Bukan Gadis Biasa

Mama Astrid tiba di Belanda untuk menemui ibunya. Dia ingin mencari sekutu yang bisa mempengaruhi Abizar. Dulu biasanya Abizar akan patuh jika neneknya ini berkehendak.

Namun, yang tidak mama Astrid sadari, seiring bertambahnya usia, kepatuhan Abizar semakin berkurang. Bahkan pria itu cenderung tidak suka diatur. Maka dari itu, Abizar tidak pernah lagi mengunjungi neneknya setelah lulus kuliah. Itu artinya sudah hampir lima tahun mereka tidak bersua.

"Kamu tumben inget mama?" tanya Nenek Weni.

"Mah, mama harus ikut aku pulang ke Indonesia. Abizar bikin ulah lagi, Mah," ucap mama Astrid. Nenek Weni hanya bisa mencibir putrinya. Sejak dulu dia selalu menjadikannya tameng dalam menghadapi putra-putranya dan juga suaminya.

"Kamu ingat ke mama cuma kalau lagi ada perlunya aja."

Mama Astrid terpaku malu mendengar ucapan ibunya. Karena apa yang dibicarakan memang 100% benar. Dia selalu mencari ibunya jika ada masalah saja.

"Tapi kali ini masalah Astrid serius, Mah."

"Seserius apa masalahnya, sampai-sampai kamu lupa menanyakan kabar mama?" Lagi-lagi ucapan sang ibu membawa pukulan telak bagi mama Astrid. Dia memang selalu begitu. Mendahulukan urusannya sendiri.

"Maaf, Mah."

Mama Astrid sendiri merupakan anak bungsu dari pasangan Weni Fatmawati dan Suryo Hadiningrat. Kedua pasangan itu memiliki tiga orang anak yang semuanya perempuan. Saat ini wanita tua yang sering dikenal dengan nenek Weni ini, tinggal bersama putri pertamanya di Belanda sedangkan Suryo Hadiningrat sudah meninggal lima tahun yang lalu dan anak keduanya tinggal di Jerman.

Mama Astrid sejak dulu memiliki watak yang keras dan manja. Semua yang dia inginkan harus terwujud, tidak hanya sebatas pada ibunya saja, bahkan kepada suami dan anak-anaknya pun dia juga terlihat sangat egois.

"Astrid, kamu itu sudah di usia yang tidak pantas lagi memikirkan sesuatu hal harus sesuai dengan keinginan kamu. Kamu harus open minded. Apa kamu tidak kasihan pada anak dan suami kamu? Apa-apa harus sesuai maunya kamu. Mereka mungkin lama-lama bosen juga menghadapi kamu."

"Lalu aku harus gimana, Mah?"

"Ga ada jalan keluar. Kamu cukup diam aja, lihat sejauh mana anak kamu membuat keputusan untuk dirinya sendiri."

Astrid terdiam, Niatnya untuk mencari sekutu harus terhenti karena ibunya sudah tidak peduli padanya. Nenek Weni hanya menghela napas panjang melihat putrinya yang tidak pernah mau berubah.

***

Saat makan malam, suasana di ruang makan keluarga Subroto terasa canggung. Leona tidak berani bicara saat melihat wajah papinya, kakak pertama dan kakak keduanya cemberut. Leona tahu, pembicaraan tadi dengan Abizar tidak membuahkan hasil apa-apa. Yang ada justru malah Abizar membuat kesal semua keluarganya kecuali Alexiuz. Karena Alexiuz sendiri memiliki kerja sama dengan Abizar dan hubungan keduanya terbilang cukup baik.

Karena sangking kepikiran dengan masalah ini, Leona merasa sedikit kurang nyaman. Selama makan, Leona terus menunduk, sedangkan mama Wulan dan papi Sabara sesekali mengamati perilaku Leona.

"Ugh!" Leona membungkam mulutnya dan berlari meninggalkan meja makan. Perutnya mual dan kepalanya mendadak pusing.

Leona masuk ke kamar kecil dan muntah di wastafel. Mama Wulan dan yang lainnya dengan cemas segera menyusul kemana Leona pergi. Leona menutup pintunya. Dia terus muntah tanpa henti.

"Sayang, buka pintunya! Ada apa dengan kamu?" panggil mama Wulan.

