Rain, gadis paling gila yang pernah ada di dunia. Sulit membayangkan, bagaimana bisa ia mencintai hantu. Rain sadar, hal itu sangat aneh bahkan sangat gila. Namun, Rain tidak dapat menyangkal perasaannya.
Namun, ternyata ada sesuatu yang Rain lupakan. Sesuatu yang membuatnya harus melihat Ghio.
Lalu, apa fakta yang Rain lupakan? Dan, apakah perasaannya dapat dibenarkan? bisa kah Rain hidup bersama dengannya seperti hidup manusia pada umumnya?
Rain hanya bisa berharap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon H_L, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teman-Teman Ghio
Hari ini, Rain kembali duduk termangu di samping brankar menatap tubuh Ghio yang tidak menunjukkan tanda-tanda perkembangan.
Sudah dua minggu sejak Rain tahu Ghio koma. Sekarang tepat akhir pekan. Rain menghabiskan waktunya di ruang rawat ini. Tak melakukan apapun, hanya termenung menatap tubuh Ghio yang tertidur tenang.
"Sudah lima jam kamu duduk disini? Kamu gak capek?"
Rain mendongak. "Apa yang harus kita lakukan, Ghio?" Rain tidak menjawab pertanyaan Ghio. Ia malah balik bertanya. Ia mengalihkan pandangannya ke tubuh pria itu.
Ghio menghela napas, lalu duduk di brankar. "Aku juga tidak tahu. Seharusnya aku yang pusing berpikir, kenapa malah kamu?"
Selama dua Minggu ini juga Rain dan Ghio mencari cara untuk mengembalikan jiwa Ghio ke tubuhnya. Sayangnya sampai sekarang mereka tidak menemukan cara apa pun.
"Aku cuma pengen lihat kamu hidup layaknya manusia biasa. Kamu pastinya juga ingin, kan?"
Rain mendesah panjang. Tiba-tiba ia tersenyum. "Ahh... Jika kamu udah sadar. Aku pasti jadi lebih sering cemburu."
Ghio mengerutkan dahinya. "Cemburu? Kenapa?"
"Kamu, kan, ganteng. Pasti banyak yang suka sama kamu," cengir Rain.
Ghio tersipu malu mendengar kejujuran gadis itu. Ia tertawa kecil. Ia menatap Rain teduh. "Kamu mengakuinyooo8a? Aku memang seganteng itu. Tapi, aku cuma suka Rain."
Rain tersenyum mendengar itu. Ia benar-benar senang mengenal Ghio. Sekalipun yang ada di hadapannya ini adalah roh, tetap saja ia menyukainya. Entah kenapa ia bisa memiliki perasaan seperti ini.
Saat keduanya saling menatap dan melemparkan senyum, suara bising dari luar menghentikan aksi tatap-tatapan itu.
Keduanya menoleh ke arah pintu yang terbuka. Mata Rain sampai terbelalak melihat ramainya orang yang datang. Seperti sedang reunian saja.
"Lho, Rain? Lo di sini?"
Rain mengernyit. Sudah jelas ia duduk di sini. Kenapa harus bertanya lagi?
"Dia siapa, Ren?" salah satu pria bertanya.
Reno menggaruk kepalanya. Ia tidak mengira Rain ada di sini juga. Ia tahu, Rain memang sering ke sini. Bahkan, saat Reno menjenguk Ghio, Rain pasti sudah di sana lebih dulu. Tapi, tidak harus setiap hari gadis itu di sini. Rain tidak punya punya urusan lain kah?
"Siapa, kak?" tanya Rain kepada Reno.
Reno mendekat. Setelah teman-temannya masuk, ia menunjuk mereka.
"Mereka teman-teman gue sama Ghio," jawab Reno. "Guys, kenalin Rain."
"Mereka teman-temanku? Aku merasa tidak dekat dengan mereka. Mungkin kalau Reno, aku percaya," kata Ghio.
Rain tidak terlalu meladeni Ghio. Ia berdiri dan menyapa mereka.
"Hai, semuanya. Gue, Rain," kata Rain memperkenalkan diri.
"Hai, Rain. Gue Jen." Seorang pria memperkenalkan diri, kemudian disusul oleh yang lain.
