Bintang, CEO muda dan sukses, mengajukan kontrak nikah, pada gadis yang dijodohkan padanya. Gadis yang masih berstatus mahasiswa dengan sifat penurut, lembut dan anggun, dimata kedua orang tuanya.
Namun, siapa sangka, kelinci penurut yang selalu menggunakan pakaian feminim, ternyata seorang pemberontak kecil, yang membuat Bintang pusing tujuh keliling.
Bagaimana Bintang menanganinya? Dengan pernikahan, yang ternyata jauh dari ekspektasi yang ia bayangan.
Penuh komedi dan keromantisan, ikuti kisah mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11.
Hari yang tidak ditunggu dan tidak diinginkan Sera, akhirnya tiba. Biasanya, calon pengantin akan merasa gugup, di hari pernikahannya. Berbeda dengan Sera, yang seperti ingin membuat waktu mundur beberapa tahun.
Pagi-pagi sekali, ia sudah bangun dengan penuh keterpaksaan. Membersihkan tubuhnya, lalu menunggu Lisa yang akan merias wajahnya.
Akad nikah akan berlangsung pagi hari dan malam hari, untuk resepsi pernikahan.
Sera tidak peduli, bahkan mungkin ia tidak tahu. Yang penting, acara cepat selesai, agar beban pikirannya cepat terangkat. Meski, hidupnya tidak akan sama lagi.
"Non, senyum dikit, dong."
"Jangan ganggu gue, Wit."
Sera memejamkan mata, saat Lisa mulai merias. Ia tidak ingin melihat wajahnya, yang memakai make up pengantin. Entah berapa lama, ia akan terus mempertahankan posisinya, karena tubuh Sera menjadi kram.
"Kita akan menyambut pengantin pria, yang baru saja tiba."
Suara MC terdengar, dari luar. Sera terduduk dengan kepala tertunduk. Pendengarannya, terdengar bisikan-bisikan kecil, yang membuat pikirannya kebingungan.
Pergilah! Masih ada waktu.
Sebentar lagi, kau akan bebas.
Apa kau hanya pasrah? Masih banyak yang harus kau lakukan diluar sana.
Ayo, pergi. Sebelum terlambat.
"Non," panggil Wita.
Sera tersadar seketika.
"Kalau aku kabur sekarang. Apa masih sempat?" gumam Sera. Lalu, tersenyum perih.
"Non, siap-siap. Ntar lagi, ijab kabul."
Sera memusatkan pendengarannya diluar sana. Suara Bintang membacakan ayat-ayat al quran, membuatnya tertegun. Merdu dan fasih. Seketika, Bintang seperti pria yang berbeda.
Saat acara ijab kabul berlangsung. Sera tertunduk. Bukan karena terharu atau bahagia, seperti pengantin pada umumnya. Ia sibuk berpamitan pada dirinya sendiri.
Selamat tinggal, masa mudaku.
Selamat tinggal, kebebasanku.
Selamat tinggal, hidupku.
Anjir, ngapain gue pamitan. Gue masih hidup. Ah, lupa. Gue harus pamitan, kepada siapa lagi.
"Non,"
Sera bangkit, sudah saatnya ia keluar sebagai pengantin wanita. Ia harus melakukan ritual sungkeman pada orang tua.
Disana, Bintang duduk didepan penghulu dan kedua orang tua mereka. Mata pria itu, menatapnya tanpa berkedip. Entah dia terpesona atau merasa kesal, yang jelas dipandangan Sera, Bintang sedang memakinya atau merencanakan sesuatu.
Cih, sok tampan!
Sera duduk disamping Bintang, yang kini resmi menjadi suaminya. Dengan penuh keanggunan, Sera menebarkan senyuman. Memperlihatkan, bagaimana ia begitu bahagia, telah menikah. Ia bahkan pasrah dan tertawa kecil, saat Bintang mengecup dahinya.
Sakit rahang gue.
Saat cincin pernikahan disematkan di jari manisnya, Sera tetap tersenyum.
Akhirnya, rantai di leher gue ke pasang juga.
Acara sungkeman berlangsung. Sera duduk bersimpuh didepan sang ayah. Tapi, kenapa ia tidak merasa sedih. Biasanya, inilah momen yang paling menyedihkan untuk pengantin wanita. Momen untuk berpamitan dan meminta maaf kepada orang tuanya.
Menangislah, aku mohon.
Oh, air mataku. Tolong, keluarlah.
Sera tertunduk, berpura-pura menghapus air matanya yang kering dan gersang.
"Pa, maafin Sera."
Apalagi, yah.
"Sera sering melawan dan membuat Papa marah."
Buset. Kapan gue melawan? Buat gue marah, yang ada, iya.
Sang Papa memeluk Sera dengan erat. Ada suara isakan kecil terdengar.
"Maafkan Papa, Sera. Maafkan, Papa."
Deg.
