Cinta memang gila, bahkan aku berani menikahi seorang wanita yang dianggap sebagai malaikat maut bagi setiap lelaki yang menikahinya, aku tak peduli karena aku percaya jika maut ada di tangan Tuhan. Menurut kalian apa aku akan mati setelah menikahi Marni sama seperti suami Marni sebelumnya???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Its Zahra CHAN Gacha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11. Aksi pertama
Bibir Marni bergerak cepat merapalkan sesuatu. Bukan tembang jawa seperti kemarin karena kali ini tak ada nada. Hanya gerak bibir yang cepat mengucapkan kalimat dalam bahasa Jawa.
Tak lama suasana berubah hening, suara berisik di atap kamar seketika berhenti. Amar memberanikan diri mendekati Marni. Wanita itu masih melotot. Amar mulai membaca ayat demi ayat ruqyah yang diberikan oleh Ustadz Gani. Marni tak menunjukkan reaksi apapun selain kelopak matanya yang berubah menutup. Ia seperti menikmati apa yang dilantunkan oleh suaminya.
Namun tiba-tiba netranya kembali terbuka saat Amar membaca surat Al Falaq.Ia tersenyum menampilkan deretan giginya yang hitam.
Semeru menghentikan bacaannya saat melihat perubahan gigi istrinya. Marni yang memiliki gigi putih bersih tiba-tiba berubah menjadi hitam, tentu saja membuat pria itu kaget.
"Bacaan mu itu keliru le. Nun mati bila ketemu syin harusnya dibaca ikhfa ming syarri, bukan min syarri," ucap Marni membuat Amar menganga dibuatnya
"Di akhir ayat itu bacaan qalqalah le, jadi harus di baca kuat dan memantul, Falaq (e)," imbuhnya mencontohkan bacaan qalqalah kepada Amar
Masih dengan senyuman tipisnya Marni merubah posisinya menjadi duduk bersila saat mengoreksi bacaan suaminya. Amar merasa sorotan mata Marni berbeda. Ia seperti orang lain.
Sorot matanya teduh sama seperti Surti saat tengah menasihatinya. Ia bahkan memanggilnya dengan sebutan Le. Sebuah panggilan anak lelaki khas orang Jawa. Hanya orang tua yang memanggilnya dengan sebutan Le. Jadi jelas jika wanita di hadapannya bukan Marni.
Namun Amat hanya diam dan terperangah. Sampai mulutnya terbuka.
"Aku tak turu sek yo le. Ngantuk, terusno ngajimu, ( aku tidur dulu ya nak, ngantuk, teruskan ngajimu ), " ucap Marni kemudian membaringkan tubuhnya.
Setelah memastikan Marni terlelap Amar pun pergi meninggalkan. Ia sengaja mengunci pintu kamarnya.
Ia mengetuk pintu kamar orang tuanya dan menceritakan apa yang baru saja terjadi dengan istrinya kepada kedua orang tuanya.
Paijo hanya geleng-geleng kepala saat mendengar putra semata wayangnya itu bercerita. Pria itu terus mendesak Amar untuk segera bertindak. Pengobatan yang dianjurkan oleh temannya ada beberapa, namun ia memilih untuk menggunakan semut rangrang untuk mengobati Marni karena dianggap tidak terlalu beresiko.
Keesokan harinya Paijo mengajak Amar ke hutan. Keduanya menatap kearah rerimbunan pohon mencari binatang yang mereka cari. Dengan berbekal sebuah serokan, sarung tangan dan baju anti lebah, keduanya siap berburu.
Paijo segera mengambil sebuah serokan dan mengguncang sarang semut Rangrang yang ada di sebuah pohon mahoni.
"Kamu sengget yang di sebelah le, itu kayaknya ada banyak," ucap Paijo menunjuk kearah pohon yang lumayan tinggi.
Amar segera menggerakkan serokannya kw pohon yang ditunjuk sang ayah. Namun siaonya serokan itu tak bisa menjangkau sarang semut tersebut karena pohon terlalu tinggi. Ia pun. Berpikir untuk memanjat pohon tersebut.
Amar segera melepaskan sandalnya dan memanjat pohon tersebut.
"Hati-hati le," teriak Paijo
Dengan cepat Amar mampu mengambil daun yang berbentuk bulatan yang dijadikan sebagai sarang semut di pohon tersebut.
Dengan menggunakan sarung tangan dan juga baju anti lebah, Amar bisa membawanya hingga ke bawah.
Setelah berburu satu karung semut Rangrang, ayah dan anak itu memutuskan untuk pulang. Amar dan Paijo sengaja mencari semut Rangrang untuk mengobati Marni sesuai perintah Sri wanita yang mereka temui kemarin.
Di tempat lain, Surti tak berkedip memata-matai menantunya Marni. Wanita itu terlihat sibuk di dapur seperti sedang membuat sesuatu. Surti tak bisa melihat dengan jelas apa yang dibuat oleh menantunya itu.
Cukup lama Marni membuat kerajinan itu, entah apa yang dibuatnya namun sekilas Surti melihat ada banyak tali dan dedaunan di tangan Marni.
