Prolog:
Dulu, aku selalu menganggapnya pria biasa miskin, sederhana, bahkan sedikit pemalu. Setelah putus, aku melanjutkan hidup, menganggapnya hanya bagian dari masa lalu. Tapi lima tahun kemudian, aku bertemu dengannya lagi di sebuah acara gala mewah, mengenakan jas rapi dan memimpin perusahaan besar. Ternyata, mantan pacarku yang dulu pura-pura miskin, kini adalah CEO dari perusahaan teknologi ternama. Semua yang aku tahu tentang dia ternyata hanya kebohongan. Dan kini, dia kembali, membawa rahasia besar yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1 Bagian 14 Bertemu Reza
Nadia melangkah keluar dari apartemennya dengan percaya diri. Udara malam yang sejuk menyambutnya, dan suara kendaraan yang berlalu-lalang menjadi latar suasana kota. Saat menuruni tangga, ia sempat bertemu beberapa tetangganya.
"Selamat malam, Mbak Nadia," sapa seorang ibu tua yang biasa duduk di teras.
Nadia tersenyum ramah. "Selamat malam, Bu. Semoga sehat selalu, ya."
Beberapa orang lain juga memberikan sapaan singkat, yang dibalas Nadia dengan anggukan sopan.
Di depan apartemennya, Nadia memandang jalanan sambil menunggu taksi. Malam ini terasa lebih tenang, tetapi jantung Nadia berdegup sedikit lebih cepat. Pikiran tentang pertemuannya dengan Reza terus menguasai benaknya.
Tak lama, sebuah taksi berhenti di depannya. Sang supir, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah, membuka jendela. "Mau ke mana, Mbak?"
"Café 77, Pak. Di Jalan Merdeka," jawab Nadia sambil membuka pintu dan masuk ke dalam taksi.
Selama perjalanan, Nadia memandang keluar jendela, melihat lampu-lampu kota yang mulai bersinar terang. Ia memegang tas kecilnya erat-erat, mencoba menenangkan diri.
Supir taksi, yang tampaknya menyadari kegelisahan Nadia, mencoba membuka percakapan. "Mau bertemu teman, Mbak?"
"Iya, Pak," jawab Nadia singkat, tidak ingin terlalu banyak bicara.
"Ah, Café 77 tempat yang bagus. Banyak yang suka ke sana untuk makan malam atau diskusi kerja," tambah supir itu.
Nadia hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Perutnya terasa sedikit mual, entah karena gugup atau ekspektasi yang bercampur dengan rasa takut.
Sesampainya di depan Café 77, supir itu menghentikan taksinya dan berkata, "Sudah sampai, Mbak. Semoga pertemuannya lancar."
Nadia mengeluarkan uang dari tasnya dan menyerahkannya. "Terima kasih, Pak."
"Terima kasih kembali, Mbak. Hati-hati ya," ujar supir itu sambil tersenyum.
Nadia melangkah keluar dari taksi dan berdiri sejenak di depan pintu masuk Café 77. Lampu-lampu hangat dari dalam kafe memancar keluar, menciptakan suasana yang nyaman namun sedikit menegangkan bagi Nadia.
Ia menarik napas panjang, menenangkan diri sebelum melangkah masuk. "Apa pun yang terjadi, aku harus kuat," gumamnya sambil membuka pintu kafe.
Nadia melangkah masuk ke dalam Café 77, menyusuri suasana hangat dari cahaya lampu temaram dan alunan musik jazz yang lembut di latar belakang. Aroma kopi dan makanan panggang memenuhi udara, membuat suasana terasa nyaman meski perasaannya sendiri penuh kegelisahan.
Matanya menyapu ruangan, mencari sosok yang ia kenal. Dan di sana, di sudut kafe dekat jendela besar yang menghadap jalan, Reza duduk dengan tenang.
Reza tampak lebih dewasa dari terakhir kali Nadia melihatnya tiga tahun yang lalu. Dengan jas kasual berwarna abu-abu tua dan kemeja putih yang rapi, ia tampak memancarkan aura yang berbeda—lebih percaya diri, lebih mapan. Wajahnya tetap sama, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit diartikan oleh Nadia.
Seolah merasakan tatapan Nadia, Reza mendongak. Pandangan mereka bertemu, dan untuk sesaat waktu terasa berhenti. Tidak ada kata yang terucap, tetapi tatapan itu penuh dengan kenangan lama yang masih terasa segar.
Dengan senyum tipis, Reza berdiri dan mengangkat tangannya sedikit, memberi isyarat agar Nadia mendekat.
Nadia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya, lalu berjalan mendekat. Sepanjang langkahnya, pikirannya dipenuhi oleh berbagai pertanyaan. Apa yang sebenarnya ingin Reza katakan? Kenapa dia kembali?
"Selamat malam, Nadia," sapa Reza dengan suara lembut saat Nadia tiba di meja.
"Selamat malam," jawab Nadia singkat, mencoba menjaga nada suaranya tetap netral.
Reza menarik kursi untuknya. "Silakan duduk."
Nadia mengangguk pelan dan duduk. Ia meletakkan tasnya di pangkuan, lalu melipat tangannya di atas meja, mencoba mengalihkan rasa gugupnya.
Pelayan datang membawa menu, tetapi Reza langsung berkata, "Dua cappuccino, seperti biasa."
Nadia terkejut. Rupanya Reza masih mengingat pesanan favoritnya. Hal kecil itu membuat hatinya sedikit bergetar, meski ia berusaha tidak menunjukkannya.
Setelah pelayan pergi, mereka duduk dalam keheningan yang canggung. Hanya suara-suara dari pengunjung lain dan denting peralatan makan yang terdengar di sekitar mereka.
