"Aku akan selalu di sisimu"
Benjamin Paul, seorang remaja berusia 17 tahun yang memilih untuk kembali ke kota kecil di Alaska tempat ia lahir. 5 tahun lalu ayah dan ibunya bercerai, lalu ia tinggal di Chicago bersama ibu dan ayah sambungnya. Di usia 17 tahunnya itu, ia memilih kembali ke Sitka, kota kecil di Alaska.
Sesaat ia kembali, tidak ada hal aneh. Sampai ketika ia bertemu sebuah keluarga misterius, ayahnya yang kecelakaan, Joseph dan Damian teman kecil Benjamin bukan manusia, dan seorang gadis cantik bernama Marella.
Bagaimana kisah Benjamin? Simak kisah si tokoh utama ini agar kalian tidak ketinggalan‼️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LIMS OFFICIAL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Out
"Membicarakan sesuatu?" tanya Benjamin mendengar tujuan Esmeralda menemuinya pagi ini. Esmeralda menatap Joseph, Damian, dan Marella. Ketiganya mengerti lalu meninggalkan Benjamin dan Esmeralda yang hendak berbicara 4 mata.
"Ada apa?" tanya Benjamin duduk di seberang Esmeralda. "Kau menerima surat seperti ini bukan?" tanya Esmeralda menunjukkan surat miliknya. Benjamin terkejut.
Apa yang dikatakan Damian benar. Hari ini salah satu anggota keluarga akan datang menemui Benjamin. Dan Esmeralda adalah orangnya.
"Aku.. menerimanya" jawab Benjamin. Esmeralda menghela nafas lelah. "Tapi kami sudah membunuh 2 orang di antara mereka" ujar Benjamin segera memberitahu apa yang mereka lakukan tadi malam.
"Aku juga membunuh 5 di antara mereka tadi malam" jawaban itu membuat Benjamin terkejut. "Kau melawannya sendirian?" tanya Benjamin memastikan. "Ya" jawab Esmeralda dengan santai.
Tadi malam mereka melawan 2 vampir saja sudah begitu melelahkan. Bagaimana dengan Esmeralda yang hanya seorang diri?
"Seharusnya sudah aman bukan?" tanya Benjamin terheran. "Mereka tidak akan menyerah begitu saja, Benjamin. Mereka mengirim anggota keluarga yang menurut mereka kedudukannya tidak penting. Mereka akan terus mengirim anggota keluarga mereka, sampai kita menyerah" jawab Esmeralda menyilangkan kakinya.
"Sebenarnya apa yang membuat mereka begitu menggebu-gebu menginginkan Marella? Apa yang menjadi alasan utama mereka menginginkan darah sejati itu?" tanya Benjamin terheran.
Esmeralda menghela nafas sejenak. "Para vampir menunggu darah sejati itu selama bertahun-tahun bahkan ratusan tahun. Manusia yang terlahir dengan darah sejati biasanya lahir di bulan tertentu. Ketika para vampir mengetahuinya, mereka akan berusaha mendapatkan darahnya. Karena dengan darah itulah, mereka akan semakin abadi dan kekuatannya tidak terkalahkan" penjelasan itu membuat Benjamin paham.
"Itulah yang terjadi pada keluarga Marella. Pada dasarnya keluarga kami menjadi vampir, karena bukan keinginan kami sendiri. Sehingga kami memutuskan untuk menjaganya sejak ia masih berusia 2 tahun" tambah Esmeralda lagi.
"Lalu sekarang apa yang harus aku lakukan?" tanya Benjamin membutuhkan solusi. Sejenak Esmeralda terdiam. "Akhiri hubunganmu dengannya" Benjamin terkejut mendengarnya.
"Hey, yang benar saja. Aku bisa menjaganya Esme, kau bisa lihat sendiri bukan?" Benjamin bangkit berdiri dan tidak terima. "Aku akui kau punya keberanian menghadapi mereka. Tapi cobalah pikirkan masa depanmu, dan keluargamu. Vampir tidak hanya di sekitar Sitka ini saja, mereka ada di mana-mana Benjamin" jawab Esmeralda dengan tenang. Gadis itu masih tetap duduk.
"Kau tidak pernah merasakan yang namanya jatuh cinta. Karena itulah kau mencoba memanipulasi diriku bukan?" Benjamin menjadi marah pada Esmeralda.
