Yessi Tidak menduga ada seseorang yang diam-diam selalu memperhatikannya.
Pria yang datang di tengah malam. Pria yang berhasil membuat Yessi menyukainya dan jatuh cinta begitu dalam.
Tapi, bagaimana jika pacar dari masa lalu sang pria datang membawa gadis kecil hasil hubungan pria tersebut dengan wanita itu di saat Yessi sudah ternodai dan pria tersebut siap bertanggung jawab?
Manakah yang akan di pilih? Yessi atau Putrinya yang menginginkan keluarga utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baby Ara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
"Mas, tanganmu berdarah!"
"Jangan mendekat!"
larang Sean pada Yessi yang akan mendekatinya seketika langkah Yessi berhenti mendadak.
"Saya tidak apa-apa. Permisi."
Blam!
Pintu apartemen milik Sean berbunyi kasar kala pria berotot itu menutupnya. Meninggalkan Yessi yang begitu keheranan akan sikap aneh yang di tunjukan Sean. Yessi yakin itu darah karena masih terlihat merah dilantai dan berbau amis.
"Dia terluka karena apa ya? Apa kecelakaan? Tapi, kenapa gak pergi kerumah sakit? " gumam Yessi memikirkan Sean.
Merasa itu bukan urusannya, Yessi melanjutkan langkah menuju apartemen Mentari. Tiba disana, sahabatnya itu tengah memakan semangkuk mie sambil menonton film action di ruang tamu. Yessi pun bercerita kejadian apa yang ia alami malam ini sembari keduanya lesehan di karpet berbulu depan tv.
"Lo yakin lihat darah?" tanya Mentari setelah meneguk air es.
"Yakin seratus persen, Tar. Menurut lo aneh gak sih?"
Mentari mengetuk dagunya dengan mata menyipit tengah berpikir. "Lo harus pasang cctv," nasehatnya namun mendapat lemparan bantal sofa dari Yessi.
"Gila aja. Masa dalam kamar ada cctv? Gak mau gue."
Mentari melempar balik bantal hingga mengenai wajah Yessi membuat gadis itu mendengus kesal. "Sakit, ege!"
"Yes, percaya sama gue. Jika ada sesuatu yang gak beres itu pasti ada sebabnya. Jangan di sepelekan. Pokoknya, besok kita suruh Bima pasang cctv di apartemen loh," tunjuk Mentari pada Yessi yang menghela napas panjang.
"Oke. Ngomong-ngomong, tentang Bima. Anak itu nomornya gak aktif loh."
Mentari sukses menunjukkan wajah keheranan. Bima tidak pernah bisa jauh dari ponselnya bahkan laki-laki muda itu sampai membawa powerbank kemana-mana. Karena Bima adalah seorang gamer terkenal yang menyembunyikan identitasnya.
"Masa sih?" Mentari menarik ponselnya di atas meja, tapi sebelumnya menatap kembali Yessi. "Lo udah hubungi Bimo?"
Yessi menggeleng lesu. "Gue gak save nomor Bimo."
"Kebiasaan," cibir Mentari. "Mentang-mentang, Bima yang mau jadi pacarnya. Kembarannya dilupain."
Yessi berdecak kesal karenanya. Tapi, dalam hati Yessi tak bisa berbohong. Ia memang menyukai Bima. Suka karena laki-laki itu selalu baik pada Yessi. Semua tugas Yessi terkadang Bima yang mengerjakan.
Bima bagai malaikat penolong untuk Yessi.
Belum Mentari memanggil nomor Bimo, laki-laki remaja itu sudah lebih dulu memanggilnya.
"Panjang umur ini anak," ucap Mentari.
Menerima panggilan lalu menekan tombol loudspeaker agar Yessi ikut mendengar apa yang akan laki-laki itu katakan.
"Hal--" kata-kata Mentari dipotong Bimo.
"Tar, tolong suruh abang gue pulang ya. Ini mommy gue udah nyariin dia sampai nangis-nangis."
