Kisah sederhana tentang dua anak manusia yng ingin saling menemukan kebahagiaan. Nia, gadis sebatang kara yang mentalnya hancur saat kecil karena orang-orang di sekitarnya. Bertemu dengan Bagus, laki-laki sederhana yang bekerja sebagai tukang bangunan. Niat tulus Bagus mampu membuat Nia luluh dan mau menjalin hubungan dengan Bagus hingga akhirnya menikah.
Bagaimana kisah keduanya? Yuk kita baca bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Muslikah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
"Sejauh yang aku ingat mas, seluruh anggota keluarga bapak mulai dari nenek, pakde, budhe, bulek, tante sampai ponakan semua sangat membenci aku dan ibu. Makian, cacian, hinaan, umpatan hampir menjadi makananku sejak kecil. Semua yang aku dan ibu lakukan selalu salah dimata mereka. Hanya bapak dan kakek yang benar-benar baik dan sayang padaku. Kadang sampai aku berpikir apa aku anak pungut atau anak tiri hingga seluruh keluarga membenci aku dan ibu" Nia menjeda ceritanya untuk sejenak mengambil nafas. Setelah menimbang-nimbang akhirnya Nia menceritakan kisah hidupnya pada Bagus.
"Tapi kakek dan bapak selalu menyakinkan aku kalau aku adalah putri kandung bapak, dan untuk semua makian, cacian, hinaan dan umpatan itu bapak memintaku untuk mengabaikannya. Aku pun nurut pada semua yang bapak katakan. Meski mentalku hancur sejak kecil tapi karena bapak ibu yang sangat sayang padaku, aku pun selalu mengabaikannya hingga mereka lelah sendiri. Tapi itu hanya bertahan sampai aku kelas satu SMP, karena saat itu bapak pulang ke pangkuan yang maha kuasa. Kematian bapak menurut nenek karena ibu dan aku pembawa sial" Nia menjeda kembali ceritanya untuk mengambil nafas dan mengatur emosinya.
"Setelah bapak meninggal, keluarga bapak yang sejak awal membenci aku dan ibu mulai terang-terangan menunjukkan kebenciannya pada kami. Dulu mereka masih ada rasa sungkan tapi setelah bapak tidak ada rasa itu benar-benar hilang. Mereka menganggap kami seolah-olah kami ini sesuatu yang sangat menjijikkan. Mereka dengan lantang mengusir kami dari rumah kami dengan alasan bahwa itu bukan milik bapak tapi masih milik kakek dan aku dengan ibu tidak berhak untuk tinggal di situ. Tapi kakek selalu menahan kami dan meyakinkan kami bahwa itu adalah milik kami. Kami bertahan karena kakek tapi sekuat kami bertahan semakin berang mereka pada kami. Terutama nenek, kebenciannya bahkan sangat terlihat sekali" Mata Nia mulai panas dan rasanya bulir bening itu siap meluncur dari pipi mulusnya.
"Setiap malam hampir tidak pernah ibuku bisa tidur dengan tenang, aku sering mendengar ibu menangis saat sholat malam. Tangisan yang sangat pilu. Ibu sungguh tidak kuat sebenarnya tapi karena kakek dan aku, ibu bertahan. Jujur aku pun sangat penasaran kenapa keluarga bapak begitu membenci kami, aku bertanya pada ibu apa alasannya" Nia memandang Bagus yang sejak tadi diam tapi mendengarkan ceritanya dengan seksama.
"Kenapa?" Tanya Bagus.
"Klasik. Bapak jatuh cinta pada ibu. Seorang wanita miskin yang tidak tahu asal-usul keluarganya. Bapak bertemu dengan ibu saat mereka merantau Bandung, bapak jatuh cinta dan menikahi ibu yang saat itu ditolak mentah-mentah sama seluruh anggota keluarganya. Kenapa? Karena nenek sudah berjanji dengan seseorang untuk menikahkan bapak dengan putrinya, nenek sangat menyukai keluarga itu karena mereka salah satu orang terpandang di kampung sebelah. Tapi bapak tidak mau dan nekat menikah dengan ibu. Hanya kakek yang merestui mereka. Setelah menikah bapak dan ibu kembali ke Bandung, tidak mungkin bapak menempatkan ibu satu rumah dengan nenek dan saudaranya yang lain. Tapi setahun setelahnya dengan dipaksa kakek, bapak pulang karena diminta kakek untuk membantu mengolah sawah dan ternak. Bapak mau asal sudah ada rumah sendiri dan kakek pun menyanggupinya. Berdirilah rumah sederhana di samping rumah utama kakek. Rumah yang menjadi saksi keharmonisan ibu bapak yang hidup penuh kesederhanaan dan bisa dibilang sangat kekurangan. Karena meski membantu kakek nyatanya bapak tidak mendapat upah selayaknya. Nenek tidak pernah ikhlas hartanya dinikmati ibu dan aku" Bagus melihat rona kesedihan yang dalam dari cerita Nia.