Esmeralda masih duduk dengan tenang. "Kenapa? Kau tidak terima? Nasibmu di masa lalu malang bukan? Karena kau dulunya anak penyihir?" tanya Benjamin tidak takut menghadapi vampir terkuat di keluarga Gerald. "Jaga ucapanmu!" Esmeralda menatap tajam dan bangkit berdiri.
"Menjaga ucapanku? Dunia sangat tidak adil" Benjamin berpaling sejenak. "Memang benar kau jauh lebih tua dariku. Sangat jauh, dan apakah itu akan mengubah pikiranku? Tidak!" nada bicara Benjamin kini berubah.
"Kau tidak tahu apapun, Benjamin. Aku menyuruhmu melakukan itu, karena aku tahu apa yang akan terjadi" Esmeralda masih membela diri.
"Maka katakanlah apa yang akan terjadi" mendengar itu Esmeralda mengerutkan keningnya menahan amarah. Manusia di hadapannya berhasil membuatnya kesal.
"Lihat, kau bahkan tidak mau mengatakannya" gumam Benjamin meremehkan. "Atau jangan-jangan, kau berusaha menyelamatkan dirimu? Damian berkata padaku mereka akan membunuhmu lebih dulu. Kau tahu itu bukan? Kau takut?" Benjamin mulai menuduh Esmeralda.
Mendengar itu, Esmeralda terkejut mendengarnya. "Kau menuduhku? Kau pikir aku selemah itu?!" matanya berubah menjadi merah. Ia mencengkram kera baju Benjamin.
"Ya, seharusnya kau melemah karena kau mengetahui kau akan dibunuh. Kau memang terkuat, tapi apakah kau bisa melawan mereka dengan kekuatanmu saja?" Benjamin justru menantang Esmeralda.
"Hey sudah! Apa yang kalian lakukan?!" Jessi akhirnya melerai mereka. Esmeralda melepas cengkraman itu dengan kasar, dan beralih meninggalkan mereka.
"Espe, aku tidak pernah mengajarimu bersikap kasar pada orang lain" Garon mencoba memperingati Esmeralda yang berjalan menuju halaman belakang. Gadis itu berhenti.
"Kau benar, aku tidak pernah merasakan cinta selama aku hidup" jawabnya lalu ia akhirnya menghilang dalam sekejap. Mendengar itu, ada sesuatu yang mengganggu hati Benjamin.
"Ben, kuharap kau memakluminya. Dia benar-benar keras sejak masih kecil" ujar Marella di sana seraya mengusap pelan lengan kekasihnya. Benjamin tersenyum tipis.
"Aku khawatir dia tidak kembali sampai nanti malam" ujar Jessi dengan insting keibuannya. "Biar aku yang berbicara padanya" tawar Joseph segera.
"Josh, aku tidak bermaksud meremahkan dirimu. Dia bahkan begitu membenci Canis" ujar Veronica di sana. "Percayalah padaku" jawab Joseph tersenyum.
......................
"Meminta hubungan kita berakhir?" tanya Marella terkejut mendengarnya. "Aku terlalu berlebihan padanya, seharusnya aku bertanya lebih dulu alasannya" jawab Benjamin ada rasa bersalah.
Marella tidak bisa memihak pada salah satu pihak. "Ben, apa kau tahu Esmeralda tidak lagi bisa merasakan kebahagiaan?" tanya Marella. Mendengar itu Benjamin terkejut.
"Maksudmu?" tanya Benjamin terheran. "Sejak kecil, aku tidak pernah melihatnya tersenyum. Aku hanya mengenalnya sebagai Prislly yang dingin. Ketika aku bertanya pada ayah dan ibu, mereka bilang Esmeralda kehilangan rasa senangnya sejak pertama kali mereka bertemu" jelas Marella.
"Apa ada cara agar ia bisa kembali bahagia?" tanya Benjamin penasaran. "Kami juga tidak tahu. Itulah kenapa ia selalu terlihat diam, ekspresinya datar, tapi dia selalu bersikap tenang. Aku terkejut ia bisa semarah itu. Dia tidak pernah seperti itu sebelumnya" jawab Marella lagi.
"Apa kau tahu masa lalunya?" tanya Benjamin penasaran. "Aku hanya tahu, dia anak seorang penyihir. Setelah itu aku tidak tahu latar belakangnya, sejak awal dia tertutup" jawab Marella menatap lurus ke depan.
