NovelToon NovelToon
Feathers

Feathers

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Cinta Beda Dunia / Iblis / Dunia Lain
Popularitas:810
Nilai: 5
Nama Author: Mochapeppermint

Mereka bilang aku adalah benih malaikat. Asalkan benih di dalam tubuhku masih utuh, aku akan menjadi malaikat pelindung suatu hari nanti, setelah aku mati. Tapi yang tidak aku tahu adalah bahaya mengancam dari sisi manapun. Baik dunia bawah dan dunia atas sama-sama ingin membunuhku. Mempertahankan benih itu semakin lama membuatku mempertanyakan hati nuraniku.

Bisakah aku tetap mempertahankan benih itu? Atau aku akan membiarkan dia mengkontaminasiku, asal aku bisa menyentuhnya?

Peringatan Penting: Novel ini bisa disebut novel romansa gelap. Harap bijak dalam membaca.
Seluruh cerita di dalam novel ini hanya fiksi, sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggung pihak manapun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mochapeppermint, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11 The Seed

“Suster," Panggilku pada Suster Nadia. "Aku penasaran mimpi seperti apa yang Suster lihat.” Tanyaku pada Suster Nadia.

Aku menatap langit-langit kamarku yang tinggi. Biasanya saat mau tidur seperti ini aku selalu mengobrol dengan Mikaela. Tapi karena aku tidak mau memikirkannya, jadi aku mengalihkan pikiranku pada Suster Nadia.

Saat aku menoleh padanya, Suster Nadia tersenyum seraya menyisir rambutnya yang panjang. Ternyata di balik kerudungnya, rambutnya sangat cantik, tebal dan terlihat halus, hampir seperti Mikaela, hanya saja lebih sehat. “Kalau aku bilang sih tidak terlalu jelas, beda seperti para pelihat lainnya, mereka bisa melihat dengan jelas. Sefangkan aku hanya sekilas-sekilas saja. Awalnya aku melihatmu saat masih kecil,” Dia tampak hilang dalam lamunannya sambil tetap menyisir rambutnya dengan perlahan. “Mungkin sekitar umur sepuluh tahunan. Karena biasanya benih baru muncul sekitar umur segitu. Kami ada tim yang bisa menggambar sketsa, tapi kami tidak mendapat banyak informasi karena saat itu yang kami cari adalah anak kecil. Tapi setelah aku mendapat penglihatan yang baru, saat kamu sudah besar, kami bisa mencarimu dengan cepat.”

Suster Nadia menurunkan tangannya dan mengerutkan dahinya. “Dan ternyata benar, saat itu memang kamu sedang di buru. Jadi mungkin karena itu penglihatannya lebih jelas.”

“Apakah sebelumnya ada benih disini juga?”

Suster Nadia menggeleng. “Belum ada. Kamu yang pertama.” Dengan anggun Suster Nadia menyibakkan rambutnya kesamping sebelum merebahkan tubuhnya di atas ranjangnya. “Kamu sudah dengar tentang Gideon?”

“Sudah. Siapa yang melihatnya?”

“Seorang Suster di daerah Jawa tengah yang melihatnya. Sebenarnya informasinya datang kesini agak sedikit terlambat karena kebetulan di biara sana agak jauh dari mana-mana dan tidak ada koneksi internet. Tapi untung saja Pastor Xaverius dan Pastor Ignatius bisa bergerak dengan cepat, tapi saat mereka mau berangkat, aku melihatmu. Jadi mereka berpisah.”

Aku meresapi informasi itu sejenak sebelum bertanya lagi. “Suster pernah bilang kalau awalnya Suster menentang Pastor Xaverius. Bagaimana ceritanya?””

Wanita itu tertawa ringan. “Iya, itu karena tiba-tiba mereka menyeleksi beberapa Pastor dan Frater dan mulai melatih mereka. Latihan mereka bukan hanya berdoa dan puasa, tapi juga latihan-latihan seperti militer. Menembak, bermain pisau, bela diri. Selain itu perlahan banyak orang-orang luar yang keluar masuk biara. Rupanya mereka tim intelegen Pemerintahan tapi saat itu aku tidak tahu untuk apa. Yang aku tahu kami ini selalu di ajari tentang kedamaian, bukan peperangan.