Sera tertegun dan membeku. Air mata yang bersusah payah ia kuras agar menetes, akhirnya meluncur bebas.
"Papa tahu, kamu tidak ingin menikah. Maafkan, Papa, sayang."
"Pa, hiks... hiks...."
Cukup lama, sera memeluk ayahnya dan menangis. Ia lalu, berpindah pada sang ibu.
"Ma," lirih Sera.
"Maafkan, Mama, sayang. Jadilah, istri yang baik dan penurut, kepada suamimu."
Suasana yang tenang, seperti mendengarkan suara orang yang bernyanyi dengan merdu, tiba-tiba menjadi sumbang.
Hal mengharukan bagi Sera, berubah menjadi hal menyebalkan. Kenapa juga, harus nasehat yang seperti itu.
Acara sungkeman selesai dengan khidmat. Kedua pengantin duduk di kursi pelaminan, dengan senyum palsu keduanya.
Inilah hal yang paling melelahkan. Sera harus berdiri untuk bersalaman kepada tamu, yang hadir. Bukan hanya itu, ia merasa khawatir jika ada seseorang yang ia kenal dan mengenalnya.
Jam dinding yang terhormat, tolong berputarlah dengan cepat.
"Kamu kenapa?" bisik Bintang.
"Aku hanya lelah, Kak."
"Kuatlah. Kita masih ada resepsi ntar malam."
Senandung suara musik yang indah, seolah tak terdengar oleh Sera. Kedua matanya sibuk berkeliaran diantara para tamu. Mencari satu persatu, siapa tahu ada orang yang perlu ia hindari.
"Kamu mencari siapa?"
"Tidak ada, Kak."
"Jangan bohong, kamu. Kedua matamu, sudah mau melompat."
Sera memicingkan mata dan lanjut memaki dalam hati.
Akhirnya, acara akad nikah selesai setelah tiga jam. Sera merasa lelah dan pegal diseluruh tubuhnya. Ia juga kelaparan, karena makan siang sudah lewat.
Sera duduk menikmati makan siang bersama Bintang, didalam kamar sebuah hotel, tempat acara berlangsung. Ia tidak merasa tergangu, dengan tangan Wita dan Lisa, yang tengah melepas perhiasan di atas kepalanya.
"Apa aku harus make up lagi?" tanya Sera dengan mulut penuh.
"Iya. Acara masih lama, jadi harus make up ulang."
Sebenarnya, Sera ingin membantah seperti biasa, dengan nada yang naik beberapa oktaf. Tapi, berhubung Bintang ada dihadapannya. Ia harus dalam mode setelan anggun.
"Malam ini, tamu kita akan lebih banyak. Jadi, setelah ini kau harus istirahat."
"Iya, Kak."
Seperti biasa, Bintang langsung pergi tanpa berpamitan. Sera tidak peduli. Ia memilih tidur terlentang dan membiarkan wajahnya dibersihkan.
"Tan, tolong make up aku agar lebih tidak dikenal. Malam ini, ada acara puncaknya."
"Saya mengerti, tenang saja."
Siang ini, gue selamat. Mudah-mudahan, ntar malam gue juga selamat.
Acara resepsi, seperti teror untuknya. Ia cemas, sangat cemas, seperti seseorang yang akan didatangi oleh rentenir untuk ditagih. Ribuan kalimat sudah tersusun rapi, jika nantinya ia harus bertemu teman-temannya. Dan tentu saja, semua adalah kalimat penyangkalan.
"Wit, Sera sudah makan?"
"Sudah, Bu."
Bella duduk di tepi ranjang, memperhatikan Sera yang sudah memejamkan mata.
"Jam berapa dia harus di make up lagi?"
"Sekitar jam 4, Bu."
"Baiklah, biarkan dia istirahat. Kalian sudah makan siang?"
"Sudah, Bu. Terima kasih."
"Baiklah, saya keluar dulu. Wita, telepon saya kalau ada apa-apa."
"Iya, Bu."
Baru saja, Bella keluar. Pintu kembali terbuka. Sera yang berpura-pura tidur, terpaksa kembali memejamkan mata.
"Sudah selesai?"
"Sudah," jawab Lisa.
"Kalau begitu, kalian istirahatlah. Sore nanti, baru kembali."
"Baik, kami permisi."
Tubuh Sera, menegang seketika. Jantungnya berdegup dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Kedua matanya, di pejam dengan rapat. Andai bisa dilem, ia ingin merekatkan agar tidak terbuka.
Deg, deg, deg.
Sumpah jantung Sera ingin meledak. Apalagi, suasana tiba-tiba hening, membuatnya penasaran. Kenapa pria itu tidak bersuara?
"Benar-benar, seperti bayi," ujar Bintang, yang menjatuhkan tubuhnya disamping Sera.
Deg, deg, deg.
Tahan, Sera. Anggap, dia selimut.
🍓🍓🍓
ceritanya bagus, jadi ga sabar nunggu up