"Aku penasaran apakah Joseph bisa membujuknya" gumam Benjamin terkekeh. "Kau lebih payah. Kau justru mengharapkan orang lain" ledek Marella. "Hahaha. Benar juga" gumam Benjamin.
Di sisi lain, "Kau tidak lapar? Di ujung sana ada seekor rusa" tanya Joseph menunggu Esmeralda meluapkan emosinya. Sudah ada sekitar 5 pohon besar yang tumbang karena gadis itu.
Esmeralda tidak menjawab. Joseph menghela nafas. "Dia juga pasti merasa bersalah sekarang" ujar Joseph lagi. Mendengar itu, Esmeralda berhenti.
"Memangnya manusia pernah merasa mereka salah? Manusia itu egois" jawab Esmeralda segera. "Aku akui dia memang keras kepala. Tapi dia punya pilihan. Kita tidak bisa memaksanya" Joseph terus mencoba memancing gadis itu.
Esmeralda terdiam. Joseph benar. Benjamin dan Marella adalah manusia, dan mereka punya pilihan hidup. Sementara dia tidak.
"Kau khawatir nasib mereka sama seperti ayah ibumu bukan?" tanya Joseph dengan tenang. "Aku benci diriku yang dulu" jawab Esmeralda berbalik.
"Seandainya mereka tidak bersama, pasti mereka tetap hidup" gumam Esmeralda mengingat kedua orang tua kandungnya. "Tapi jika mereka tidak bersama, kau tidak akan lahir" jawab Joseph.
"Kau hanya kehilangan arah. Sehingga kau menganggap bahwa cinta itu hanya akan menghancurkan segalanya" ujar Joseph bersandar di sebuah pohon. Esmeralda merenung.
"Mungkin sekarang kau akan menganggap cinta mereka akan menghancurkan nasib mereka. Tapi jika nanti mereka justru saling melindungi, apa yang akan kau lakukan?" tanya Joseph.
Esmeralda kembali terdiam. Joseph berhasil membuatnya terdiam dengan berbagai pernyataan. "Kau sendiri tidak bisa menjawabnya bukan? Aku tidak bermaksud menekanmu. Tenang saja, aku juga akan menghajarnya karena menuduhmu takut pada mereka" Joseph hendak meninggalkannya.
"Apa menurutmu mereka akan baik-baik saja?" tanya Esmeralda ragu, dan masih membelakangi Joseph.
"Tidak" jawab Joseph tanpa berbalik. "Kenapa?" tanya Esmeralda terheran. "Benjamin manusia, dan selamanya dia tidak akan bisa menjaga adikmu. Mereka membutuhkan orang lain. Marella masih membutuhkanmu, Esmeralda" jawab Joseph terkekeh. "Benarkah?" tanya Esmeralda kali ini menoleh ke belakang.
"Hahaha. Aku bahkan tidak tahu apakah besok aku masih hidup atau tidak mengingat Damian sudah menggali semua informasi yang ada. Yang terpenting, adalah aku bisa menjaga Benjamin, dan dengan begitu Marella juga aman" jawab Joseph tertawa kecil.
"Dia menganggapku seolah-olah aku takut untuk menemui kematian yang sesungguhnya. Itu adalah hal yang paling kubenci" ujar Esmeralda mulai membereskan kekacauan yang diperbuatnya.
"Hahaha, kau jauh lebih tua darinya. Tapi kau justru marah pada ucapan seseorang yang bagi usiamu dia adalah anak kecil" ledek Joseph berbalik seraya tertawa puas mendengarnya.
Esmeralda yang emosi melemparkan sebatang pohon. Joseph berhasil mengelaknya dengan jantung berdebar kencang, "Aku menyarankanmu untuk mengurangi keinginan membunuhmu," saran Joseph pada Esmeralda yang masih sibuk membereskan kekacauan yang diperbuatnya.
"Aku muak mendengarmu, pergilah dari hadapanku. Atau aku akan membekukan dirimu dengan es milikku"
"Benarkah? Aku bisa mencair, ini musim panas"
"Jangan menguras kesabaranku, Joseph"
"Hahaha. Marella benar, yang kau tahu hanyalah marah-marah. Mungkin karena kau terlalu lama hidup"
"Sifatmu benar-benar sama seperti anjing"
"Kejam sekali"
Hening beberapa saat. Joseph tersenyum memperhatikan gadis itu lalu, "Hey.. Esmeralda," panggil Joseph hendak mengatakan sesuatu. "Hmm?" Esmeralda masih sibuk.