“Sejak kedua Pastor itu masuk kesini, biara disini terasa lebih sibuk daripada biasanya. Dan tidak banyak yang tahu tentang siapa mereka kecuali Kepala biara dan beberapa Suster dan Pastor. Kami di ajarkan tidak banyak bertanya. Jadi, yah… Itu bukan tipeku.” Suster Nadia tertawa kecil. “Awalnya aku tidak di pedulikan sampai akhirnya aku melihatmu. Saat itulah rasanya perlahan aku mulai masuk kedalam tim mereka dan perlahan aku mulai paham apa yang mereka cari.”

Saat aku menoleh menatapnya wajahnya tampak berseri-seri. “Suster tampaknya senang.” Ucapku ikut merasa senang untuknya.

Suster Nadia mengangguk. “Rasanya seperti misi rahasia.”

“Memang banyak yang nggak tahu soal ini ya? Tadi aku bertemu Suster Brigitta dan Suster Olga, mereka tampaknya nggak tahu tentang ini.”

“Iya. Memang sebisa mungkin hal ini di redam sebaik mungkin.”

“Suster tahu tentang benih yang gugur di dalam gereja?”

Suster Nadia menggeleng. “Benih yang di jaga Pastor Xaverius ya?” Tanyanya dan aku mengangguk walau dia pasti tidak bisa melihatku. “Aku tidak tahu banyak tentang itu, tapi aku memang dengar walaupun di dalam gereja, itu tidak bisa menjamin keamanan benih. Aku ingin mencari tahu kenapa tapi Pastor Xaverius tidak mau berkata apa-apa. Mereka merahasiakannya dengan ketat. Oh, iya aku lupa bilang kalau Kepala biara ingin bertemu denganmu besok.”

“Kepala biara?”

“Beliau sangat ingin bertemu denganmu. Seharusnya hari ini tapi beliau masih ada urusan di kota.” Jelasnya.

Membicarakan Kepala biara mengingatkanku pada Kepala pantiku, Suster Dorkas. Apa beliau tahu aku disini? Atau beliau pikir aku masih di rumah Mikaela? Sudah hampir dua minggu aku tidak bertemu dengannya, dan sejak disini pun aku belum memberinya kabar sedikit pun, rasanya aku benar-benar merindukannya.

Tak lama kami mengucapkan selamat tidur dan beberapa menit kemudian aku bisa mendengarkan nafas Suster Nadia memelan, sebelum aku sendiri juga mulai terlelap.

The Fallen

Aku tidak bisa bernafas, bahkan mengambil nafas dari mulut pun juga tidak membantu. Jantungku berpacu kuat. Menggerakkan sedikit ototku pun aku sudah tidak mampu lagi. Aku juga sudah tidak mampu mengeluarkan perisai tak kasat mata. Kelelahan sudah membayangi kedua mataku hingga aku bisa melihat kegelapan mulai membayangi sisi penglihatanku. Aku sudah tidak peduli ada manusia yang melihat kedua sayap hitamku. Tapi aku yakin di sini tidak mungkin ada manusia.

Aku sedang berbaring memandang langit malam tak berbintang di atas gedung perkantoran. Namun ini sudah pukul dua dini hari. Suasana sudah sepi, udara juga lebih sejuk.

Sudah seharian aku berkeliling dari Gereja ke Gereja mencari Amy, tapi tetap tidak ada hasil. Aku menajamkan seluruh instingku saat aku mengintai di setiap Gereja dan nihil. Dari dalam kota sampai luar kota, tidak ada tanda-tanda Amy maupun Mikaela.

Aku tahu masih banyak Gereja-gereja yang belum ku datangi, namun rasa lelah sudah mendominasi tubuhku. Sudah hampir tiga hari aku tidak istirahat sejak aku mengikuti Amy keluar dari klub.

Setelah perasaan aneh itu menghantamku, aku langsung keluar dari markas dan terbang menjelajahi kota tanpa henti hingga malam kembali datang.

Kata-kata kalau Amy akan aman bersama Persaudaraan terus berkumandang di kepalaku berharap bisa menghiburku. Namun susah untukku mempercayainya. Aku harus melihatnya sendiri sebelum aku bisa yakin.

Ponselku bergetar. Sudah sejak kemarin ponselku terus bergetar, namun tidak ada waktu untuk mengangkatnya. Yup, kami juga punya ponsel, karena kami sudah tidak bisa menghubungi satu sama lain menggunakan telepati.