Yessi dan Mentari serempak saling pandang. Suara isak tangis memang terdengar dari tempat Bimo, diikuti suara Bimo yang berusaha menenangkan mommy nya.
"Tunggu, Bima belum nyampe rumah?" tanya Yessi dengan jantung berdetak kencang.
Kedua tangannya saling meremas. Pikiran-pikiran buruk tentang mimpinya tadi mulai berputar bagai kaset rusak di otak Yessi.
"Halo, Yes. Emang Bima udah pulang dari sana? Gue hubungin nomornya gak aktif. Gue kira masih di tempat kalian. Duh, itu anak. Keluyuran dimana lagi? Udah tahu, mommy gue nih posesif banget sama anak-anaknya."
Bukan apa-apa, Bima dan Bimo adalah anak hasil program bayi tabung. Mommy keduanya itu susah memiliki keturunan secara alami dikarenakan kedua indung telurnya di tumbuhi kista. Program bayi tabung itu pun berhasil, setelah mencoba ketiga kalinya dan berakhir rahim mommy Bima dan Bimo di angkat.
Deg!
"Yes, lo kok nangis?"
Wajah Yessi sudah bersimbah airmata di sampingnya. Entah kenapa, Yessi benar-benar ketakutan sekarang. Yessi mengusap kasar wajahnya dengan tangan mulai berubah mendingin.
"Bim, coba lo lacak posisi terakhir Bima dimana?" usul Yessi dengan suaranya bergetar.
"Oke. Gue coba. Sebentar."
Beberapa menit kemudian, suara Bimo terdengar kembali. "Posisi terakhir Bima di gedung apartemen kalian. Tapi sedikit aneh, tadi gue coba telpon pake ponsel nyokap. Sempat aktif terus gak tersambung lagi dan posisinya masih sama. Gedung tempat kalian tinggal."
Bahu Yessi meluruh seketika. Mentari melihat Yessi seperti mengalami shock. Ijin pada Bima untuk memutus panggilan.
"Bim, kalo gitu kita disini bakal cari Bima. Nanti, gue kabarin lo lagi. Sekarang, gue tutup dulu."
"Oke. Langsung kabarin gue ya."
Tut!
Mentari mendekati Yessi. Menyentuh pelan pundak bergetar sahabatnya itu.
"Hei ... Yes, percaya sama gue. Mimpi lo gak benar. Bima pasti baik-baik aja."
Tes!
Airmata Yessi semakin banyak terjatuh. Ia menarik cepat tangan Mentari mengajaknya berdiri.
"Bantu gue, Tar. Cari Bima. Please ...."
"Ada apa ini?"
Arga tiba-tiba muncul, masih mengenakan stelan jasnya setelah menyimpan sepatu di rak samping pintu masuk. Pria berumur 25 tahunan itu memandang bergantian adiknya dan Yessi.
Mentari tanpa menunda, menceritakan semuanya menyangkut tentang Bima. Alis Arga spontan bertaut. Merasakan sebuah kejanggalan. Tak urung, tangan besar pria itu mengusap kepala Yessi masih menangis.
"Tenang, Abang bantu kalian cari Bima. Kita coba minta izin cek cctv gedung ini. Biar tahu taksi model apa yang Bima tumpangi."
Yessi reflek mengangguk setuju. Arga memang dikenal akan kejeniusannya dalam menganalisa sesuatu. Bahkan dulu, Arga sempat akan menjadi detektif. Sayangnya, tidak bisa karena kematian kedua orang tuanya hingga Arga terpaksa harus menduduki jabatan sebagai Ceo.
Ketiganya lalu pergi ke ruang keamanan gedung. Bertepatan dengan Regan terlihat sedang berbicara dengan seorang penjaga di depan ruangan tersebut.
"Selamat malam, pak," ucap Arga memberi salam.
"Malam, ada apa ya, mas?" balas penjaga berbaju dinas hitam tersebut.
Sedang Regan, tidak mengatakan apapun. Berdiam diri dengan wajah dingin dan tangan masuk kesaku.
