Ketika cinta hadir di antara dua hati yang berbeda keyakinan, ia mengajarkan kita untuk saling memahami, bukan memaksakan. Cinta sejati bukan tentang menyeragamkan, tetapi tentang saling merangkul perbedaan. Jika cinta itu tulus, ia akan menemukan caranya sendiri, meski keyakinan kita tak selalu sejalan. Pada akhirnya, cinta mengajarkan bahwa kasih sayang dan pengertian lebih kuat daripada perbedaan yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Restu orang tua
Tama duduk di ruang tamu bersama ibunya, Rini. Mata Rini yang biasanya penuh kelembutan kini dipenuhi kekhawatiran. Tama baru saja mengutarakan keputusannya untuk tetap menjalin hubungan dengan Freya, meskipun ia tahu akan banyak rintangan di masa depan, termasuk perbedaan keyakinan yang selama ini menjadi isu di keluarganya.
"Ibu, aku serius dengan Freya," kata Tama, suaranya mantap meski hatinya terasa berat. "Aku tahu ini nggak mudah buat Ibu dan Ayah, tapi aku sudah memikirkannya. Aku akan menghadapi semua rintangan, apapun yang terjadi. Freya adalah orang yang aku pilih."
Rini menghela napas panjang, hatinya penuh dengan kekecewaan yang sulit ia sembunyikan. "Tama, Ibu paham kamu sayang sama Freya. Tapi perbedaan keyakinan ini bukan hal yang kecil. Kamu tahu bagaimana keluarga kita memandang hal itu. Ibu cuma takut kamu akan menyesal di kemudian hari."
Tama menatap ibunya, berusaha meyakinkan. "Bu, aku nggak akan menyesal. Aku yakin sama Freya. Kita berdua sudah sepakat untuk menghadapi semua ini bersama-sama. Ini hidupku, dan aku nggak mau memilih orang lain hanya karena takut pada perbedaan."
Rini terdiam, hatinya bercampur aduk antara ingin mendukung putranya dan ketakutan akan masa depan mereka. Sebagai seorang ibu, ia hanya ingin Tama bahagia, tetapi ia tahu bahwa jalan yang dipilih putranya penuh tantangan. Sebuah suara berat tiba-tiba terdengar dari arah pintu.
"Jadi, ini yang kamu pilih?" Suara itu milik ayah Tama, Pak Arman, yang baru saja masuk ke dalam ruangan tanpa disadari oleh Tama dan Rini. Wajahnya tampak merah karena amarah yang sudah tertahan lama.
Tama berbalik, terkejut melihat ayahnya berdiri di sana. "Ayah ... aku ..."
Arman melangkah masuk, suaranya terdengar keras dan tegas. "Kamu pikir hubungan ini akan berhasil? Kamu pikir bisa hidup bahagia dengan melawan keluarga dan keyakinan kita? Ini bukan masalah main-main, Tama!"
Tama berdiri, berusaha tetap tenang meski hatinya ikut bergolak. "Ayah, aku tahu ini sulit. Tapi aku sudah dewasa, dan aku yang akan menjalani hidup ini. Aku mencintai Freya, dan aku yakin kami bisa menghadapi ini bersama."
Arman menggeleng, tidak bisa menerima penjelasan putranya. "Cinta itu tidak cukup, Tama. Kamu harus berpikir lebih jauh, tentang masa depan, tentang keluarga! Apa yang akan terjadi nanti jika kalian punya anak? Bagaimana kamu bisa menyatukan dua dunia yang begitu berbeda?"
Tama menghela napas, mencoba menahan emosi. "Ayah, aku sudah memikirkan semua itu. Kami akan mencari jalan keluar, satu per satu. Aku tahu ini sulit, tapi aku nggak bisa menyerah hanya karena ada perbedaan. Aku nggak bisa hidup tanpa Freya, Ayah."
Arman tampak semakin marah. "Jangan keras kepala, Tama! Kamu pikir hidup ini hanya soal cinta? Kamu akan membawa masalah besar ke dalam hidupmu, ke dalam hidup keluarga kita!"
Rini, yang dari tadi hanya diam, akhirnya mencoba menengahi. "Arman, mungkin kita harus beri Tama waktu untuk membuktikan keputusannya. Ini hidupnya ..."
Namun, Arman tak bisa menahan amarahnya. "Tidak, Rini! Ini bukan tentang waktu! Tama harus sadar bahwa dia akan menghancurkan hidupnya sendiri kalau terus memilih jalan ini!"
