"Mengemislah!"
Awalnya hubungan mereka hanya sebatas transaksional diatas ranjang, namun Kirana tak pernah menyangka akan terjerat dalam genggaman laki-laki pemaksa bernama Ailard, seorang duda beranak satu yang menjerat segala kehidupannya sejak ia mendapati dirinya dalam panggung pelelangan.
Kiran berusaha mencari cara untuk mendapatkan kembali kebebasannya dan berjuang untuk tetap teguh di tengah lingkungan yang menekan dan penuh intrik. Sementara itu, Ailard, dengan segala sifat dominannya terus mengikat Kiran untuk tetap berada dibawah kendalinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lifahli, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Mengemis
...Happy reading!...
...•••...
Selama tiga tahun, Kirana telah terperangkap dalam lingkaran hutang yang tampaknya tak kunjung usai. Walau jumlahnya tak lagi sebesar dulu, harga diri Kiran telah direndahkan oleh Ailard hingga titik terendah. Duda dominan itu memainkan kontrol dengan cermat, menekan hasratnya dan jarang menyentuh Kiran, membuatnya tidak mudah mendapatkan uang darinya. Satu-satunya penghasilan yang ia dapat adalah gaji standar sebagai pengasuh putri Ailard, sama seperti pengasuh anak lainnya.
Namun, jika Kiran ingin lebih dari itu, ia harus merendahkan diri. Ia terpaksa merayu, memohon, bahkan mempersiapkan diri untuk memberikan performa ber*inta yang memuaskan—hanya dengan itu, ia bisa mendapatkan nominal yang lebih besar dari Ailard. Sebuah permainan yang melelahkan, namun Kiran terjebak di dalamnya, sulit untuk keluar.
•••
"Rose, mau makan buah anggur?"
"Mau Papa! Rose mau buah anggur!" seru balita berusia empat tahun itu sambil melompat kegirangan.
Kiran hanya tersenyum samar saat melihat interaksi antara Ailard dan putrinya. Semua kehangatan yang diberikan Ailard sepenuhnya ditujukan untuk putrinya. Itulah suasana satu-satunya yang tersisa normal dirumah megah pria itu.
"Sini papa gendong," Ailard mengangkat tubuh ringan putrinya dan ia letakan di pangkuannya.
Ailard melempar pandang singkat ke arah Kiran, tanpa kata-kata, lalu kembali fokus pada Rose yang terus merengek ingin anggur.
"Mbak Kiran, sini mendekat. Jangan berdiri seperti itu, aku mau disuapi sama Mbak juga!" Rose meminta Kiran untuk duduk disamping ayahnya tetapi Kiran tak cukup punya nyali kala tatapan tajam pria itu mengarah padanya.
"Mbak disini saja, gapapa."
"Duduk disamping saya." Ujarnya dingin.
Kiran menahan napas sejenak, merasakan atmosfir dingin yang tiba-tiba muncul di antara mereka. Tatapan tajam Ailard seakan memaku langkahnya. Ia tahu betul bahwa tidak ada yang bisa menentang pria itu.
Perlahan, dengan hati-hati, Kiran melangkah mendekat dan duduk di samping Ailard, merasa tekanan yang tiba-tiba menyeruak dalam dirinya. Rose tersenyum riang, tak menyadari ketegangan yang terasa di antara orang dewasa itu.
"Sini, Rose, makan lagi ya," ujar Kiran dengan lembut, berusaha mengalihkan perhatiannya pada anak kecil itu, sementara Ailard tetap diam, mengamati setiap gerakan Kirana.
"Papa..." Rose memanggil lucu, Ailard menunduk menatap putri cantiknya.
"Iya sayang, kenapa?"
"Minggu depan Rose akan tampil bernyanyi spesial untuk hari ibu, Papa..." Suaranya mengecil, Ailard lebih memusatkan perhatiannya seratus persen pada Rose saat anak gadisnya mulai membicarakan tentang orang tua perempuan.
"Boleh tidak Mbak Kiran jadi Mama Rose sementara? Hanya untuk satu hari saja kok." Begitu suaranya bergetar Ailard mengangkat tubuh putrinya sehingga Rose berdiri diatas paha Ailard. Ia kecup lembut dahi Rose berulang kali.
"Rose maunya begitu?"
Rose mengangguk pelan, "iya, tadinya mau Mommy Aira tapi kan Mom Aira pasti sibuk urus Kakak-kakak kembar, Aunty Chery juga sedang pergi ke Prancis, Omma juga sudah tua. Rose berpikir bagaimana dengan Mbak Kiran saja. Begitu Papa mengizinkan, Rosemary bersyukur sekali." Ujar putri kecilnya Ailard yang begitu pandai berbicara padahal usianya baru empat tahun, ajaran Omma nya memang sangat bagus terlebih lagi Kiran yang pandai merawat Rose.
"Yasudah, Papa izinkan. Nanti kita datang sama-sama di acara sekolah kamu itu ya sayang?"
