(#HIJRAHSERIES)
Keputusan Bahar untuk menyekolahkan Ameeza di SMA Antares, miliknya mengubah sang putri menjadi sosok yang dingin.
Hidup Ameeza terasa penuh masalah ketika ia berada di SMA Antares. Ia harus menghadapi fans gila sepupu dan saudaranya, cinta bertepuk sebelah tangan dengan Erga, hingga terlibat dengan Arian, senior yang membencinya.
Bagaimanakah Ameeza keluar dari semua masalah itu? Akankah Erga membalas perasaannya dan bagaimana Ameeza bisa menghadapi Arian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ana Hasna Raihana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Good or Bad Life?
"Saya izin, Kak."
"Oke."
Tanpa basa-basi lagi Agas mengizinkan Erga. Karena laki-laki itu sudah paham dan sangat tahu alasan yang sering Erga lontarkan setiap kali minta izin. Agas jadi tidak tega jika tidak mengizinkannya.
Sebelum pergi, Erga sempat membungkukkan badan lantas tersenyum singkat. Setelah itu keluar dari kelas. Bola matanya sedari tadi tidak mau lepas dari jam tangan hitam yang bahkan sudah banyak goresan sana-sini. Erga berusaha mengabaikan fakta bahwa jam tangan ini adalah satu-satunya pemberian dari orang yang sangat ia sayangi dan orang itu sekarang sudah tiada. Mungkin sudah bahagia di alam sana. Semoga saja, Erga berharap dan berdoa selalu tentang kebahagiaannya.
Kepala Erga sempat tertunduk menatap sekilas sepatu hitam yang beruntungnya tidak lusuh bahkan rusak. Senyumnya terbit sekilas, sebelum akhirnya memudar saat kakinya melangkah mendekati koridor di belokan menuju perpustakaan.
"Gue capek," lirih seorang cewek bersurai hitam lurus melewati bahu di balik tembok dengan suara tercekat.
Erga menghentikan langkahnya sebelum benar-benar berbelok. Entah mengapa ia hanya ingin tahu apa yang akan diucapkan selanjutnya oleh seorang perempuan di balik tembok.
"Gue gak butuh perhatian lebih! Gue gak butuh! Gue muak dengan segala perhatian yang setiap harinya gue dapatkan. Apa semua orang gak mengerti kalau gue sama sekali gak nyaman jadi pusat perhatian," oceh seorang perempuan di balik tembok itu dengan nada yang amat rendah, ia tetap berusaha menahan isak tangis yang nyaris melesak keluar.
Mendadak ada getar yang menghantam kuat relung hati Erga. Tanpa sadar kedua kelopak matanya memejam sesaat, kemudian menyender ke tembok. Entah mengapa hatinya mendadak terasa diremas kuat. Namun, sedetik kemudian mendadak Erga menatap lurus lingkungan sekolah, disertai dengan senyum kecut. Merasa bahwa perempuan yang ada di balik tembok itu terlalu banyak mengeluh. Memang apa gunanya mengeluh?
Tak hanya Erga, perempuan di balik tembok pun ikutan tersentak saat mendengar suara alarm HP. Erga buru-buru mematikan alarm. Lantas bergegas berbelok ke koridor perpustakaan.
Disaat bersamaan perempuan di balik tembok itu penasaran siapa orang yang berani-beraninya menguping? Sebelum melangkahkan kakinya ia menyusut sekilas air mata yang menggenang di sisi kelopak matanya. Setelah itu ia lantas berbelok ke arah koridor kelas X MIPA.
Erga dan perempuan itu mengerem kaki masing-masing secara mendadak. Untunglah mereka berdua sempat mengerem, jika tidak kemungkinan yang terjadi adalah keduanya tabrakan.
"Erga."
Erga tak peduli dengan panggilan dengan mimik terkejut perempuan itu, yang ternyata Ameeza. Baginya tidak ada cukup waktu untuk menanggapi, ia sudah telat masuk kerja gara-gara tadi tidak langsung bergegas ke perpustakaan untuk mengembalikan buku.
Belum sampai satu langkah Erga melewati Ameeza. Sebelah tangan Erga sudah lebih dulu dicekal oleh perempuan itu. Tak mau memperburuk keadaan Erga memilih untuk menurut saja.
Sebelum berbicara, Ameeza sempat mengalihkan tatapannya ke lantai. Setelah itu kembali menatap Erga dengan wajah datar. "Lo nguping? Apa aja yang udah lo denger?!" tanya Ameeza mendadak ngegas. Padahal di awal bertanya ia tenang. Tapi, entah kenapa diakhir kata emosinya tiba-tiba memuncak.
Wajah Erga tak kalah datar. "Ya, semua."
Tanpa menunggu respon dari Ameeza Erga buru-buru pergi memasuki perpustakaan yang tinggal beberapa langkah lagi dari tempat Erga dan Ameeza berdiri tadi.
"Sial!" umpat Ameeza begitu pandangannya beralih pada tubuh Erga yang sudah hilang di balik pintu perpustakaan.
