Binar jatuh cinta pada kakak kelasnya sudah sangat lama, namun ketika ia merasa cintanya mulai terbalas, ada saja tingkah lelaki itu yang membuatnya naik darah atau bahkan mempertanyakan kembali perasaan itu.
Walau mereka pada kenyataannya kembali dekat, entah kenapa ia merasa bahwa Cakra tetap menjaga jarak darinya, hingga ia bertanya dan terus bertanya ..., Apa benar Cakrawala juga merasakan perasaan yang sama dengannya?
"Jika pada awalnya kita hanya dua orang asing yang bukan siapa-siapa, apa salahnya kembali ke awal dimana semua cukup baik dengan itu saja?"
Haruskah Binar bertahan demi membayar penantian? Atau menyerah dan menerima keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon And_waeyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11. Mami & Papi
Mami-nya Binar---Cantika---melihat putrinya berlari menuju ke arahnya dengan wajah sumringah. Ia tersenyum melihat itu.
"Mami!!!" Binar berteriak antusias.
Cantika merentangkan tangan, menyambut Binar yang kini memeluknya, ia membalas pelukan gadis kesayangannya itu dengan erat.
"Aku kangen banget sama Mami, di rumah kalau nggak ada Mami rasanya sepi banget."
"Kamu bisa aja Bi, rindu sama mami, apa rindu sama oleh-oleh?"
Binar mengurai pelukan. Ia nyengir. "Dua-duanya hehe."
"Tuh kan, kamu ini. Koper yang dipegang sama Pak Herman isinya buat kamu. Mami beli beberapa aksesoris sih, ada juga yang gambar boy grup idola kamu, ada juga yang gambar bias kamu doang, kamu lihat---"
"Masa?" Binar langsung mengambil satu koper yang dibawakan salah satu pembantu lelaki yang ada di rumah itu. Kemudian mulai membukanya.
Papi Binar---Panji---yang berada di samping Cantika menggelengkan kepala sesaat. "Kamu terlalu manjain dia," katanya pelan.
Cantika menoleh. "Nggak papa, kasihan Binar. Kita juga jarang ada di rumah."
"Masalahnya, kamu selalu berikan dan nurutin apa yang dia mau. Nanti dia kebiasaan apa-apa yang dia mau harus dapat, tanpa dia usaha dulu.'"
Wanita itu melengos pelan. "Pi, Papi itu kaya orang susah aja. Nggak papa lagian kita kerja kan buat dia."
"Mi!"
Cantika dan Panji jadi sama-sama menolehkan kepala pada Binar yang sedang berjongkok di hadapan koper yang ia buka.
"Semuanya bagus banget, aku suka! Makasih ya Mi!" gadis cantik itu berdiri dan berlari memeluk Mami-nya. Cantika membalas pelukan Binar.
"Sama-sama, kamu harus rajin belajar ya Bi, jangan nakal juga di sekolah, mami sama papi nggak bisa selalu ada di dekat kamu, tapi bukan berarti kami nggak ngawasin kamu. Paham?"
"Iya, aku paham," kata Binar sambil mengurai pelukan.
"Umh... Mi. Mami tahu nggak? Boy grup Korea idola aku ngeluarin koleksi pakaian sama aksesoris. Bagus banget, koleksinya ada total 20 produk kayak sepatu kets, pakaian, topi, ransel, dan banyak lagi. Aku pengen, nggak semua kok. Cuma baju atau hoodie mungkin, terus celana, tas, sama sepatunya. Nggak papa kan Mi?"
"Oh ya? Mami nggak tahu soal itu. Kita bisa---"
"Bi, mami sami papi baru pulang. Kami istirahat dulu, nanti kita bicarain lagi ya," Panji memotong ucapan Cantika.
Binar kini menatap Papinya.
"Pak, tolong bawakan barang-barang milik saya dan Cantika ke kamar atas, sementara barang milik Binar bawakan aja ke kamarnya," kata Panji. Lalu setelah mengatakan itu, ia mengusap puncak kepala Binar sesaat dan menarik Cantika agar segera mengikutinya.
"Pi, kamu itu apa-apaan sih?"
"Kali ini papi nggak akan biarin mami mutusin sendiri. Kita harus bicarain ini, kamu juga harus berhenti supaya nggak terlalu manjain Binar."
"Kita udah bicarain ini berkali-kali. Lagian Binar juga giat belajar, dia juga pintar, aku kasih dia hadiah juga karena dia bisa menguasai bahasa baru."
"Kita bicarain ini di atas!" kata Panji final.
Binar menatap punggung orangtuanya yang semakin menjauh. Perlahan, tatapannya meredup. Ia beralih menatap Pak Herman.
"Ayo Pak," katanya.
Pak Herman mengangguk saja mengikuti langkah putri tunggal majikannya. Binar tahu papinya tak seperti mami, mami akan mudah mengiyakan apa yang ia mau, sementara papi tidak. Yang sudah-sudah juga begitu. Seharusnya jika Papi tidak mengizinkannya, papi langsung menolak saja, tidak perlu berkata bahwa mereka harus istirahat. Seketika, Binar langsung murung. Ia ingin bersama dengan mereka juga setelah lama tak bertemu.