"Ketahuilah, bahwa kau terlalu kuat sehingga mereka mencoba membunuhmu. Jadi jangan dengarkan ucapan bocah" setelahnya Joseph meninggalkan Esmeralda.
Gadis itu terdiam. "Kuat, yah?" gumam Esmeralda memperhatikan telapan tangannya.
Ketika hari sudah semakin sore, Benjamin mengantar Marella kembali. Dan ia juga akan menjemput Joseph dan Damian.
Ketika mereka keluar dari dalam mobil. "Aku jadi merasa tidak layak menginjakkan kaki di rumah ini" bisik Benjamin pada Marella. Gadis itu tertawa kecil mendengarnya. "Semua akan baik-baik saja" jawab Marella. Benjamin menghentikan langkahnya.
"What?" tanya Marella terheran. "Mungkin aku menunggu mereka di sini, katakan pada mereka aku menunggu di bawah" ujar Benjamin tersenyum.
Marella paham situasi canggung itu. Jadi ia tidak memaksakan Benjamin untuk masuk ke dalam. Ia akhirnya memasuki rumah.
"Kau sudah kembali?" tanya Marella ketika melihat Esmeralda merebahkan dirinya di sofa dan membaca buku. "Sudah" jawab Esmeralda.
"Di mana kekasihmu?" tanya Esmeralda mengubah posisinya menjadi duduk dan bangkit berdiri. "Dia menunggu di dalam mobil" jawab Marella.
"Apa yang kau ributkan dengannya tadi?" tanya Marella memancing Esmeralda yang hendak memasuki kamarnya. Saudarinya itu menghentikan langkahnya. "Aku mengenalmu sebagai orang yang cerdas, Marella. Jangan menjadi bodoh karena kekasihmu itu" jawab Esmeralda dan ia akhirnya kembali ke kamarnya.
Marella yang mendengar itu hanya bisa menghela nafas memaklumi. Ini yang akan dilakukan Esmeralda ketika ia marah pada seseorang. Ia akan terus menyalahkan orang itu.
Marella memilih pergi ke lantai 2. Mendapati Joseph sedang menikmati seporsi sandwich, sementara Patrick dan Damian menonton televisi.
"Yang benar saja. Kenapa mereka semakin berani membunuh manusia?" gumam Patrick mematikan televisi setelah ia mendengar siaran di sana. "Mereka terlalu naif" jawab Damian terkekeh.
"Kalian sudah kembali? Di mana Benjamin?" tanya Joseph menyadari Marella di sana. "Dia menunggu kalian di mobil" jawab Marella tertawa kecil.
"Hahaha. Dia berani juga mengusik Espe. Nyalinya besar sekali" ujar Patrick bangkit berdiri. "Kau berjumpa dengan Esmeralda?" tanya Joseph menghampiri gadis itu.
"Tentu, setelah dia kembali ke dalam kamarnya" jawab Marella mengangguk-angguk kecil.
"Dami, ayo pulang. Aku tidak tega membiarkannya menunggu kita terlalu lama" Joseph akhirnya menyelesaikan acara makannya.
Damian akhirnya bangkit berdiri dan mengikuti Joseph dari belakang. Marella mengantar kedua teman kekasihnya sampai di depan pintu.
"Berhati-hatilah" pesan Marella sebelum mereka benar-benar pergi. "Ya, jika ada sesuatu hubungi aku" jawab Benjamin tersenyum. Marella mengangguk paham.
Mereka akhirnya pulang. "Terjadi perang dingin antara dia dan kakak kesayanganmu" ujar Sharon mengejutkan Marella. "Kau punya kebiasaan buruk, Sharon" gumam Marella jantungan.
"Apa mereka sudah saling memaafkan?" tanya Sharon penasaran. "Dari cara ia menjawab pertanyaanku, sepertinya Prislly ogah-ogahan memaafkannya" jawab Marella terkekeh.
"Itu biasa terjadi" ujar Sharon akhirnya masuk ke dalam rumah. "Hey, Sharon. Apa kau pernah jatuh cinta?" tanya Marella penasaran. "Di masa lalu" jawab Sharon segera.
"Lalu kenapa kau tidak menikah saja dengan orang yang kau cintai?" tanya Marella terheran. "Cinta itu buta. Aku adalah salah satu gambaran pepatah itu" jawab Sharon menghentikan langkahnya.
"Memangnya apa yang terjadi? Kau tidak pernah menceritakan kisah percintaanmu padaku" Marella mencoba menggali informasi.