"Leona, kamu kenapa?" Leonard ikut memanggil adiknya, cemas.

"Aku ga apa-apa. Kalian lanjut makan aja dulu," ujar Leona. Suaranya terdengar lemah.

"Biar aku yang urus Leona. Kalian lanjut makan aja," kata Alexiuz. Keempat anggota Subroto lainnya akhirnya mengalah. Mereka kembali ke ruang makan. Namun, selera makan mereka telah menghilang.

Leona membuka pintu toilet, wajahnya pucat pasi. Alexiuz menatap wajah adiknya dengan cemas. Namun, belum sempat Alex membuka mulut untuk bertanya, Leona kembali masuk ke toilet dan muntah. Alex kini ikut masuk dan memijat tengkuk Leona.

"Masuk angin, hmm?"

Leona menyeka bibirnya dengan tisu dan mengangguk lemah. "Iya."

"Aku bantu ke kamar, nanti aku minta bibi bikin jahe anget buat kamu."

"Gendong!" Leona mengulurkan tangannya dan merengek seperti anak kecil. Alex dengan gemas mengacak rambut Leona. Meski jarak usia mereka hanya terpaut dua tahun, tapi tinggi badan keduanya terlihat begitu jomplang. Leona yang tingginya 162 centimeter terlihat sangat mencolok di samping Alexiuz yang memiliki tinggi 189 centimeter.

Alexiuz hanya bisa pasrah menghadapi manjanya si bungsu. Dia sedikit membungkuk dan Leona naik ke punggung kakak ketiganya itu.

"Abang. Abang marah juga sama aku?"

"Kenapa harus marah?" tanya Alex.

"Ya karena masalah ini."

"Abang ga marah, tapi lain kali kamu harus berhati-hati. Bang Bizar juga bukan orang jahat. Abang kenal baik dia. Jadi abang percaya semua tidak di sengaja, tapi abang penasaran, kamu emang beneran ga mau sama Abizar?"

Leona memukul bahu kakaknya cukup keras. Bibirnya manyun karena marah. "Engga, ih. Aku masih 23 tahun. Banyak hal yang belum aku lakuin."

"Memang kamu mau lakuin apa lagi? Kembali ke kampung kumuh itu? Jangan harap. Mulai sekarang pengawasan kamu diperketat."

"Ish, abang ga seru." Keduanya berbicara hingga tiba di lantai dua. Alex membawa Leona masuk ke kamar gadis itu.

"Kamu tunggu di sini. Abang mau bilang ke bik Siti dulu."

Saat Alex hendak meninggalkan Leona, gadis itu memegang pergelangan tangan Alexiuz dengan lembut.

"Maaf kalau aku sering bikin kalian semua kepikiran," ucap Leona dengan mata yang telah tertutup kristal bening.

"Kamu itu kesayangan kami. Jadi apapun yang terjadi, baik aku, bang Leon, bang Leo, mama dan Papi pasti akan selalu menjadi garda terdepan kamu. Jangan terlalu dipikirkan. Kesehatan kamu lebih penting."

Alexiuz mengusap pipi Leona dan dengan lembut mengecup puncak kepala adiknya. Saat leona berkedip, buliran kristal bening itu jatuh satu per satu.

Leona memeluk perut Alex dengan sayang. Alex membelai puncak kepala Leona. Sesaat suasana di ruangan itu begitu syahdu dan sendu.

"Ma, gimana ini?"

"Apanya yang gimana?"

"Ya soal Abizar, soal Leona," kata Sabara.

"Besok lagi kita bahas. Papa ga lihat, Leona sampai sakit kaya gitu. Dia pasti kepikiran masalah ini terus."

"Ya makanya itu, enaknya gimana? Papa ga mau Leona kepikiran, tapi kalau dipikir-pikir kita juga yang rugi kalau menolak Abizar. Dia sudah menang banyak lihat anak kita."

Mama Wulan melirik suaminya dengan sengit. "Mama bilang bahas besok, ya besok."

"Galak amat, Mah. Yang salah kan anak si Widjaya itu. Kenapa jadi papi juga kena semprot."

"Habisnya papi itu bikin orang ga selera makan. Lihat tuh anak-anak papi pada berhenti makan."

Sabara menoleh dan mendapati kedua anaknya menatap dirinya dengan tajam.