"Yeay! Terimakasih Papa, love you so much!"
Ailard tersenyum tipis mendengar kegembiraan putrinya. "Papa juga sayang sama Rose," balasnya, memeluk putrinya erat. Rose tertawa kecil, senang dengan persetujuan ayahnya.
Rose turun dari pangkuan Ailard dan mencium pipi Kiran. "Terima kasih, Mbak Kiran," ujar Rose dengan ceria, matanya berbinar. "Rose janji nanti nyanyinya bagus, biar Mbak Kiran bangga!"
Kiran tersenyum kecil, ia mengangguk. "Mbak yakin Rose pasti akan nyanyi dengan sangat baik."
Ailard mengamati keduanya dalam diam. Meskipun ia menyetujui permintaan putrinya, ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Kiran merasa bahwa keputusan itu bukanlah tanpa pertimbangan lain.
•••
"Saya tidak suka dengan performa bercinta kamu malam tadi. Sangat membosankan!" Begitu Ailard berbicara, Kiran memusatkan segala perhatiannya untuk pria itu.
"Mas mau aku seperti apa lagi? Nanti aku lakukan, kamu hanya perlu kasih tau."
Ailard menyeringai tipis, "saya belum pernah lihat kamu menari didepan saya pakai baju maid."
Kiran meremas mengepalkan tangannya kuat-kuat, sungguhan ia harus menahan diri agar tidak meninggikan nada bicaranya.
"Baiklah, aku bakal kasih performa terbaik malam ini. Mas lagi gak sibuk kan? Maaf...tapi aku benar-benar sedang butuh." Akhirnya Kiran mengakui godaan yang ia lakukan saat ini, yang tubuhnya berada diatas pangkuan Ailard.
"Saya sibuk tapi saya mau kamu hibur saya, kalau saya tertarik kamu harus berikan performa terbaik. Buat saya puas, saya kasih gaji melacur kamu."
"Iya Mas."
Pria itu tak benar-benar kesal lantaran ia menikmati sentuhan bibir Kiran di dadanya, ia tak menunggu malam nanti dan hitungannya benar-benar berbeda. Biarkan saja perempuan yang tengah menyentuh tubuhnya ini melakukan apa yang ia ingini, toh Ailard tidak memaksanya untuk melakukannya sekarang.
"Shhh..." Namum begitu, ia tak bisa menahan diri lantaran miliknya sudah sesak didalam sangkarnya.
"Puaskan milik saya," ia berbisik lalu mencium pipi Kiran, "use your mouth." (Gunakan mulutmu).
Kiran tak menolak, ia tidak bisa menolak dan ia tidak lagi terpaksa melakukannya. Biarkan pria ini puas lalu ia mendapatkan bayarannya, sungguhan ia tengah menanti uang masuk kedalam rekeningnya sebab ibunya tengah dirawat di rumah sakit karena penyakit kanker rahim dan semenjak tiga tahun terakhir Ailard sulit sekali diajak kompromi. Ini semua berawal karena pria ini menguping pembicaraan Kiran bersama dengan Tata tempo lalu.
•••
"GOBLOK!" Pekik Ailard dari balik telepon, tiba-tiba suasana hatinya menjadi buruk mendengar musuh besar bisnisnya menyentuh kakaknya, Leonidas.
"Saya tidak mau tahu, apapun alasannya kalian harus berhasil bawa Santoso kehadapan saya. Saya tidak menerima kegagalan! Dan jika kalian tidak becus lagi saya pastikan kalian habis malam ini."
Begitu telepon ditutup ia yang mulai menghubungi Leonidas, dari sana Leo segera mengangkat telepon dari adiknya.
"Jangan gegabah Ailard, Abang gak mau kamu salah langkah! Abang punya rencana dan penyelesaian sendiri, tidak main kotor seperti ini!"
"Persetan Bang, kamu jangan lemah gitu dong. Kalau para bajingan ini makin berulah kita perlu pakai cara kekerasan buat bikin mereka jera."
"Iya Abang tau, tapi ngga dengan cara kekerasan Ailard. Kamu dengar tidak apa yang abang bilang? Pokoknya sampai kamu bertindak pakai otot, Abang ngga akan tinggal diam. Kita ini keluarga besar, kita bisa menangani ini dengan otak, bukan kekerasan," suara Leonidas terdengar tegas menginterupsi adiknya yang sudah mulai kelewatan.
Ailard mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Santoso sudah menyentuh kamu, Bang! Itu sudah kelewatan!"
"Abang tahu, tapi kamu harus pikirkan akibatnya kalau kamu bertindak gegabah. Kita punya reputasi yang harus dijaga. Kalau kita jatuh ke permainan mereka, kita gak beda sama mereka, Ailard."
Sebuah keheningan menyelimuti pembicaraan itu. Ailard berusaha menenangkan napasnya yang memburu, tapi amarahnya belum juga reda. Baginya, kehormatan keluarganya adalah yang utama, dan siapa pun yang berani menyentuhnya harus menanggung akibatnya.
