"Mulai sekarang kamu harus putus sekolah."
"Apa, Yah?"Rachel langsung berdiri dari tempat duduk nya setelah mendapat keputusan sepihak dari ayahnya.
"Keluarga kita tiba-tiba terjerat hutang Dan ayah sama sekali nggak bisa membayarnya. Jadi ayah dan ibu kamu sudah sepakat kalau kita berdua akan menjodohkan kamu dengan anak Presdir keluarga Reynard agar kami mendapatkan uang. Ayah dengar kalau keluarga Reynard akan bayar wanita yang mau menikahi anaknya karena anaknya cacat"
Rachel menggertakkan giginya marah.
"Ayah gak bisa main sepihak gitu dong! Masalahnya Rachel tinggal 2 bulan lagi bakalan lulus sekolah! 2 bulan lagi lho, yah! 2 bulan! Terus tega-teganya ayah mau jadiin Rachel istri orang gitu? Mana yang cacat lagi!" Protes Rachel.
"Dengerin ayah dulu. Ini semua demi keluarga kita. Kamu mau kalau rumah kita tiba-tiba disita?" Sahut Ridwan, Ayah Rachel.
"Tapi kenapa harus Rachel, pa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 12
"Jadi setelah kamu lihat apa yang saya lakukan tadi, kamu mau laporin ke orang tua saya?" Tanya Reagan menantang.
Rachel menggeleng. "A--aku nggak bakalan adu kok, mas. Aku cuman kaget ... ternyata kamu bisa jalan?" Tanya Rachel bingung.
"Hm?" Reagan mengerutkan keningnya. "Jangan tanya itu. Saya tau kamu pasti adukan ke orang tua saya kan?"
Reagan segera mencengkram dagu Rachel.
Sementara Rachel hanya membatin. Nih cowok kayaknya emang punya mata batin deh, makanya bisa tau apa yang lagi gue pikirin sekarang.
Kalau boleh jujur, Rachel memang ingin mengadukan perbuatan Reagan pada orang tuanya.
Namun, dia juga sadar bahwa melaporkan Reagan bisa beresiko bagi keselamatannya sendiri. Selain itu, dia tidak yakin apakah orng tua Reagan akan percaya padanya. Rachel merasa terjebak dalam dilema yang sulit.
"Aku ... aku nggak bakal laporin kok, mas," ucap Rachel dengan ragu.
Reagan menatapnya tajam, seolah mencoba membaca pikiran Rachel. "Bagus," jawabnya akhirnya, kemudian melepaskan cengkramannya dari dagu Rachel.
Rachel menghembuskan napasnya lega.
Namun tiba-tiba Reagan menodong pistol disebelah kepala Rachel membuat gadis itu kembali merasa terancam.
"Tapi jangan sekali-kali coba-coba buat melaporkan saya di masa depan. Kamu tahu apa yang akan terjadi kalau kamu berani lakuin itu," tambahnya dengan nada yang mengancam.
Rachel menelan ludah, merasa tertekan oleh ancaman Reagan. "Ya, mas. Aku ngerti kok," ucapnya dengan suara gemetar.
"Good girl."
Reagan menurunkan pistolnya dan memberikan senyuman tipis pada Rachel lalu mengelus-elus kepala gadis itu. Meskipun ia bisa melihat bagaimana pucat wajah istrinya saat ini.
Rachel mencoba mengintip dibalik pintu dan tak sengaja melihat kondisi wanita itu yang mengenaskan hingga tanpa sadar membuatnya hampir mual.
Namun tiba-tiba Reagan menghalangi pandangan dengan tangannya.
"Jangan dilihat kalau kamu nggak sanggup."
"Mas khawatir ya?" tanya Rachel sambil tersenyum manis.
"Khawatir?" Reagan terdiam untuk sesaat lalu dia tersenyum miring. "untuk apa saya khawatir dengan orang yang nggak saya cinta? Saya bisa aja bunuh kamu sekarang kalau kamu berani sebarin identitas saya ke yang lainnya."
Rachel langsung melunturkan senyumannya. emang dasar cowok nyebelin.
Reagan kemudian mengalihkan pandangannya ke arah bodyguard yang masih menunggu di sana. "Segera bersihkan tempat ini dan pastikan tidak ada yang tahu tentang kejadian ini," perintahnya tegas.
"Baik, tuan."
Setelah memberikan instruksi tersebut, Reagan memandang Rachel sebentar lagi sebelum akhirnya meninggalkan ruangan tersebut, diikuti oleh para bodyguardnya.
Sementara itu Rachel memijat keningnya lalu dia tampak frustasi lalu dia memukul dinding yang ada disana. "Walah ternyata suami gue bukan sembarang orang. Dia psycopath. Wah bener-bener gila sih! Masa gue harus tinggal di rumah orang modelan orang gila? Gue aja seumur-umur baru berani ngebunuh nyamuk. Lah dia berani habisin nyawa manusia," katanya sambil mengacak-acak rambutnya frustasi.
Rachel kemudian menggigit jarinya sendiri.
"Oke, Rachel, Lo nggak boleh takut. Selagi Lo nggak buat masalah sama dia, Lo pasti bakalan aman-aman aja," kata Rachel berusaha menenangkan.
Rachel kemudian pergi ke kamarnya. Dia mendengar suara percikan air di kamar mandi. Reagan sedang mandi di sana. Mungkin saja untuk menghilangkan noda di tubuhnya.
Meskipun suara percikan air dari kamar mandi juga tiba-tiba terdengar mengerikan, Rachel berusaha mengabaikannya dan fokus untuk menenangkan pikirannya agar bisa dengan tenang.
Dengan perasaan campur aduk, dia akhirnya meraih selimut dan menutup mata, berharap agar tidur bisa membawa sedikit kedamaian di tengah situasi yang penuh tekanan ini.
Setelah beberapa saat akhirnya Reagan keluar dari kamar mandi.
Rambutnya yang basah sedikit terurai, menambah aura maskulinitasnya. Matanya yang tajam dan dalam mampu menangkap segala detail di sekitarnya, menambah daya tarik yang memikat.
Wajahnya yang tegas namun penuh pesona menarik perhatian, dengan garis rahang yang tegas dan hidup yang mancung memberikan kesan maskulin. Dengan badan yang tegap dan tinggi terlihat sangat sempurna, jika dia tidak berpura-pura lumpuh.
Hanya saja Reagan tidak menyangka bila akting lumpuhnya langsung di ketahui oleh istrinya.
Reagan menghela nafas lega saat melihat Rachel sudah tertidur. Dengan hati yang terberat, dia berbaring di sebelah Rachel.
"Kamu tahu, Rachel? Saya nggak main-main. Saya nggak akan peduli menghancurkan seseorang yang menghancurkan kebahagiaan. Tapi asal kamu mau di ajak kerja sama, maka kamu tetap aman," kata Reagan sambil mengusap pipi Rachel seolah menganggap Rachel mendengar perkataanya.
Kemudian Reagan segera memejamkan matanya lalu memilih tidur.
Dan dugaannya memang benar, Rachel tidak sepenuhnya sedang tidur. Ia mendengar apa yang dikatakan Reagan barusan.