"Aku memacari Echa, hanya karena dia mirip denganmu. Aku gak akan bisa melupakanmu Inayah. Jadi dengarkan aku, pasti... pasti aku akan memutuskan Echa apabila kamu mau kembali padaku!" Terdengar lamat-lamat pertengkaran Catur dengan mantan kekasihnya yang bernama Inayah dihalaman belakang sekolah.
Bagai dihantam ribuan batu, bagai ditusuk ribuan pisau. Sakit, nyeri, ngilu dan segala macam perasaan kecewa melemaskan semua otot tubuhnya. Echa terjatuh, tertunduk dengan berderai air mata.
"Jadi selama hampir setahun ini aku hanya sebagai pelampiasan." monolog gadis itu yang tak lain adalah Echa sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erchapram, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permata Dalam Lumpur
Berada dalam keluarga lengkap dan kehidupan yang mewah merupakan keinginan semua manusia. Tapi, haruskah kita lupa. Jika Tuhan Sang Maha Mengatur? Kita bahkan tidak diberikan pilihan untuk memilih harus lahir dilingkungan apa. Semua sudah digariskan, semua sudah diberi jalan hidup masing-masing. Kita hanya diperintahkan untuk ihklas menjalani semua takdir melalui ibadah yang diwajibkan. Karena Tuhan Maha Tahu mana ya terbaik untuk umatnya.
Sama halnya denganku yang harus menghadapi kerasnya hidup. Aku hanya punya seorang Ibu, dan kakek serta nenek saja. Jangan tanya dimana Bapak ku? Karena itu akan membuka luka hatiku kembali menganga. Tapi akan aku ceritakam sedikit buat kalian. Ya, Bapak ku pergi dengan selingkuhannya dan meninggalkan aku serta Ibu saat aku masih berumur 5 tahun. Aku gak tau rasanya kasih sayang dari seorang ayah, tapi aku harus tetap bersyukur. Karena masih ada Ibu, Kakek dan Nenek yang selalu melimpahkan kasih sayangnya padaku.
Dari kehidupan yang pahit ini, aku belajar dewasa. Harus memahami kondisi keluarga, aku bahkan tidak malu saat membawa barang dagangan ke Sekolah. Menjajakan keripik singkong buatan Ibu pada teman-temanku, lumayan uangnya bisa buat jajan dan juga beli buku. Banyak yang medukung serta memberikan aku semangat. Tapi tak sedikit juga yang merendahkan. Cibiran, hinaan, dan caci maki menjadi makanan sehari-hari.
"Hey, kau anak miskin bisa sekolah di SMA X juga ternyata." Hinaan dari si Kamboja untuk ku.
"Halah palingan juga karena beasiswa, kalau gak mana mungkin Si Dekil ini menginjakkan kaki di Sekolah Favorit." Kenanga pun menambahi cibiran tak kalah sadis.
Aku hanya diam tak membantah. 'Apa ada yang salah jika aku masuk Sekolah Favorit. Toh aku mendapatkam beasiswa karena aku memang layak. Aku pandai, meskipun miskin otak ku bekerja. Daripada mereka yang cuma bisa membanggakan kekayaan orang tua tapi otak kosong' gerutuku dalam hati.
Kadang aku berfikir, kenapa kelayakan manusia hidup harus dinilai dari status sosial. Tidak kah mereka sadar sejatinya dunia hanya persinggahan sementara. Kekayaan yang mereka miliki pun hanya titipan. Lalu apa yang mereka sombongkan sebenarnya. Bukankah, manusia mati semua membusuk dibalik timbunan tanah? Kaya, miskin, pejabat, ataupun penista sama saja dihadapan Tuhan. Yang membedakan hanya amalan yang mereka perbuat saat hidup. Surga Neraka yang sesungguhnya telah menanti setelah kita mati. Lalu untuk apa kesemena-menaan yang merela lakukan padaku.
Sedih? tentu saja aku sedih. Rasanya tak ada habisnya kepedihan yang kujalani. Pernah juga aku dihadang seorang bapak-bapak yang membonceng anak gadisnya. Dengan pandangan meremehkan dia berkata "Sekolah dimana kamu? anak miskin kayak kamu gak pantas sekolah disitu. Merusak pemandangan saja."
Lamunanku buyar seketika Ibu memanggilku dari arah dapur. Malam ini kami kembali membungkusi keripik singkong yang akan dijual besok pagi. Karena masih masa MOS jadi aku belum belajar, belum ada pelajaran juga kan.
"Cha, besok kamu bawa keripik lagi atau tidak?" Tanya ibuku.