"Aku tidak tahu harus mulai dari mana," kata Reza akhirnya, memecah keheningan.
"Bagaimana kalau kau mulai dari alasan kenapa kau meninggalkanku tanpa penjelasan?" balas Nadia, nadanya tajam meski ia berusaha menahannya.
Reza terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Nadia, aku tahu aku menyakitimu. Dan aku tidak akan meminta maaf atas rasa sakit itu, karena aku tahu permintaan maaf saja tidak cukup."
Nadia mengangkat alisnya. "Lalu apa? Kau hanya ingin duduk di sini dan berbasa-basi? Atau kau akhirnya akan memberiku alasan yang jelas?"
Reza menghela napas panjang. "Aku meninggalkanmu karena aku harus. Bukan karena aku ingin. Ada banyak hal yang kau tidak tahu, Nadia. Hal-hal yang aku sembunyikan demi melindungimu."
"Melindungiku?" tanya Nadia dengan nada tidak percaya. "Melindungiku dari apa? Dari siapa? Kau tahu betapa menyakitkannya dibiarkan tanpa jawaban, Reza?"
Sebelum Reza sempat menjawab, pelayan datang membawa dua cangkir cappuccino. Mereka terdiam lagi, menunggu pelayan pergi.
Reza menggenggam cangkirnya, matanya menatap lurus ke arah Nadia. "Aku tidak bisa menjelaskan semuanya malam ini, tapi aku ingin kau tahu satu hal. Aku tidak pernah berhenti mencintaimu, Nadia."
Kata-kata itu menghantam Nadia seperti ombak besar. Ia menatap Reza dengan mata yang berkaca-kaca, tetapi ia menahan diri untuk tidak menangis. "Cinta?" katanya pelan. "Kalau kau mencintaiku, kau tidak akan pergi."
Reza menunduk, tampak menyesal. "Aku tahu. Dan aku ingin memperbaikinya, kalau kau mengizinkanku."
Nadia tidak langsung menjawab. Ia mengambil cangkirnya, menyesap sedikit cappuccino yang mulai mendingin. Rasa manis pahit itu mengingatkannya pada banyak kenangan lama yang pernah mereka bagi bersama.
"Aku tidak tahu, Reza," kata Nadia akhirnya. "Aku butuh waktu. Terlalu banyak yang terjadi sejak kau pergi."
Reza mengangguk pelan, menerima jawaban itu. "Aku mengerti. Aku hanya berharap kau mau memberiku kesempatan untuk menjelaskan semuanya, pelan-pelan."
Nadia terdiam lagi, membiarkan pikirannya berputar. Malam itu terasa seperti awal dari babak baru dalam hidupnya babak yang ia tidak tahu apakah ia siap untuk menghadapinya atau tidak.
Reza mengaduk cappuccino di depannya, meski tidak terlalu membutuhkan gula tambahan. Nadia memandangnya dengan alis terangkat, menunggu kelanjutan dari pembicaraan yang menggantung.
"Aku tahu, selama ini kau pasti bertanya-tanya kenapa aku pergi," kata Reza akhirnya, suaranya terdengar hati-hati. "Dan, sejujurnya, alasannya lebih rumit dari yang bisa aku jelaskan dalam satu malam."
Nadia menghela napas, berusaha tetap sabar. "Coba saja. Aku di sini untuk mendengar, bukan untuk teka-teki."
Reza tersenyum kecil, tetapi ada sorot lelah di matanya. "Setelah kita bersama dulu, ada banyak hal yang berubah dalam hidupku. Aku terlibat dalam proyek-proyek besar, pekerjaan yang membutuhkan semua perhatian dan waktuku. Sebagian dari pekerjaan itu... tidak mudah."
Nadia memiringkan kepalanya, bingung. "Proyek bisnis? Itu alasanmu pergi?"
Reza mengangguk. "Ya, bisnis. Tapi ini bukan sekadar bisnis biasa, Nad. Ada tanggung jawab besar, risiko yang melibatkan banyak orang. Aku tidak ingin kau terkena dampaknya, makanya aku memilih menjauh."
Nadia mengerutkan kening. "Tapi kenapa kau tidak memberitahuku? Aku mungkin tidak akan sepenuhnya mengerti, tapi setidaknya aku bisa mendukungmu. Bukannya kau tahu aku cukup kuat menghadapi apa pun?"
Reza menatap Nadia dengan sorot bersalah. "Aku tahu kau kuat, lebih kuat dari siapa pun yang pernah aku temui. Tapi ada hal-hal yang saat itu aku pikir lebih baik kau tidak tahu. Aku tidak ingin menempatkanmu dalam situasi berbahaya."
"Bahaya?" Nadia menyipitkan mata, semakin bingung. "Kau berbicara seolah-olah proyek bisnismu ini lebih seperti film aksi daripada perusahaan."
Reza hanya tersenyum tipis, tetapi tidak memberikan penjelasan lebih rinci. "Yang penting adalah aku tidak ingin kau terluka. Itu saja."
Nadia merasa frustrasi. "Jadi kau menghilang begitu saja, meninggalkan aku dengan semua pertanyaan dan rasa sakit, hanya karena kau pikir itu yang terbaik untukku? Kau tahu, Reza, apa yang terbaik untukku? Jawaban. Kejujuran."
Reza menundukkan kepalanya, mengangguk pelan. "Aku salah. Aku sadar itu sekarang. Tapi aku juga tidak bisa mengubah masa lalu. Aku hanya berharap kau mau memberiku kesempatan untuk menebus kesalahan itu."