Tama menatap ayahnya dengan tatapan penuh tekad. "Aku sudah siap menghadapi apapun, Ayah. Kalau Ayah dan Ibu nggak bisa mendukung, aku akan tetap maju. Karena aku nggak akan membiarkan perbedaan ini menghancurkan kebahagiaan yang bisa aku dapatkan bersama Freya."
Arman mendengus marah, tapi sebelum ia bisa berkata lebih lanjut, Tama melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan suasana yang tegang di belakangnya. Rini hanya bisa menatap suaminya dengan perasaan sedih, sementara Arman tetap berdiri diam, dipenuhi amarah yang membara. Tapi Tama sudah membuat keputusan, dan ia tahu jalan di depannya tidak akan mudah. Tapi demi Freya, ia siap menghadapi apapun.
***
Malam itu, setelah Tama pergi meninggalkan rumah dengan hati yang berat, Rini dan Arman duduk di ruang tamu yang kini terasa hening. Rini menatap suaminya, yang masih terlihat tegang dan marah. Pikirannya bercampur aduk antara rasa kasihan pada putranya dan kekhawatiran atas sikap keras kepala Arman.
Dengan lembut, Rini membuka pembicaraan. "Arman, aku tahu kamu marah, tapi Tama juga anak kita. Dia butuh dukungan kita. Mungkin kita harus memberi dia kesempatan."
Arman tetap menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras. "Kesempatan? Untuk apa, Rini? Untuk menghancurkan hidupnya dengan keputusan yang salah? Kamu tahu sebaik apa aku, hubungan seperti ini nggak akan berhasil."
Rini menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan kesabarannya. "Aku paham kekhawatiranmu, tapi Tama sudah dewasa. Dia sudah memikirkan ini dengan matang. Kita nggak bisa terus-terusan menolak pilihannya tanpa mencoba memahami. Kalau kita terus menentang, Tama akan menjauh dari kita."
Arman menggeleng keras, tatapannya tajam. "Jauh lebih baik dia menjauh daripada aku melihat dia menghancurkan hidupnya dengan Freya. Perbedaan keyakinan itu bukan hal kecil, Rini. Nggak cuma akan bikin masalah buat mereka berdua, tapi juga buat kita semua. Kamu tahu itu."
Rini menatap suaminya dengan mata yang penuh harap. "Tapi dia mencintai Freya, Arman. Dia benar-benar serius. Kita sebagai orang tua harus bisa melihat dari sisi dia juga. Apa kita nggak bisa sedikit melunakkan hati? Demi kebahagiaan Tama?"
Arman menghembuskan napas tajam, rasa frustasi tercermin di wajahnya. "Rini, ini bukan soal cinta saja. Cinta itu nggak bisa menyatukan semua perbedaan. Kamu pikir mereka nggak akan bertengkar soal keyakinan? Soal bagaimana mereka mendidik anak-anak nanti? Ini bukan hal yang bisa diselesaikan dengan cinta semata."
Rini terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan suaminya dengan lembut. "Arman, aku tahu kamu khawatir. Aku juga. Tapi apakah kita benar-benar mau kehilangan Tama hanya karena kita nggak mau memberi kesempatan? Dia anak kita, Arman. Kita nggak bisa memaksa dia mengikuti keinginan kita selamanya."
Arman menarik tangannya, berdiri dengan kemarahan yang kembali membara. "Aku nggak akan pernah merestui hubungan itu, Rini. Sampai kapanpun. Aku nggak akan biarkan anakku terjerumus dalam situasi yang akan membuatnya menderita seumur hidupnya. Tama harus belajar bahwa tidak semua hal yang dia inginkan adalah yang terbaik untuknya."
Rini berdiri, air matanya hampir tumpah. "Arman, kalau kamu terus seperti ini, kita akan kehilangan dia. Tama bukan anak kecil lagi. Dia berhak membuat keputusan untuk hidupnya."
Arman menatap Rini dengan tatapan dingin. "Kalau Tama memilih untuk tetap bersama Freya, dia harus siap menerima konsekuensinya. Dan salah satu konsekuensinya adalah kehilangan restuku."
Rini menunduk, merasa putus asa. Hatinya hancur melihat betapa keras kepala suaminya. Dia tahu bahwa Arman adalah orang yang tegas dalam prinsip, tetapi kali ini, prinsip itu akan membawa kehancuran bagi hubungan mereka dengan putra satu-satunya.
"Aku harap kamu nggak menyesal nanti, Arman," ucap Rini pelan, suaranya hampir terisak. "Karena ketika Tama pergi dan nggak kembali lagi, saat itu mungkin sudah terlambat untuk memperbaiki semuanya."
Arman tetap diam, menatap lurus ke depan. Baginya, keputusan sudah bulat, dan tidak ada yang bisa mengubah pikirannya.