Dengan sedikit tenaga yang tersisa, aku mengambil ponselku dari kantong celanaku, dan saat aku hendak menyuruh Deyna untuk mengurus dirinya sendiri daripada meneleponku ribuan kali, kedua mataku membelalak melihat nama di layar ponselku.

Aku langsung terduduk membuat seluruh ototku memprotes keras. “Dimana Amy?” Sahutku langsung.

“Hah? Kenapa menanyakannya?” Tanya Mikaela terdengar bingung dan kesal. “Aku mau buluku sekarang!”

“Beritahu dimana Amy, setelah itu akan kuberikan bulumu.”

Mikaela terdengar mengerang keras hingga membuat suara sambungan berkeresak kasar. “Ada apa sih dengannya? Kenapa tiba-tiba semua orang mencarinya?”

“Jawab saja sebelum aku mendapatkan jawaban darimu dengan cara yang tidak akan kamu sukai!”

“Oh, mengancamku?” Aku akui Mikaela memiliki keberanian yang patut dipuji. Bahkan Deyna pun tidak akan berani membantahku. Mungkin lain kali aku akan memuji Mikaela, namun tidak sekarang.

Geraman rendah keluar dari mulutku. “Jangan salahkan aku kalau lima menit lagi kamu akan tersedak darahmu sendiri.”

Aku mematikan sambungan telepon, namun sebelum aku sempat menjejalkan ponselku ke kantong celana, ponselku bergetar lagi.

“Dia di Gereja St. Joseph.” Suara Mikaela masih terdengar lantang walau ada sedikit getaran. “Lima menit lagi aku mau buluku di antar ke rumahku.” Sambungan terputus.

Aku mengumpat lalu mengembangkan sayapku lalu menuju tempat yang Mikaela sebut. Dengan cepat aku memasang perisai tak kasat mata lalu mengirimkan pesan pada Astar untuk mengirim selembar bulu pada Mikaela sekarang juga.

Jantungku kembali berpacu dengan cepat, mengiringi adrenalin yang mulai mengucur deras. Tadi aku sudah mengintai Gereja St. Joseph, namun nihil. Saat ini aku membabibuta kesana bukan karena aku bodoh asal mempercayai Mikaela, tapi itu membuktikan teoriku benar. Persaudaraan ini lebih kuat.

Aku memang tidak bisa melacak Amy, tapi seharusnya aku tetap bisa melacak Mikaela walau saat itu dia jauh berada di dalam gedung Gereja itu. Dan itu membuktikan perisai mereka sangat kuat. Aku sadar kalau aku bodoh karena tidak meminta teman-temanku untuk membantu. Tapi saat ini aku tidak ingin menjawab segala pertanyaan yang membuat mereka bertanya-tanya kenapa aku bertingkah aneh. Karena aku sendiri pun tidak punya jawabannya.

Bukan kali ini saja Persaudaraan membuat perburuan kami gagal. Tapi walaupun kami kesal setengah mati, kami tidak akan repot-repot merebut buruan kami dari mereka karena itu akan sia-sia saja.

Itu dia! Gereja St. Joseph sudah terlihat di dalam penglihatanku. Hanya Gereja biasa yang di bangun pada jaman penjajahan Belanda. Karena ada perubahan seiring waktu, bangunannya bercampur-campur antara model kuno dan modern, seolah berbagai pasang puzzle yang tidak cocok di rekatkan jadi satu. Gereja ini berada di luar kota Jakarta yang padat dan di kelilingi tanah kosong yang luas, jauh dari pemukiman warga. Tempat yang sangat cocok untuk Persaudaraan.

Aku melipat sayapku dan meluncur turun tak jauh dari pagar besi yang mengelilingi tempat itu. Dengan pendengaranku yang tajam aku bisa mendengar doa-doa terus dinaikkan. Itu bukan doa biasa, itu doa perlindungan. Jadi karena itulah aku tidak bisa melacak apapun yang ada di dalam dan itu berarti memang Amy ada di sana.

Sesuatu mulai berkembang di benakku. Nyeri namun hangat. *Merindukannya? Benarkah ini rasa rindu? Tapi... Kenapa bisa*?

Sebuah bisikan lembut keluar dari bibirku tanpa aku sadari. “Amy.”

1
🌺Ana╰(^3^)╯🌺
cerita ini benar-benar bisa menenangkan hatiku setelah hari yang berat.
Yue Sid
Gak sabar nunggu kelanjutannya thor, semoga cepat update ya 😊
Mochapeppermint: Thank you 😆
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!