***
Kali ini, gadis itu baru saja selesai membereskan barang-barang yang dibelikan maminya. Binar masih stay di dalam ruangan khusus untuk menyimpan koleksi barang-barang idolanya sembari duduk di kursi empuk yang ada di sana dan menatap poster sang bias yang terpampang di hadapannya dengan tatapan kosong.
Sampai sebuah getaran dari smartphone-nya membuat ia tersadar. Binar mengambil smartphone dari saku hoodie yang ia pakai, ia menatap layar smartphone yang menunjukan sebuah pop up dari kontak nomor yang sudah lama sekali tak menghubunginya.
Kak Seno: Bi?
Binar lama hanya menatap pesan itu, sebelum akhirnya ia membalas.
Binar: Maaf, yang punya hp lagi bobo. Silakan hubungi satu abad lagi. Hatur nuhun.
Tak butuh waktu lama, Binar sudah mendapatkan pesan balasan.
Kak seno: Lo tahu nggak Bi kalau sekarang ada santet online?
Binar: Kenapa emang? Kak Seno mau aku santet? Udah putus asa banget ya sampai minta disantet?
Kak Seno: :)
Binar: Ada apa nih udah tadi tiba-tiba nongol kaya jin, sekarang juga tiba-tiba chat? Ada yang bisa aku banting?
Kak seno: Ngelawak nih.
Kak seno: Gue butuh bantuan lo Bi. Penting.
Binar: Tuh kan :( giliran butuh aja. Wanipiro?
Kak Seno: Gue serius. Ini soal Cakra dan alasan kenapa dia bersikap kaya tadi.
Jantung Binar tiba-tiba berdetak dua kali lebih cepat. Ia meneguk ludah sesaat. Kenapa ia tiba-tiba jadi deg-deg an gini ya?
Kak Seno: Gue nggak akan minta bantuan lo kalau seandainya gue nggak tahu fakta sekarang lo ceweknya dia dan kita juga akrab. Bisa kan Bi? Harus bisa ya, gue santet online kalau nggak bisa.
Sebelum Binar sempat membalas pesan itu. Sebuah ketukan dari arah pintu kamarnya membuat Binar mengernyitkan kening. Di susul sebuah suara familiar yang membuat keningnya tambah berlipat, Binar menaruh smartphone-nya begitu saja di atas kursi tempatnya duduk barusan, ia berdiri, lalu melangkah keluar dari ruangan menuju pintu kamarnya.
Sesampainya di depan pintu dan membukanya. Binar membulatkan mata melihat sang papi kini berdiri menjulang di depannya. Pria yang masih terlihat muda itu tersenyum tipis.
"Papi boleh masuk?" tanyanya.
Binar diam beberapa saat. Hati kecilnya bertanya-tanya kenapa sang papi mengadakan kunjungan mendadak seperti ini. Karena itu merupakan suatu hal yang jarang terjadi. Dengan anggukan ragu, ia mempersilakan papinya memasuki kamar. Setelah masuk, Binar membiarkan pintu kamarnya tertutup dan terkunci otomatis.
"Kapan terakhir kali papi ke kamar kamu? Kamu masih ingat nggak?"
Panji menatap sekeliling kamar Binar sambil melangkah pelan dengan kedua tangan yang berada di dalam saku celana.
"Umh ... mungkin, waktu aku masih SMP, aku lupa tepatnya kapan," jawab Binar.
"Saking papi jarang banget ke sini ya?" Panji membalikan tubuhnya hingga ia bisa menatap Binar.
Binar hanya menundukan kepala sembari memainkan jemari tangannya yang lentik.
"Kamu pasti bertanya-tanya kenapa papi datang ke kamar kamu, karena ini hal yang jarang papi lakuin, ya kan?"
Gadis itu mengangguk pelan.
"Kamu pengen tahu kenapa?"
Lagi-lagi, Binar hanya mengangguk pelan. Entah kenapa, ia tak bisa menatap langsung mata papinya sendiri dengan waktu yang lama. Binar selalu takut---bukan takut sebenarnya---tapi lebih ke ... segan.
Panji duduk di sofa yang ada di kamar putrinya.
"Ayo duduk, ada yang mau papi bicarain sama kamu."
Binar tiba-tiba deg-degan. Apa ini berkaitan dengan apa yang ia minta tadi pada mami-nya? Gadis itu melangkah kaku ke arah kursi single di dekat sofa yang ayahnya tempati, lalu ia duduk di sana.
"Kok jauh banget? Nggak mau duduk di sisi papi?"
Gadis itu menatap papinya sesaat. "Ha? Oh iya."
Kemudian ia berpindah tempat ke sofa yang ditempati ayahnya, hanya saja Binar duduk di ujungnya.
"Geser dikit lagi ke sini, Bi," kata Panji.
Binar menggeser sedikit bokongnya ke arah sang papi, benar-benar sedikit sampai gadis itu terlihat sama sekali tak bergeser. Panji menghela napas pelan. Akhirnya, ia yang menggeser diri, menepis jaraknya dan Binar yang kini jadi kaget karena ulah papinya sendiri, apalagi detik berikutnya, Panji memeluknya.
"Papi tahu kamu udah besar dan nggak mau meluk papi atau dipeluk sama papi, makannya kamu cuma meluk mami kamu, mungkin kamu juga nggak mau dekat-dekat papi. Tapi sekali ini aja Bi, izinin papi meluk putri papi yang udah besar ini ya? Sebentar aja."