang akan datang, begitu ia mengartikan perkataan Erkan.
Haira mengusap air matanya yang sempat lolos membasahi pipinya. Lalu meletakkan baju Mirza di tempat cucian.
Kalau tidak suka dengan piyama ini, kenapa ada di lemarinya?
Pintu kamar Mirza terbuka. Haira yang hampir tiba di ruang makan langsung berlari ke dapur mengingat ucapan Mirza yang tak ingin melihat wajahnya.
Suara dentuman sepatu dan lantai semakin dekat dan berhenti di ruang makan. Haira menyandarkan punggungnya di belakang lemari. Suara sendok dan piring pun saling mengiringi.
Pasti Tuan Mirza sedang sarapan, tebak Haira dalam hati.
Tidak ada yang berani bersuara. Haira menautkan kedua tangannya menunggu kepergian Mirza. Sesekali mengintip dari balik gorden untuk memastikan.
Ternyata Mirza pun tak memakai baju pilihannya.
Setelah Mirza meninggalkan ruang makan, Haira mengelus dadanya bernafas dengan lega, setidaknya ia mempunyai waktu untuk mempersiapkan diri sampai Mirza pulang.
Haira menarik tangan Bi Enis lalu berbisik di telinga wanita itu.
Naina yang sedang membersihkan dapur itu pun melihat gerak-gerik Haira yang sedikit mencurigakan.
"Maaf, Nona. Bibi tidak berani, di rumah ini ada peraturan yang harus dipatuhi oleh semua pelayan, jadi kami tidak boleh sembarangan keluar rumah."
Aku lupa, ini rumah Tuan Mirza, orang yang paling berkuasa. Nenek, Nada, maafkan aku karena tidak bisa menghubungi kalian.
Meskipun khawatir, Haira tak bisa berbuat apa-apa. Menerima apa yang ia jalani sekarang, terkurung dalam penjara Tuan Mirza.
"Baiklah, Bi. Maaf kalau aku selalu merepotkan."
Bi Enis hanya menggeleng tanpa suara.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Setibanya di halaman gedung pencakar langit, Mirza turun dari mobil. Ia disambut seluruh pegawainya dengan sopan.
"Tuan Bahadir sudah menunggu, Tuan," lapor seorang wanita cantik yang ada di samping mobil.
Mirza melangkah lebar memasuki kantor miliknya. Erkan mengikuti dari belakang. Keduanya langsung masuk ke ruang meeting.
"Selamat pagi Tuan Mirza," sapa Tuan Bahadir sambil membungkuk ramah.
Tidak ada jawaban, Mirza duduk di tempatnya. Tangannya mengulur membuka dokumen yang ada di depannya. Tidak ada yang penting dan wajib dibahas selain pekerjaan.
"Saya turut berduka cita atas meninggalnya Nona Lunara." Tuan Bahadir mengucapkannya dengan ragu. Bukan saatnya untuk basa-basi. Ia hanya memecahkan keheningan yang tercipta.
"Kasus Anda seperti yang menimpa anak saya." Tuan Bahadir mencoba untuk mengalihkan perhatian Mirza yang nampak serius dengan map di depannya.
Tidak ada sanggahan, itu artinya Mirza mengizinkan Tuan Bahadir untuk melanjutkan ceritanya.
"Waktu itu tunangan anak saya juga meninggal karena seseorang, setelah itu dia menikahinya hanya untuk balas dendam."
Ungkapan itu murni yang dialami anak Tuan Bahadir, namun seperti sebuah sindiran bagi Mirza yang juga menikahi Haira hanya untuk balas dendam.
"Lalu?" Mirza meletakkan kedua tangan nya di atas meja. Kali ini ia antusias mendengar cerita dari kliennya itu.
"Dia tidak ingin menjamah wanita di luaran, yang pastinya sudah dipakai banyak orang. Maka dari itu dia menikahi orang yang sudah membunuh calon menantu saya," imbuhnya.
Kejadian itu bahkan seperti sebuah foto kopi bagi Mirza saat ini. Sama persis, hanya saja, pembunuhan itu sengaja dan tidak.
"Setelah anak saya puas menghancurkan kehidupan perempuan itu, dia menceraikannya. Sekarang dia sudah menikah dengan perempuan yang dicintai. Ia sudah lega bisa membalaskan dendam atas kematian tunangannya."
Terdengar sangat keji, namun Mirza menyukainya, ia seperti mendapat jalan bagaimana harus memperlakukan Haira dengan tidak adil.
Ponsel milik Mirza berdering, ia segera mengangkatnya setelah melihat tulisan yang tertera di layar.
"Za, malam ini aku punya santapan empuk buat kamu. Dia model terkenal yang baru datang dari luar negeri," ucap seseorang dari seberang ponsel.
Mirza tak tertarik dengan itu semua, namun ia harus mencari pasangan hidup yang membuatnya lupa akan masa lalunya bersama Lunara. Tidak mungkin ia larut dalam kesedihan yang tidak bisa mengembalikan sang kekasih.
"Baiklah, nanti malam kita bertemu," jawab Mirza lalu menutup sambungannya.
Bersiaplah menerima hadiah dariku. Kehancuranmu adalah kesuksesan bagiku. Aku tidak akan membiarkanmu menikmati indahnya dunia.
Mirza mengepalkan kedua tangannya. Bibirnya tersenyum licik mengisyaratkan sesuatu.
𝚑𝚎𝚕𝚕𝚘 𝚐𝚊𝚗𝚝𝚎𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚕𝚊𝚖 𝚔𝚗𝚕 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚊𝚞𝚗𝚝𝚢 𝚊𝚗𝚐𝚎𝚕𝚊 🤣🤣