"Davina. Lo siapanya Ghio? Gue belum pernah lihat Lo sebelumnya?" Hingga seorang gadis terakhir memperkenalkan diri. Gadis itu cantik, tinggi, dan tubuh bagus. Rambutnya ikal berwarna coklat keemasan. Rain tidak tahu itu asli atau palsu. Tapi yang pasti, gadis itu benar-benar cantik.
Rain memperhatikan gadis itu. Hanya dia yang bertanya apa hubungannya dengan Ghio. Rain yakin, dia salah satu penyuka pria itu. Dilihat dari tatapannya, entah kenapa Rain tidak suka gadis itu.
"Gue? Gue pacar Ghio."
Mata Ghio melebar mendengar ucapan Rain. Tidak bisa ia pungkiri, hatinya senang mendengar itu. Jantungnya bahkan berdetak kencang, disusul wajahnya yang memerah padam. Rain mengakuinya sebagai pacar? Apakah hanya iseng atau memang merasa seperti itu?
Tak hanya Ghio yang terkejut. Bahkan Reno dan mereka yang ada disana juga terkejut.
"What? Pacar?" kata gadis itu tak percaya. "Gue gak salah dengar, kan?" katanya. Tatapannya ke arah Rain seolah mengatakan hal itu adalah mustahil.
Rain hanya tersenyum kecil. "Lo gak salah denger, kok. Gue emang pacar Ghio."
"Ren?" Davina menatap Reno seolah meminta penjelasan. "Dia pasti bohong, kan?" katanya sambil menunjukan Rain.
Rain mendengus tidak suka. Memangnya masalah? Ia melirik Reno tajam, seolah mengancam pria itu untuk membenarkannya.
Reno menatap Rain yang juga sedang menatapnya. Gadis itu memang sedikit aneh. Bahkan sekarang Rain seperti mengancamnya. Ia sebenarnya terkejut. Tapi... "Dia gak bohong, kok." katanya.
"Gak mungkin Ghio jadiin dia pacar."
"Apanya yang gak mungkin?" tanya Rain kesal sekaligus marah. Entah kenapa, kesabarannya langsung menipis melihat gadis itu.
Reno segera menyahut. "Davina. Udah. Lo gak usah sensian gitu. Nyatanya Ghio emang lebih menyukai Rain dibanding cewek lain." Secara terang-terangan ia menyinggung Davina.
Rain tersenyum menang, walaupun ia sedikit tak percaya ternyata Reno mendukungnya.
"Ah... Kalian semua silahkan duduk," kata Rain ramah, mencoba mengalihkan pembicaraan. Ia menunjuk sofa. "Jangan sungkan-sungkan."
Davina memandang Rain tidak suka. Setahunya, Ghio tidak punya pacar. Bahkan pria itu terang-terangan menjauhi perempuan termasuk dirinya. Ia tidak percaya Ghio menyukai gadis seperti Rain. Tapi, Reno sudah memecah rasa tidak percayanya.
Ghio menatap senang ke arah Reno. Ia semakin yakin kalau pria itu memang sahabatnya. Tahu saja dia kalau Ghio menyukai Rain.
"Wah, gak nyangka ternyata Ghio punya pacar. Kok, gue baru tahu, ya?"
Rain tersenyum. Tentu saja ia tidak akan menyangka. Orang sedang berbohong.
"Sejak kapan kalian pacaran, Rain?" tanya Jen. "Gue teman Ghio, tapi kok gak tahu, ya?"
"Berarti Lo gak sepenting itu," sahut pria dari belakang. Rain lupa namanya.
Jen merenggut kesal. "Diem lo! Gua gak tanya sama Lo."
"Buktinya Reno bisa tahu. Berarti, Lo emang gak sepenting itu."
Jen mengepalkan tangannya. Ia melotot tajam. "Bisa gak Lo jangan terlalu jujur?"
Rain tertawa melihat perdebatan mereka. Sedikit menghibur menurutnya.
"Woi! Kita disini mau jenguk orang sakit. Bukan mau adu bacot," omel Reno, menghentikan perdebatan mereka.
"Tau, tuh."
Reno berdecak kesal. Ia kemudian menatap Rain. "Udah makan, Rain?"
Rain menggeleng. "Belum. Ini bentar lagi gue mau keluar beli makan, kak."
"Gak usah. Kita bawa makanan banyak, nih," kata Reno.
Rain baru sadar mereka membawa banyak makanan dalam kresek besar. Sebenarnya, mereka ini mau jenguk orang sakit atau mau reunian, sih? Kenapa membawa makanan sebanyak itu. Mata Rain sampai terbelalak melihat itu.