"Yah, aku sempat mendengar pertengkaran kekasihmu dan Espe. Kusimpulkan bahwa Benjamin tidak terima Espe ingin hubungan kalian berakhir. Jadi itu adalah sumber utama. Bisa kubilang, itu adalah kekuatan cinta tapi juga kelemahan"
Marella dibuat bingung dengan penjelasan Sharon. "Singkatnya, cinta itu bisa terlihat kuat ketika setara, tapi lemah di saat bersamaan karena memperjuangkan segalanya" Sharon kembali menjelaskan ulang maksudnya.
Marella mengangguk-angguk kecil. "Mungkin karena Espe tidak mengencani seseorang, dia berpikir bahwa cinta hanya akan menghancurkan satu sama lain" gumam Sharon seraya terkekeh.
Di sisi lain, "Kau memikirkan masalahmu dengan saudari terdekatnya bukan?" tanya Joseph duduk di sebelah Benjamin.
"Aku merasa apa yang kukatakan ada benarnya. Dia memintaku melakukan itu, seolah dia ingin menyelamatkan dirinya sendiri" jawab Benjamin merasa benar tapi juga ada rasa bersalah di saat yang bersamaan.
"Dia juga peduli pada keselamatanmu, Ben" ujar Joseph segera. "Bagaimana kau tahu? Bisa saja dia menggunakan alasan aku adalah manusia bukan?" tanya Benjamin terheran.
"Sadar ataupun tidak, sudah beberapa kali kau terlibat masalah dengan vampir. Dia hanya ingin melepaskan belenggu itu darimu. Karena menurutnya, kau tak mampu menjaga Marella seorang diri. Esmeralda tidak ingin kau terjerumus pada masalah lebih jauh, apalagi ini sudah berkaitan dengan bangsawan" Joseph menjelaskan dengan tenang dan sabar.
Salah satu sifat Benjamin yang sulit ditangani orang lain adalah, dirinya yang tidak mau kalah.
Benjamin terdiam. Apa yang dikatakan Joseph benar. Akhir-akhir ini, tidak hanya satu atau dua masalah yang datang. Berkali-kali ia hampir mati. Dan semua ini terjadi sejak ia mengenal keluarga Gerald seakan keluarga itu mulai menariknya lebih jauh lagi. "Tapi jangan pernah berpikir mengakhiri hubunganmu dengannya" pesan Joseph.
Benjamin menatap Joseph ragu. "Jika kau benar-benar ingin mempelajari berbagai hal tentang vampir dan manusia serigala, tanyakanlah pada Damian. Dia pandai mengorek informasi" saran Joseph seraya memperhatikan Damian yang bermain-main dengan anak-anak tetangga.
"Aku penasaran, vampir akan memiliki kekuatan mereka masing-masing. Kira-kira Damian memiliki kekuatan apa, yah?" ujar Benjamin terkekeh.
"Hahaha, aku tidak pernah melihat dia menggunakan kekuatannya" jawab Joseph tertawa.
......................
"Aku pulang" gumam Benjamin memasuki rumah. "Kau menikmati akhir pekanmu?" tanya Bernadez duduk santai di ruang makan seraya menikmati secangkir kopi hangat.
"Tentu saja" jawab Benjamin berbohong. Bernandez menyadari gelagat aneh putranya. "Ayah aku ingin bertanya sesuatu padamu" ujar Benjamin teringat sesuatu dan duduk di seberang ayahnya.
"Mengenai?" tanya Bernandez terheran. "Apa dulu ketika kau muda, ayah mendengar suara seseorang yang asing dan mengatakan sesuatu yang akan terjadi?" tanya Benjamin penasaran.
"Tidak. Kau mengalaminya?" tanya Bernandez balik. "Tidak, Damian bercerita mengenai hal itu" jawab Benjamin terkekeh. Lagi-lagi ia berbohong. Bernandez menyadari putranya 2x berbohong.
"Mungkin dia mendengar suara hantu" ujar Bernandez. Benjamin tertawa mendengarnya. "Apa ayah bisa bertanya sesuatu padamu?" tanya Bernandez menghentikan acara membaca korannya.
"Tentu saja. Apa yang ayah ingin tanyakan?" tanya Benjamin balik. Lalu, "Bisakah kau memberitahu latar belakang keluarga kekasihmu? Aku ingin mengenalnya lebih jauh"