"Hari-hari setelah meninggalnya bapak adalah momen yang terberat bagi aku dan ibu. Terutama ibu yang tidak hanya berjuang sendiri mencukupi kebutuhan kami tapi juga harus berjuang melawan ketidakadilan dari keluarga bapak. Ibu bekerja sebagai buruh rumah tangga, pergi pagi kadang pulang sore tapi kalau ada acara bosnya akan meminta ibu pulang sedikit lebih malam. Dan setiap ibu pulang sedikit malam, nenek langsung memaki ibu dengan mengatai ibu seorang pelacur, jalang atau bahkan sundal. Sungguh hatiku sangat sakit mendengar cacian itu, padahal ibu bekerja tapi kenapa harus mendapatkan tuduhan seperti itu. Tuduhan yang sangat hina bagi seorang perempuan" Teringat kejadian memilukan itu Nia pun tak lagi sanggup menahan air matanya. Lolos juga bulir bening itu. Nia menangis pilu malam itu dan Bagus tak kuasa melihatnya. Bagus raih tubuh itu dan ia peluk erat. Semakin pilu bagus tangis Nia berada dalam pelukan sang kekasih.
"Mereka tidak tahu bagaimana kami sering tidak makan, kami sering puasa karena benar-benar tidak ada bahan makanan yang kami olah. Bahkan kami sering mengangkut air dari sawah karena nenek melarang kami memaki sumur dirumah. Kami menurut karena kami lelah dengan segala cacian mereka. Tapi nyatanya tidak membuat mereka puas, yang ada kami tetap salah. Hingga akhirnya ibu menyerah, malam itu saat selesai sholat malam aku kira ibu tertidur, hingga adzan subuh ibu belum juga bangun. Hal yang tidak biasa bagi ibu yang selalu bangun lebih awal. Aku mendekati ibu dan tubuh ibu sudah benar-benar dingin. Aku panik, tubuhku ikut gemetar. Aku takut ibu meninggalkan aku tapi aku tetap berpikir positif kalau ibu hanya tidur. Tapi saat aku pegang nadinya aku tahu ibu telah menyusul ayah. Aku menangis dalam diam. Aku memeluk ibu sangat erat dan lama. Detik itu hidupku benar-benar hancur. Aku binggung setelah ini harus bagaimana, karena hanya ibu lah yang aku punya saat itu hiks.....hiks" Nia semakin erat memeluk Bagus sebagai bentuk luapan emosinya.
"Memang masih ada kakek tapi nyatanya kekosongan hatiku tak bisa dipungkiri. Semangat hidupku hilang mas, aku hanya menjalani hidup untuk menunggu mati. Karena benar-benar tidak ada semangat sama sekali. Saat itu aku sudah bekerja di salah satu toko di Paron. Hidup sebatang kara aku pikir akan ada rasa iba dari nenek maupun saudara bapak yang lain, tapi ternyata hanya khayalanku saja. Mereka semakin gila mengumpatku. Tak segan mengatakan aku anak pembawa sial, putri seorang pelacur, aku menjijikkan, jelek, dekil dan masih banyak yang lain. Mentalku semakin hancur hingga membuat aku menjadi seseorang yang pendiam dan penyendiri" Nia kembali terdiam dan Bagus menyeka air mata Nia dengan tangannya. Sungguh pedih sekali kisah kekasihnya ini.
"Puncaknya mas adalah saat ada seorang ibu-ibu dan seorang perempuan datang ke rumah. Mencari aku, dan sialnya nenek yang menerima mereka. Aku tidak mengenal siapa dua orang itu. Mereka mengatakan aku membuat rencana pertunangan anaknya gagal karena laki-laki itu lebih memilih aku. Aku bingung karena aku benar-benar tidak memiliki hubungan dengan laki-laki manapun. Ibu dan anak itu memaki aku dengan kata-kata yang sangat kasar dan mengancam aku untuk segera meninggalkannya. Aku masih binggung karena aku benar-benar tak pernah pacaran dengan siapapun. Dan tanpa meminta penjelasan dariku terlebih dahulu, nenek menghajar ku habis-habisan, tubuhku habis dipukul nenek dengan sapu. Bukan hanya pukulan tapi juga semua umpatan dan makian nenek berikan padaku. Aku hancur dalam artian sebenarnya. Tidak ada satu orang yang menolong bahkan tempat bersandar pun tidak ada. Kecuali yang maha Kuasa. Hari itu tidak ada kakek, karena beliau sedang pergi mengantar padi. Nenek mengemasi barang-barangku dan mengusirku. Dengan tubuh yang habis dipukuli aku berjalan terseok pergi dari rumah yang sudah aku tinggali hampir 20 tahun hiks.......hiks" Nia semakin merapatkan pelukannya sebagai bentuk pelampiasan dari segala emosi yang terpendam selama ini.
.
.
""
slm kenao