"Ahhh, sakit sekali. Apa yang kau lakukan?”
“Maaf, aku tidak sengaja.”
“Aku tidak akan memaafkanmu, kecuali kamu bertanggungjawab atas apa yang terjadi padaku.”
“Ya. Kalau perlu Aku akan menikahimu!” Siapa yang akan menyangka perkataan tanpa pikir panjang itu, mendatangnya kepada masalah yang rumit dan mengubah hidupnya sangat jauh hingga tak ada jalan untuk kembali.
Kecelakaan hari itu, membawa mereka berdua pada ikatan paksa bernama pernikahan.
____
Pernikahan yang semula indah dan damai seolah pernikahan pada umumnya, hingga Ia lupa, bagaimana pun Ia adalah penyebab kehancuran suaminya. Ia layak untuk di benci.
Kau bersabar atas luka di sekujur tubuhmu
Aku bersabar atas sikapmu yang menyakitiku.
Jika kau tak pernah selembut itu mungkin perubahanmu tak begitu menyakitiku. Figuremu di hatiku seindah itu, sebelum sifatmu berubah membekukanku.
#Nikahpaksa
#Cintahadirkarnaterbiasa
Jangan lupa tinggalkan tanda di setiap partnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Light_Ryn23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan Akhir
Keputusan Akhir
Fidzah bersama Jefri baru kembali ke rumah, setelah pertemuannya dengan Aghni siang tadi, Aghni mengajaknya Ziarah terlebih dahulu di maqam Aulia Allah, yang juga salah satu penanggungjawab di pesantren mereka belajar dulu, juga seorang Ulama besar semasa hidup beliau.
Setelah mereka sampai di rumahnya ternyata Papa, Mamanya tak lupa Calon Mertuanya sudah datang yang kata Papa seharusnya datang malam nanti.
Fidzah masuk dan mencium tangan Semua orangtuanya, sebagai tanda adab. Jefri lebih dulu melakukannya dan mereka duduk dikarpet yang sudah terhampar dilantai dekat sofa.
Sebelum mengucapkan Kata, Papanya Fidzah menatap semua orang yang ada diruangan ini satu persatu, termasuk Yamani yang sudah duduk tegak di kursi rodanya.
"Kamu sudah yakin sama Anak saya?"Tanya Papanya Fidzah kearah Yamani.
"InnsyaaAllah saya yakin pak, Biidznillah,"Jawab Yamani penuh ketegasan agar Calon Mertuanya tidak meragukan Keyakinannya.
"Maaf Pak. Apa Bapak sudah menelusuri bagaimana karakter, ilmu keluarga, pendidikan dan Akhlaqnya?"Tanya Papa Fidzah Fidzah pada Ayahnya Yamani yang duduk disebelahnya.
Sebelum menjawab Ayahnya Yamani sempat menoleh menatap sang Istri mencari keyakinan serta minta persetujuan. Bundanya Yamani mengangguk yakin kearah sang suami, "Sudah. Dan InnsyaaAllah kamipun sudah yakin."
Hening. Tak ada lagi yang berbicara baik Fidzah maupun Jefri bahkan sempat menahan nafas saking gugupnya. Aneh padahal Jefri tidak punya urusan atas masalah ini, tapi mungkin saking dekatnya Ia dengan sang keponakan jadi Ia bisa merasakan apa yang dirasakan Fidzah.
Setelah perbicaraan panjang antara Papa dan Mamanya beberapa hari yang lalu, maka disepakatilah Keputusan, "Keputusan ada ditangan Saya sebagai kepala keluarga dan Wali Mujbir dari Anindiya Hafidzatul Mekkah."
Terdengar Helaan Nafas panjang dari Papanya Fidzah, Yamani menelan kasar ludahnya sendiri melihat ketegasan dari sang Calon Mertua, "Saya Terima lamaran dari anak Bapak."
Terdengar helaan nafas lega dari semua orang yang ada diruangan itu, Bahkan Yamani berteriak sambil menengadahkan tangannya "Alhamdulillah. Makasih Ya Allah."
Tentu semua mata seketika tertuju pada Yamani yang berteriak kencang mungkin terdengar sampai keluar ruangan. Berbeda dengan Fidzah yang Panas dingin sambil bersembunyi dibelakang Jefri gemetar ketakutan.
"Tenang Ka, Sabar dan Ikhlas ya! Baca Al-Fatihah lalu Sholawat,"Bisik Jefri nyaris tak dengar, Fidzah mengangguk dan hanya membaca Sholawat karna dia sedang Haid.
"Apa sekarang kita tentukan Tanggal Nikah? Atau Lamaran Resmi?"Usul Bundanya Yamani lalu menatap satu persatu orang yang ada diruangan itu. Yamani pagi tadi keluar dari Rumah sakit, setelah di rawat hampir seminggu di sana.
"Hafidznya bagaimana? sanggupkah sudah?"Tanya Ayah Yamani.
"Emm, Bukankah lebih cepat lebih bagus?"Jawab Yamani lalu tersenyum malu.
"Fidzahnya bagaimana? Siapkah?"Tanya Bundanya Yamani kearah Perempuan yang masih bersembunyi di belakang Jefri.
"Aku Ngikut keputusan Papa aja,"Jawab Fidzah Lalu kembali bersembunyi dipunggung Jefri tempat dia menyandarkan kepala.
"Kalau Nikahnya minggu depan bagaimana?"Tanya Ayahnya Yamani pada Semua orang wabil khusus Papanya Fidzah.