...-oOo-...
"Tumben lo telat?" tanya Nando setelah selesai meracik kopi expresso. Lantas diberikan kepada salah satu pelayan.
Erga menyender ke tembok dengan posisi kedua tangannya yang memegang nampan. Setelahnya melirik Nando yang tengah menunggu jawaban. "Ada gangguan dikit."
"Ouh iya, untung Pak Bahar gak lagi ngontrol cafe," ujar Nando.
Erga tak berniat menjawab ujaran Nando. Ia hanya diam sejenak, lantas berniat pergi ke tempatnya di belakang. Namun, ia sedikit tersentak begitu mendengar suara petikan gitar dan nyanyian yang merdu.
Skies are crying, I am watching
Catching teardrops in my hands
Only silence, as it's ending
Like we never had a chance
Do you have to make me feel like
There's nothing left of me?
You can take everything I have
You can break everything I am
Like I'm made of glass
Like I'm made of paper
Go on and try to tear me down
I will be rising from the ground
Like a skyscraper, like a skyscraper
Suara merdu perempuan bersurai sebahu di atas panggung mini cafe dengan gitar dipangkuannya mengalihkan dunia Erga. Saat mendengar lagu tersebut membuat Erga tersentuh. Ia seakan termotivasi dan sedikit menyadarkannya tentang masalah hidup yang tengah Erga alami.
Siapa dia?
As the smoke clears, I awaken
And untangle you from me
Would it make you, feel better
To watch me while I bleed?
All my windows still are broken
But I'm standing on my feet
You can take everything I have
You can break everything I am
Like I'm made of glass
Like I'm made of paper
Go on and try to tear me down
I will be rising from the ground
Like a skyscraper, like a skyscraper
Alunan lembut itu seakan meracuni telinga Erga. Tanpa sadar matanya memejam menikmati. Bahkan panggilan dari Nando seolah hanya angin lalu.
Nando menepuk bahu Erga. Membuat Erga tersadar, lantas membuka matanya. Lalu menoleh.
"Btw, itu ada pesenan. Lo ngapain masih di sini?"
Meski tak begitu jelas, jika diperhatikan lebih teliti Nando tahu apa penyebab Erga terdiam di sini. Nando berdehem. "Namanya Molla, yang gue tahu dia baru kerja pekan ini. Kalau gak salah dia sekolah di SMA Antares, deh."
Padahal Nando sempat berharap melihat ekspresi malu-malu kucing dari Erga. Namun, yang Nando lihat justru wajah yang sama. Wajah keseharian Erga. Sepertinya perkiraannya salah, karena sempat berpikir Erga tertarik pada Molla.
...-oOo- ...
"Ga."
Merasa terpanggil, Erga berbalik meski tak ada jawaban. Erga hanya sekedar menaikkan sebelah alisnya.
"Lo suka sama Molla?"
Erga mengulum beberapa detik bibirnya. Lalu menatap Nando yang berdiri tak jauh darinya sedang menunggu jawaban. "Lagunya enak."
Pupus sudah dugaan Nando. Sepertinya dugaannya memang salah. Bagaimana pun juga seseorang jika tertarik pasti terlihat baik jelas maupun tidak. Tapi, hal itu tidak berlaku untuk Erga.
Erga pergi ke ruang belakang untuk mengambil pesanan. Sampai ship-nya selesai.
Erga menyandang tasnya. Setelah pamit kepada beberapa teman-teman kerjanya. Sebelum kakinya melewati pintu kaca cafe, ia sempat melihat aktivitas Molla dari sudut matanya. Walau Erga berusaha tidak peduli, namun kakinya tidak sejalan dengan hati.
Erga menghampiri Molla yang sibuk berbenah alat musiknya. Terlihat jelas Molla kesulitan saat meresleting tempat untuk gitar. Erga memang tidak tahu bagaimana caranya menawarkan bantuan. Bibirnya selalu terasa kelu. Jadi, Erga lebih memilih dengan tindakan secara langsung. Meski hal itu membuat orangnya terkejut.
Erga berjongkok. Menurunkan tangan Molla yang masih sibuk meresleting. Tindakan Erga yang tiba-tiba itu membuat Molla terkejut. Meski tetap terasa sulit meresletingnya, Erga tetap bersabar. Setelah beberapa menit kemudian akhirnya bisa juga.
Erga berdiri. Tanpa ucap kata basa-basi ia pergi.
"Hei!"
Molla sedikit tergesa-gesa saat mengejar Erga. Padahal ia ingin berterimakasih karena telah membantunya. Tapi, Erga justru tidak memberikan jeda sesaat untuk Molla mengatakannya.
"Terimakasih."
Kedua mata Erga menutup beberapa detik bersamaan dengan kepalanya mengangguk sekali.
Molla hendak mempertanyakan siapa namanya. Namun, lagi-lagi Erga tak memberikan kesempatan kepada Molla untuk berbicara.
...-oOo-...