Benarkah mereka saling tergila-tergila satu sama lain?
Safira Halim, gadis kaya raya yang selalu mendambakan kehidupan orang biasa. Ia sangat menggilai kekasihnya- Gavin. Pujaan hati semua orang. Dan ia selalu percaya pria itu juga sama sepertinya.
...
Cerita ini murni imajinasiku aja. Kalau ada kesamaan nama, tempat, atau cerita, aku minta maaf. Kalau isinya sangat tidak masuk akal, harap maklum. Nikmati aja ya temen-temen
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dochi_19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
apartemen Gavin
Jarinya menari di atas tuts piano hitam itu. Lantunan musik pun terdengar seiring dengan tempo pergerakan jarinya yang kian cepat. Safira begitu menikmati irama yang ia ciptakan. Selagi matanya sesekali melirik kertas partitur yang ada di sana. Sampai sebuah suara tepuk tangan menghentikannya.
Safira menoleh ke arah pintu. Raisa dan Ryan masuk bersamaan. Tapi hanya Ryan yang memberikan tepuk tangan. Kedua orang itu lalu duduk di sofa panjang.
"Wah, keren sekali adik sepupu." Ryan memuji.
Safira tersenyum. "Makasih, kak."
"Tuh, lihat Safira, jadi perempuan itu harus lemah lembut dan anggun," ucap Ryan seraya menatap Raisa yang sibuk dengan ponsel.
"Seorang dokter gak butuh keanggunan wanita rumahan kayak dia." Raisa menjawab ketus.
"Pasien juga lari kalau dokternya galak kayak kamu."
"Yang mereka butuhkan itu ilmu aku, bukan kepribadian. Emangnya orang sakit bakalan sembuh di tangan yang lemah lembut tapi gak punya kemampuan dokter hebat? Gak, lah."
"Tapi setidaknya kamu jangan galak-galak amat sama orang. Kan enak kalau dokternya hebat plus ramah."
"Setiap orang punya kekurangan, kak. Dia juga kan gak sepenuhnya sempurna, punya penyakit."
Safira terdiam. Raisa memang yang paling jutek dan blak-blakan dalam berbicara. Jadi ia tidak terkejut, mengingat kejadian seperti ini bukan hanya sekali.
"Maaf Safira, aku yakin Raisa gak bermaksud ngomong begitu." Ryan yang meminta maaf.
"Aku gak apa-apa, kak."
Raisa sendiri tak menghiraukannya. Ia masih sibuk bermain ponsel dan tidak menunjukkan raut penyesalan. Seolah yang dikatakannya adalah hal kecil.
Ryan pun berusaha mengalihkan topik. "Selain pintar kamu juga punya bakat bermain piano, pantas saja calon adik sepupu suka, ya. Siapa pula yang mampu menolak Safira dengan semua 'kelebihannya'?"
Safira tidak berkomentar, hanya tersenyum.
Lain hal dengan Raisa yang tiba-tiba melepaskan pandangan dari ponselnya. Sekarang sepenuhnya tertarik pada Safira.
Ryan melanjutkan, "bagaimana hubungan kalian? Lancar?"
Safira menjawab, "tentu."
"Hati-hati siapa tahu nanti dia berubah pikiran. Laki-laki itu mudah bosan sama gadis lugu kayak kamu." Raisa mencibir.
"Kak Gavin bukan tipe orang seperti itu." Safira menjawab ketus.
"Ya, aku hanya kasih saran aja. Takutnya nanti kamu kecewa terus mati serangan jantung."
"Raisa!" Ryan berdiri lalu menggeram dengan tangan yang menunjuk wajah Raisa.
Safira ikut berdiri ingin menengahi mereka berdua. Tapi sepertinya akan sulit.
Raisa berdiri lalu melotot pada Ryan. "Apa?!"
"Kamu, ya, jaga ucapanmu! Safira itu keluarga kita. Hargai dia!"