"Arba depankah? Jum'at saja bagaimana?"Usul Balik Papanya Fidzah. Tentu saja Papanya sudah merencakan tanggal dengan Ayah Yamani sebelum ini, makanya Jefri sudah mengedit foto undangan walau dia tidak berpengalaman untuk disebar di keluarga besar.
"Bukankah terlalu Cepat,"Ucap Mamanya Fidzah, walau beliau rencana yang sudah matang tersebut. Sedikit banyaknya beliau masih ragu, diantara semua anaknya Fidzahlah yang belum terbayangkan bagi Mama untuk dilepaskan. Anak bungsunya belum banyak mendapatkan kasih sayangnya.
"Kami ingin kembali ke kota kami tinggal, banyak urusan yang harus kami Urus."Jawab Bundanya Yamani lembut sambil menatap calon Besannya itu.
"Jum'at ini saja, Biar percepat waktu,"Keputusan Ayahnya Yamani. Seolah tak sanggup lagi untuk ditolak terbukti atas semua kepala yang ada mengangguk kecuali kepalanya Fidzah yang ketakutan dan Jefri yang Protes "Cepat sekali."
"Mereka baru bertemu minggu lalu karna kecelakaan. Minggu ini sudah nikah? Ta'arufnya kapan?"Ucap Jefri seolah minta keadilan tenggang waktu untuk melepas keponakannya.
"Masih ada dua hari sebelum Akad, dan masih banyak Waktu setelah Kami Menikah untuk Saling mengenal dan mengerti satu sama lain."Yamani Berucap demikian dengan Senyum kemenangan. Karna setelah ini dia akan lebih berhak atas perhatian perempuan yang masih bersembunyi itu, daripada Jefri.
"Kak, Aku keluar dulu ya! Ada ingin Aku beli, dia daritadi cuma makan Apel."Izin Jefri pada Kakak dan Kakak Iparnya, Papanya Fidzah mengangguk mengerti mengidzinkan keduanya.
Setelah Fidzah dan Jefri pergi. Semua pembahasan akan direncakan untuk hari Jum'at, baik mengurus surat-surat Peridzinan Nikah yang akan diurus anak buah dari Ayahnya Yamani. Pelaminan, dekorasi, dan baju pernikahan Syar'i yang akan diserahkan keadik Papanya Fidzah yang punya usaha rias pengantin dan dekorasi. Pernikahan sederhana yang akan dilakukan dua hari mendatang disiapkan dengan banyak tangan.
Tak ada yang tau kenapa dan apa sebab dari kehancuran hati seorang manusia, bisa saja hanya karna beberapa kata yang terucap dari lisan, beberapa tindakan yang kadang kita pun melupakan hal tersebut. Atau bahkan karna keputusan sepihak tanpa persetujuan.
Tapi jika sudah musyawarah dan mufakat, lalu hasilnya tak sesuai dengan harapan lantas siapa yang harus di salahkan? Jika masih ada hal yang mengganjal, lebih baik diutarakan agar tidak jadi beban pikiran. Sebab kalau diselatankan kejauhan.
Hidup adalah rencana yang bisa saja kita bangun dan kita susun serapa mungkin. Namun, jangan sampai semua usaha itu menghilangkan harapan dan menimbulkan keyakinan. Karna, jika keyakinan hadir tanpa iman akan mendatangkan kekecewaan saat kenyataan jauh daripada harapan.
Kita memang berhak berencana dan bahkan diharuskan untuk memiliki rencana agar hidup ada tujuan dan agar hidup tidak berantakan. Namun, ingat satu hal seberapa keras pun kita berusaha, sebaik apapun tersusun rencana, Tuhan jua yang menentukannya. Berharaplah lalu berserahlah pada KuasaNya. Sebab tak ada satu pun kerusakan dari rencana yang Tuhan tetapkan.
Jika merasa sebagai makhluk beriman, jangan sembarangan dalam berkelakuan. Hendaknya kita menerima, dan berusaha atas apa jua yang kita jalani. Sebab pasti ada jalan yang indah di atas musibah. Walau perlu airmata dalam menerimanya, namun kebahagian adalah akhirnya.
Hidup adalah berjalan, maka berjalanlah di jalan yang telah di tentukan. Bukan malah memilih salah jalan, dengan dalih akan kembali. Sebab hidayah tak mudah kita dapati, maka jaga jangan sampai hilang lagi.
Hidup itu adalah berjalan, jalani prosesnya lalu nanti nikmati akhirnya. Sebab tujuan adalah tempat terakhir yang jadi persinggahan, atas apa jua yang kita usahakan. Tujuan kita sama, walau jalan kita berbeda. Berpisah bukan berarti tak lagi di pertemukan. Semangat, jangan hilang arah Yang Tersayang Hafidzah.
Fidzah menatap nanar tulisan yang dia tulis sambil menangis untuk dirinya sendiri. Kertas itu dia kembalikan ke dalam totebag yang selalu dia bawa kemana-mana, buku dan pulpen adalah penghuni utamanya. Di depan bangunan bertuliskan The Mall City, berdiri di dekat taman air yang menjadi Icon kotanya. Menatap Air adalah caranya, dalam menenangkan pikiran.
***
Satu Vote dan like kalian membantu menyemangati kami dalam menulis
Dan sedikit Hadiah kalian sangat berarti untuk kami memperbaiki tulisan dan menyajikan bacaan yang lebih berkualitas dengan mempunyai tablet sebagai Fasilitas.
Cinta yang rela menunggu, tapi bukan sebagai kekasihmu 🤕
Ditunggu Partnya Satriaa ya Thor