Yessi tak berani melirik Regan karena tatapan pria itu sangatlah dingin.
"Begini, Pak. Kami ijin ingin melihat cctv di depan gedung."
"Untuk apa?" kali ini, Regan menyahuti. Tapi, tidak ada keramahan di wajahnya. Sekalipun pada Arga.
Arga lalu menceritakan semuanya perihal mengapa mereka ingin melihat cctv. Meskipun, kecil kemungkinan diijinkan.
Regan terlihat menarik napasnya. "Yakin dia di culik?"
Yessi mendengar itu, merasa marah pada Regan. Seolah-olah, mengentengkan semuanya. Yessi melangkah maju kedepan Regan dengan wajah merah padam, mengabaikan tarikan tangan Mentari yang berusaha mencegahnya.
"Kenapa? Memang hanya wanita bisa di culik. Jaman modern seperti sekarang. Penculikan tidak memandang gender. Siapa saja bisa menjadi korban. Mas hanya OB disini. Jadi jaga sikap!"
"Yessi ...." Arga menarik mundur Yessi. Membawa pada pelukannya. Tanpa tahu, ada seseorang yang begitu panas hati melihat itu.
"Maafkan, adik saya, mas. Dia sedang terbawa emosi," kata Arga menjelaskan pada Regan yang jakunnya terlihat naik turun lalu pria itu berlalu tanpa kata.
Yessi tidak perduli, jikalau Regan marah karena perkataannya yang terkesan menghina pekerjaan pria dingin tersebut.
Arga beralih pada bapak penjaga. Dia tidak ambil hati sikap Regan, karena keduanya sempat berpapasan beberapa kali. Regan selalu mengabaikan sapaannya seperti seseorang yang memiliki dendam kesumat.
"Bagaimana Pak, apa kami bisa melihat cctv?"
"Begini, mas. Bukan tidak mengijinkan, tapi, siang tadi cctv depan gedung hingga parkiran mati total. Sekarang sedang di perbaiki."
Yessi menyembunyikan wajah dan tangisnya di dada bidang Arga. Entah kenapa, tangisnya tidak mau berhenti. Mentari mengusap punggung Yessi lembut.
"Yes ... Jangan nangis dong. Bima pasti ketemu kok," hibur Mentari. Arga kini bingung, bagaimana mereka akan mencari Bima.
Tiba-tiba keluar lagi, seorang penjaga membawa ponsel ditangannya. Ia menyodorkan pada teman sejawatnya itu. Ponsel yang dayanya sudah terisi penuh.
"Nih, baterainya udah full. Itu berdering terus. diangkat," beritahunya.
Mentari menyipit, merasa mengenali ponsel berlogo apel dengan warna hitam tersebut.
"Yes ... Yes, itu bukannya ponsel Bima?" bisik Mentari dari samping Yessi.
Sontak, Yessi memutar kepalanya cepat kearah di tunjuk Mentari. Matanya membelalak. Itu benar ponsel Bima. Karena di belakangnya, ada foto Bima dan Yessi. Dimana Bima, mencium keningnya dengan mesra dengan tangan merangkul pinggang Yessi.
Tanpa permisi, Yessi merebut ponsel itu hingga bapak penjaga akan mengangkat panggilan terdiam karena aksi spontan Yessi.
"Yes, jangan gitu, dek," nasehat Arga.
"Ini ponsel Bima, bang ... Hiks ..." Yessi semakin menangis menjadi-jadi.
"Bapak dimana menemukan ponsel ini?" tuntut Yessi seraya mendekat.
"Oh, itu milik teman adek ya. Bukan bapak yang menemukan. Tapi, mas Regan di parkiran saat akan buang sampah tadi sore."
Penjelasan bapak penjaga membuat Yessi seketika merasa bersalah pada Regan. Yessi menunduk dengan wajah malu, mereka jelas mendengar bagaimana Yessi mengatai Regan. Yessi berhutang maaf pada pria dingin itu.