"Memang kenapa, hah?! Gak di rumah, gak kakek, sekarang kamu Ryan. Semuanya membandingkan dia. Aku muak sama dia! Kenapa gak mati aja sih, hah?!" Raisa berteriak setengah menjerit di depan wajah Ryan lantas berlari keluar.
"Anak itu..." Ryan kesal.
"Sudah, kak. Aku gak kenapa-kenapa." Safira mencoba menenangkan Ryan.
"Kamu jangan marah sama dia. Mungkin dia lagi ada masalah sama bibi Karina. Aku coba susul dia." Ryan pun keluar menyusul Raisa.
Safira bisa mengerti perasaan Raisa. Tentu saja ia juga mengalami hal yang sama. Orang tua mereka sibuk membandingkan dan tidak ingin kalah. Mungkin sejak lama keluarga Halim terus mengalami siklus seperti ini. Tekanan yang mereka alami di rumah sama saja. Mungkin cara Raisa meluapkan emosinya adalah dengan menghinanya, ia sudah bisa mengerti. Dulu ia pernah kesal dengan Raisa yang sering menghina dan berkata kasar. Sekarang ia cukup kesal bukan untuk dirinya, tapi karena Raisa yang menghina Gavin. Baginya Gavin bukan orang yang bisa dengan mudah berubah keyakinan.
Safira pun keluar dari paviliun rumah utama keluarga Halim. Tempat ternyaman ketika berkunjung. Sejak kecil ia menyukai tempat ini. Hari ini ada acara makan malam di rumah utama. Dan anak-anak diwajibkan datang sebelum acara makan malamnya, untuk mengikuti sesi berbincang dengan sang kakek. Tadi Safira sudah berbicara dengan kakeknya, lalu memutuskan pergi ke paviliun. Matahari sudah terbenam, kemungkinan besar orang dewasa sudah datang.
.
.
Safira langsung membersihkan diri begitu tiba di kamarnya. Setelah berganti pakaian ia pun merebahkan diri di kasur sekaligus memainkan ponselnya. Sudah beberapa hari ia tidak bertemu Gavin. Terakhir mereka bersama merayakan kemenangan lomba yang diikuti Gavin.
SafHalim : kamu bisa ke rumah? Kangen 🥺
Lalu muncul notifikasi obrolan baru. Safira kecewa karna bukan Gavin yang mengirim pesan. Safira pun membuka obrolan grup yang dibuat oleh Lisa.
RASA CAER
LisaPiscelia : Hai 👋
EsterHarefa : Ada apaan sih?
FriscaDwipa : Paling juga nyapa doang
LisaPiscelia : Nah, itu dia tahu 😁
EsterHarefa : Kok nyebelin sih
LisaPiscelia : Dari SMP baru sadar sekarang ya
FriscaDwipa : Tumben Lisa gak jalan sama si abang
LisaPiscelia : Ciee, yang jomblo mulai kepo
FriscaDwipa : Jangan bawa-bawa status, ya 😐
LisaPiscelia : Reza lagi dimonopoli sama kak Gavin
EsterHarefa : Mana Safira? Biar dia yang monopoli kak Gavin 😈
SafiraHalim : Dadunya hilang, jadi gak bisa lanjut main monopoli lagi 😭
LisaPiscelia : Hahaha... Safira ngelawak
FriscaDwipa : Hahaha
EsterHarefa : Haha... garing
SafiraHalim : Emang kak Gavin ngajak pacar kamu kemana?
LisaPiscelia : Biasa, tempat kumpul di apartemen kak Gavin 😩
Safira mengulang kembali pesan yang dikirim Lisa. Sejak kapan Gavin memiliki apartemen? Ia tidak pernah tahu atau diberitahu. Apa ia melewatkan sesuatu? Ia pun segera mengirim pesan pada Lisa untuk memastikannya.
SafiraHalim : Lisa, apa kamu tahu alamat apartemen kak Gavin?
LisaPiscelia : Hah? Emang kamu gak tahu? Rencananya besok aku mau ke sana
SafiraHalim : Enggak
LisaPiscelia : Oke
Bahkan Lisa pun tahu. Berapa banyak yang ia tidak ketahui? Safira mulai meragukan semuanya.