"Gue udah izin sama Tante Lora." Reno seolah tahu apa yang dipikirkan oleh Rain.
Rain mengangguk. "Ya udah." katanya enteng. Tak masalah, selagi gratis. Kapan lagi ia bisa makan gratis begini?
"Taruh di meja aja." kata Reno.
Mereka segera mengeluarkan segala jenis makanan itu. Ada bakso, mi ayam, lalu ada banyak jenis per-ayam-ayaman : mulai dari ayam krispi, ayak goreng sambal ijo dan merah, ayam semur.
"Ayam semur?" tanya Rain.
"Kenapa?" tanya Jen bingung melihat reaksi Rain. Kebetulan, ia dan satu cewek lain menyajikan makanan di meja. "Lo suka?" tanya Jen.
Rain tersenyum lebar. "Ini kan makanan kesukaan Ghio."
"Oh, ya?" katanya senang. "Wahh, bagus, dong. Gue yang beliin tadi, hehe..." Jen menyengir senang.
Davina melirik tak suka. Benarkah itu makanan kesukaan Ghio? Ia saja tidak tahu itu. Padahal, sudah lama mengenal Ghio.
Disaat semuanya sedang sibuk mengobrol tentang makanan kesukaan Ghio, Reno menatap Rain rumit. Sebenarnya, sejauh mana Rain mengenal Ghio? Rain bilang, ia mengenal Ghio sebelum pria itu kecelakaan. Kenapa rasanya ada yang aneh?
"Ayo makan! Makan, Rain." kata Jen.
Akhirnya, mereka duduk bersama menikmati makanan. Rain bahkan langsung akrab dengan beberapa teman Ghio. Apalagi Jen. pria itu termasuk pria yang humoris.
Berbeda dengan Davina yang duduk di sofa paling ujung, ia menatap Rain tak suka. Bagaimana pun, ia tidak terima Ghio memilih Rain sebagai pacar. Padahal, ia lebih cantik kemana-mana.
Rain sebenarnya sadar dengan tatapan Davina. Tapi, ia seolah tak peduli. Santapan di depannya lebih menggiurkan.
Rain mengobrol bersama mereka, menanyakan apa saja kesibukan mereka. Ternyata, mereka semua berasal dari universitas yang sama dengan Ghio. Ada yang dari jurusan yang sama seperti Ghio, bahkan satu kelas, ada juga yang berbeda. Mereka semua seangkatan.
Sementara itu, Ghio tidak mempedulikan mereka. Ia hanya diam sesekali melirik Reno yang duduk di samping tubuhnya. Reno tidak ikut bergabung dengan mereka. Ia memandang Ghio. Terdapat kesedihan jelas terlihat di sana. Reno memang hanya diam dan terus memandang wajah Ghio. Tapi, Ghio seolah tahu apa yang dirasakan pria itu. Dan entah kenapa, Ghio juga seolah merindukan pria di depannya ini, walaupun Ghio tidak ingat seperti apa kedekatan mereka dan apa saja kenangan-kenangan mereka.
Rain menoleh ke belakang. Ia membiarkan saja. Biarlah kedua sahabat itu saling melepaskan rindu.
Setelah lama dan makanan hampir habis, Rain menoleh kembali ke belakang.
"Kak, Reno!" panggil Rain.
Baik Reno maupun mereka yang ada disana sama-sama menatap Rain.
"Lo gak makan? Diam di sana gak bikin Lo kenyang, kan?"
Reno segera bangkit dan ikut bergabung dengan mereka. Gantian, kini Rain yang duduk di samping brankar.
Rain menatap Ghio yang termenung. Ia berbisik pelan sambil menutup wajahnya dari samping. "Yok, makan."
Ghio mengernyit. "Kamu bukannya udah makan?"
Rain menyengir. "Aku makan dikit. Ayo kita beli makan di luar."
Ghio tersenyum lebar. "Ayo." katanya bersemangat.
"Ah-hemm." Rain berdeham keras. "Eh, Guys. Gak pa-pa, kan, gue tinggal sebentar? Gue ada urusan mendadak." kata Rain.
Mereka mengiyakan saja. Setelah itu, Rain segera ngacir dari sana bersama dengan Ghio. Rain tidak bisa membiarkan Ghio sendirian tanpa makan.