"Bawa bu, tapi sedikit saja. Soalnya mungkin besok gak terlalu siang pulangnya. Hanya lomba yel-yel saja bu." Jawabku sambil terus memasukkan keripik yang sudah digoreng itu ke kantong plastik bening.
"Maafkan Ibu ya sayang, Ibu belum bisa memberikan kebahagiaan selama ini untuk kamu" Lirih Ibu sambil menatapku sendu.
"Aku sudah bahagia Bu, aku memiliki seorang Ibu hebat, aku punya kakek seorang Polisi yang kuat. Dan juga nenek yang penuh kasih sayang. Aku bisa sekolah, bisa makan, bisa bermain. Aku sehat apalagi yang kuharapkan Bu?" Jawabku menggebu.
"Hm hm" Kakek tiba-tiba datang sambil berdehem yang membuat kami berdua berjingkat kaget.
"Echa cucuku yang cantik satu-satunya kemari nduk. Kakek punya cerita untuk kamu." Ajak kakekku.
Ya, memang aku cucu tunggal untuk kakek dan nenek ku. Aku sangat dekat dengan kakek ku. Karena aku mendapatkan sosok Ayah dalam diri kakek. Dari kecil aku suka mendengarkan kakek berdongeng, dan kebiasaan itu berlanjut sampai sekarang. Cerita tentang masa muda kakek, tentang perjalanan kakek sehingga menjadi seorang abdi negara. Dan tentunya petuah-petuah kehidupan yang menjadi motivasi ku, sehingga aku bisa selalu berfikir dewasa bahkan sebelum aku berumur dewasa.
Ada yang bilang hiduplah seperti air yang mengalir, menurut kemana arus membawa mu. Tertubruk batu, merembes dari lubang kecil. Agar hidup kamu tentram. Tapi pemikiran itu salah menurutku. Jika aku diibaratkan ikan dan aku mengikuti arus begitu saja. Sama artinya aku seperti ikan mati, tak punya pilihan, tak punya cita-cita. Aku mau menjadi ikan hidup, seperti ikan salmon yang melompat-lompat melawan arus agar tidak jatuh dari ketinggian dan berakhir berada dalam tempat yang tidak ku kenal. Aku mau menjadi ikan hidup, yang meskipun nanti tertangkap manusia tapi tetap menikmati arti perjuangan.
Malam ini, kami ber empat bersenda gurau seperti biasa. Mensyukuri apa yang kami miliki adalah kunci sejati kebahagiaan. Selesai dengan keripik singkong yang telah terbungkus semua. Kami memutuskan untuk segera tidur, agar besok pagi kembali bangun dengan sehat dan selalu semangat.
Adzan Subuh berkumandang, artinya harus sudah kembali menjalani rutinitas hari ini. Sesudah sholat subuh, aku membantu Ibu memasak. Menyiapkan 2 cangkir kopi untuk kakek dan nenek ku. Aku terbiasa sarapan dipagi hari, serta untuk menghemat aku memilih selalu sarapan di rumah.
Jam sudah menunjukkan pukul 06:00, aku harus segera berangkat. Dengan semangat membara aku mengayuh pelan sepedaku. Sambil bersenandung kecil agar perjalananku tidak sepi. 30 menit kemudian aku tiba di Sekolah, setelah memarkir sepeda di tempat yang seharusnya. Aku berjalan menuju kelasku berada. Ternyata sudah ada Ratna dan Nia, sedang Vava belum menampakkan batang hidungnya. 5 menit menuju bel berbunyi, dari arah gerbang terlihat Vava berlarian sambil ngos-ngosan karea kehabisan nafas.
"Kenapa kamu baru datang Va?" Tanyaku yang diangguki Ratna dan Nia.
"Aku telat bangun, trus kamar mandi pake ngantri lagi. Mana belum sempat sarapan juga." Vava menjawab sambil terus mengatur nafasnya yang terasa mau putus.
"Syukurin, kapok, tuman hahahaha" Kompak aku, Ratna dan Nia menertawakan kekonyolan Vava.
Dan itulah kebersamaan kami ber empat untuk menyambut hari ke dua MOS hari ini dengan penuh semangat.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Alhamdulillah satu part lagi berhasil aku publish. Semoga saja ada yang mampir baca.
Jangan lupa like, komen dan vote jika cerita ini menarik untuk kalian.
Harap maklum jika masih banyak typo dan tanda baca yang tidak pas.
Saran dan kritik membangun masih aku harapkan ya.
Terima kasih.
By : Erchapram