"Ailard, Abang harap kamu percaya sama Abang kali ini. Abang janji akan bereskan ini dengan cara yang benar."
"Pokoknya Ailard tidak bisa, Bang! Kamu gak pikirkan bagaimana kalau nanti Santoso sentuh keluarga kamu?" Suara Ailard semakin meninggi, menunjukkan betapa seriusnya kekhawatiran itu. Wajahnya memerah, dan ia terlihat di ujung kesabarannya.
Di ujung telepon, Leonidas menarik napas panjang, mencoba menenangkan adiknya yang sedang dibakar oleh amarah. "Ailard, tenang. Kalau kita biarkan emosi menguasai, itu hanya akan membuat mereka menang. Santoso memang licik, tapi kita harus lebih pintar. Jangan sampai kita berikan mereka alasan untuk menyerang kita lebih jauh."
Ailard menggelengkan kepalanya meskipun Leonidas tak bisa melihatnya. "Santoso sudah menyentuh batas, Bang. Dia harus tahu akibatnya. Aku tidak akan diam saja."
"Abang ngerti, tapi dengar ini baik-baik," ujar Leonidas dengan nada yang lebih tegas, "Kita harus cari cara untuk menghancurkan Santoso tanpa harus menggunakan kekerasan. Abang sudah susun strategi untuk ini, biarkan Abang yang memimpin. Kamu urus bagian kamu saja."
"Up to you Bang, tapi Ailard tetap tidak akan tinggal diam untuk kasih pelajaran sama Santoso."
"AILARD—"
Begitu Ailard menutup telepon sepihak ia pukul meja begitu keras, sungguhan ia tak bisa berdiam diri lagi kala musuhnya itu sudah berani menyentuh keluarganya.
•••
"Mas..."
"Kamu tidak dengar saya Kiran? Keluar sekarang dari tempat saya. Kamu buat saya semakin muak!" Ailard tidak dalam suasana ingin bercinta, semuanya hempas gara-gara masalahnya dengan Santoso.
"Mas...aku belum buktikan untuk kasih performa terbaikku malam ini lho..." Kiran menggodanya dari belakang, menyentuh tengkuk pria itu dengan mulutnya dan tangannya bergerak ria menyentuh dada bidang Ailard yang sudah terkespos.
"Shit! You're such a fucking bit*h!" (Sial! Kamu benar-benar jal*ng sia*an.).
Tangan lentik Kiran terus menyusuri tubuh bidang depannya sampai bawah, stimulus yang diberikannya berhasil membangkitkan gairah Ailard, sebab setiap sentuhan Kiran selalu membuatnya berstimulus.
"Kalau begitu...polos didepan saya. Berikan sekarang performa terbaik kamu. Kalau sampai gagal saya tidak akan bayar kamu Kirana!" Ailard sudah diujung ambang batas kesabaran kala perempuan ini terus menggoda seluruh tubuhnya dengan sentuhan nakalnya.
Kirana tentu melakukannya, ia tanggalkan seluruh pakaiannya sampai tak ada sehelai benangpun yang menyangkut ditubuh rampingnya.
Ailard tersenyum puas, matanya menikmati pemandangan panas yang tersaji di hadapannya. Namun, kegembiraannya terpotong ketika ponselnya berdering. Ailard mengalihkan pandangannya pada layar namun tak sepenuhnya, ia mengangkat panggilan itu, masih setengah terfokus pada apa yang terjadi di depannya.
"Ya?" suaranya dingin, penuh kendali.
Namun, begitu suara dari seberang memberitahu sesuatu yang tidak terduga, senyum di wajah Ailard perlahan memudar. Wajahnya yang sebelumnya penuh kepuasan kini berubah serius, bahkan tegang.
"Apa maksudmu? Ulangi," Ailard memerintah, suaranya rendah tapi tegas. Matanya kini meninggalkan pemandangan di depan dan beralih sepenuhnya ke pembicaraan.
Suara dari seberang telepon berbicara lagi, lebih jelas kali ini. "Target utama berhasil melarikan diri. Kami kehilangan jejaknya."
Kemarahan Ailard meledak dalam sekejap. "APA?!" Ia berdiri dari kursinya, memukul meja keras dengan tangan kirinya. "Bagaimana kalian bisa membiarkan hal ini terjadi? Kalian bilang semuanya sudah terkendali!"
"Kami mohon maaf, Tuan. Ada sesuatu yang tidak terduga—"
"Tidak ada alasan! Temukan dia sekarang juga, atau kalian semua yang akan saya kuliti malam ini!" Ailard memutuskan panggilan dengan kasar, melempar ponselnya ke meja dengan kekuatan yang nyaris memecahkan layarnya.
"Bajingan!"
Kiran sendiri terdiam ditempatnya dengan tangan yang bergerak menutup bagian tubuh polosnya yang terkespos. Sepertinya ia benar-benar gagal malam ini untuk mendapatkan uang dari pria itu.