Surti kembali bersembunyi saat Marni membalikkan badannya. Wanita itu membawa hasil karyanya ke kamarnya. Ia kemudian mengunci rapat-rapat pintu kamarnya sehingga Surti tak bisa melihat apa yang dilakukan olehnya.
Surti hanya mendengus kesal saatnya tak bisa memata-matai menantunya itu. Ia pun bergegas keluar dan duduk di beranda rumahnya, menunggu kedatangan suami dan anak lelakinya.
"Olah Mar, Mar, mbok kalau cari istri itu yang jelas bibir bebek bobotnya Jangan cuma asal cantik saja jadi begini deh akhirnya bikin geger satu kampung saja!" celetuk Marni saat melihat putranya kembali dari hutan
"Memangnya ada apa toh bu?" tanya Paijo
Sementara Amar hanya diam, pria itu tak berani menjawab pertanyaan sang ibu, karena ia merasa bersalah tak menuruti ucapannya saat hendak menikahi Marni.
Ia sudah dibutakan oleh cinta sehingga menolak wanita pilihan sang ibu.
"Marni itu kayaknya memang ngelmu Pak, tadi aku lihat dia seperti membuat sesuatu lalu masuk ke kamarnya dan menguncinya. Kayaknya dia tahu aku mengawasinya makanya sengaja kamarnya di kunci agar aku tidak bisa melihat apa yang dilakukannya,"
"Jangan suudzon Bu, gak mungkin Marni seperti itu, dia itu rajin sholat, bahkan ilmu pengetahuannya lebih tinggi daripada Amar!" tepis Amar
"Terserah kamu saja le, kamu itu sudah tahu istrimu seperti itu masih saja di bela. Namanya wong ngelmu itu ya gak Mandang toh le. Banyak kok ustadz - ustadz yang ngelmu juga, jadi jangan terlalu naif!" sahut Surti
Kali ini Amar tak mau menjawab ucapan sang ibu, ia tak mau berdebat dengan wanita itu.
"Sekarang Marni dimana?" Paijo
"Dikamarnya, seharian tadi dia di dapur membuat buntelan dari daun banyak sekali terus dibawanya ke kamar," jawab Surti
Paijo kemudian memberikan karung berisi rangrang kepada Surti. Ia memerintahkan kepada putranya itu untuk segera melakukan apa yang mereka sudah rencanakan.
"Sekarang saatnya le," ucap Paijo
Amar mengangguk paham.
Ia memutuskan mandi lebih dulu sebelum menemui Marni.
Selesai Mandi ia mengetuk pelan pintu kamarnya.
"Dek," ucapnya berusaha memanggil sang istri namun tak ada jawaban.
Ia membuka knop pintu pelan. Pintu terbuka dan ia bisa melihat Marni menggunakan kain putih sedang duduk melaksanakan sholat.
Rupanya ia tak mendengar adzan dhuhur saat tengah mencari semut Rangrang. Ia mengurungkan niatnya untuk masuk. Amar justru kembali ke jamban untuk mengambil air wudhu.
Saat ia kembali dilihatnya Marni tengah menyiapkan sajadah dan sarung. Keduanya saling melempar senyum. Tak lupa Amar berterimakasih kepada Marni karena sudah mempersiapkan semuanya.
Melihat suaminya selesai sholat Marni segera mencium punggung tangan suaminya itu dengan lembut.
Betapa bahagianya Amar jika Marni adalah wanita normal seperti sekarang. sekilas tidak ada yang salah dengan Marni, Ia sama seperti wanita normal lainnya.
Hanya menunggu waktu saja, Marni pasti bisa seperti wanita normal lainnya pikir Amar. Ia hanya perlu sabar dan menerima Marni apa adanya. Lagipula ia tidak berbahaya bahkan makhluk lain yang ada di tubuh Marni jauh lebih religius dari dirinya. Ia hanya perlu siap hidup berdampingan dengan makhluk itu. Tapi bagaimana dengan sex, apakah ia bisa menahannya???.
Amar berkata dalam hati. Pria itu terus mengamati Marni yang tengah merapikan alat sholatnya.
"Mas??"
"Iya," jawab Amar tergagap mendengar Marni memanggilnya
"Hari ini aku masak kesukaan mu, kamu makan sekarang atau nanti?" tanya Marni
"Sekarang saja," jawab Amar kemudian mengandeng lengan istrinya menuju ruang makan.
"Gak nunggu bapak sama ibu?" tanya Marni
"Sepertinya mereka pergi, mungkin ada urusan," jawab Amar
"Ya sudah kalau begitu,"
Dengan sigap Marni mengambilkan menu makanan untuk suaminya. Keduanya pun menikmati makan siangnya tanpa Surti dan Paijo yang pergi entah kemana.
Marni begitu senang melihat Amar yang begitu lahap siang itu.. Mungkin karena lelah seharian mencari rangrang Amar makan begitu lahap.
Selesai makan Amar mengajak Marni tidur siang. Marni pun tak menolak ia segera masuk menyusul sang suami. Sementara Marni merapikan tempat tidurnya Amar justru membuka jendela kamarnya agar cahaya matahari bisa masuk.
Tiba-tiba ia terkejut melihat sesuatu tergantung di atas jendela.
"Apa ini, apa benda ini yang dimaksud ibu?" gumamnya