GavinP : Maaf, malam ini gak bisa. Besok aku jemput
SafHalim : Besok aku ke rumah sakit mau pemeriksaan rutin
GavinP : Ya udah nanti aku nyusul. Maaf ya sayang
SafHalim : Iya gak apa-apa
.
.
Maura menatap Gavin yang sedang sibuk dengan laptop dan iPad di meja makan. Tadi sore sepulang sekolah Gavin mengeluh sakit perut dan bolak-balik ke kamar mandi. Jadi ia berinisiatif membuatkan sup untuk malam ini, pasalnya lelaki itu terus menolak makan apapun dari sore. Maura menuangkan supnya ke dalam tiga mangkuk. Satu mangkuk ia bawa duluan, lalu menyimpannya di meja dekat Gavin.
"Apa ini?" Gavin bertanya setelah mencium aroma sesuatu yang enak.
"Sup ayam. Tadi kamu bilang sakit perut, jadi aku buat ini. Coba dulu." Maura duduk di sebelah Gavin dan membantunya membereskan barang-barang di meja.
Gavin pun mengambil suapan pertama. "Enak juga. Hampir mirip buatan Mama."
Maura tersenyum. "Syukurlah kalau kamu suka."
Maura memandang Gavin yang terlihat menikmati masakan buatannya. Semua orang juga pasti mengakui kalau sosok Gavin itu tampan dan manis. Entah sejak kapan ia sangat menyukai melihat Gavin. Mungkin sejak lelaki itu menolongnya. Karena Gavin memang selalu baik padanya.
"Gavin maaf ..."
Gavin menoleh. "Kenapa?"
Dan entah keberanian apa yang membuat Maura bisa mencium bibir Gavin sekarang.
"Vin, gawat! Lisa bikin kacau dan—"
Maura segera menjauhkan diri dari Gavin. Begitu pun Gavin yang nampak sama-sama terkejut.
"Kalian ngapain?" tanya Reza ikut terkejut dengan pemandangan tadi.
"Ngapain lo masih di sini? Udah ngomong belum sama Gavin?" Aditya muncul dari dalam kamar kedua. Arah yang sama dengan kedatangan Reza tadi.
"Gavin sama Maura ciuman tadi." Reza menjawab.
Aditya mengumpat. "Shit!"
Gavin bangkit dari kursinya lalu pergi ke kamar utama. "Kalian lupain kejadian malam ini."
Maura yang tidak tahu harus bertindak seperti apa, akhirnya memutuskan untuk pulang. Terlebih ia merasa malu akan dirinya. Reaksi Gavin dan kedua temannya jauh seperti yang ia bayangkan. Apa ia salah?
.
.
Maura : Gavin aku minta maaf
GavinP : Ya, tapi aku gak suka dengan tindakanmu tadi
Maura : Aku gak bakal ngelakuin lagi, maaf
Gavin tidak membalas pesan Maura lagi. Maura mendesah. Sepertinya ia sudah melakukan kesalahan besar. Salahnya yang tidak bisa mengontrol perasaan. Jika saja ia membicarakan tentang perasaannya dulu sebelum bertindak gegabah.
Maura : Apa aku dipecat?
GavinP : Tidak. Bekerja saja seperti biasa
Maura : Makasih
Tidak ada lagi balasan. Gavin pasti masih kesal padanya.
Aditya : Maura!
Maura : Ya?
Aditya : Apa Gavin sudah mengatakan semuanya?
Maura : Cerita apa?
Aditya : Sudah kuduga. Dia pasti diam saja 😑
Maura : Memang ada apa?
Aditya : Sebenarnya Gavin sudah punya tunangan
Maura : Apa aku harus minta maaf juga pada tunangannya?
Aditya : Jangan! Kamu harus rahasiakan kejadian tadi terutama dari tunangannya. Untuk kebaikanmu sendiri 🥺
Maura terdiam. Ia harus merasakan patah hati sebelum jujur menyatakan perasaannya.
.
.
TBC