NovelToon NovelToon
Haluan Nadir

Haluan Nadir

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Cinta setelah menikah / Pernikahan Kilat / Pengganti / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:12.3k
Nilai: 5
Nama Author: Windersone

Jodoh adalah takdir dan ketetapan Tuhan yang tidak bisa diubah. Kita tidak tahu, siapa, di mana, dan kapan kita bertemu jodoh. Mungkin, bisa saja berjodoh dengan kematian.

Kisah yang Nadir ditemui. Hafsah Nafisah dinikahi oleh Rashdan, seorang ustaz muda yang kental akan agama Islam. Hafsah dijadikan sebagai istri kedua. Bukan cinta yang mendasari hubungan itu, tetapi sebuah mimpi yang sama-sama hadir di sepertiga malam mereka.

Menjadi istri kedua bertolak belakang dengan prinsipnya, membuat Hafsah terus berpikir untuk lepas dalam ikatan pernikahan itu karena tidak ingin menyakiti hatinya dan hati istri pertama suaminya itu. Ia tidak percaya dengan keadilan dalam berpoligami.

Mampukah Hafsah melepaskan dirinya dari hubungan itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Windersone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hadiah Pernikahan Favorit

🍃🍃🍃

Halma menarik tangan Raihan yang hendak mengetuk pintu kamar Hafsah. Di dalam kamar itu, Hafsah dan Rashdan tengah berbaring dengan posisi saling memunggungi, Hafsah dalam diamnya memandangi lampu di atas meja dan Rashdan sibuk berdzikir dengan tasbih di tangannya karena tidak bisa tidur usai berdebat dengan Halma di kamar istri pertamanya itu. Halma menyuruh Rashdan yang ingin tidur bersamanya meninggalkannya di kamar itu dan menyuruhnya menemani Hafsah, memberikan nafkah batin kepada gadis itu.

Sikap Halma yang mendorongnya kepada gadis itu membuat Rashdan jadi tidak nyaman saat bersama Hafsah karena perselisihan yang belum pernah terjadi selama ini terjadi karena gadis itu. 

“Jangan mengganggu tidur Hafsah, Raihan …!” Halma sengaja mengeraskan suara agar mereka yang berada di dalam kamar itu mendengarnya.

Hafsah menoleh ke belakang, mengarahkan pandangan ke pintu, di mana Rashdan juga melakukan hal yang sama. Mereka sama-sama bangkit dari kasur dengan kepanikan seketika mengembang. Mereka paham dengan kerasnya suara Halma dari luar. 

“Ustaz keluar dari jendela,” ucap Hafsah dengan ide yang baru terbesit di benaknya saat melihat jendela kamar. 

“Baiklah.” Rashdan keluar dari jendela dalam balutan baju tidur. 

Hafsah mengunci jendela dan menenangkan jiwanya. Kemudian, ia berjalan mendekati pintu kamar, membukanya dengan tingkah berpura-pura terbangun dari tidurnya. 

“Ada apa ribut-ribut?” tanya Hafsah dan memegang rambutnya yang belum ditutup setelah melihat kedua bola mata Halma membesar menatap kepalanya. 

Pintu kembali ditutup dengan cepat dan Hafsah mengambil jilbab instan yang ada di atas meja, ia mengenakannya dan kembali membuka pintu, tersenyum kepada mereka. 

“Kalian sedang apa di sini?” tanya Hafsah.

“Ini, Raihan aneh. Udah malam, mendingan kamu tidur. Kalau tidak, mendingan salat, mengaji, atau berdzikir.”

“Kenapa ribut-ribut?” tanya Rashdan yang baru muncul dari luar rumah. 

“Lihat. Kamu salah lihat, Raihan …! Menyusahkan saja. Sekarang tidur!” suruh Halma.

“Kakak dari mana?”

“Luar! Cari udara segar di teras. Kebetulan sekali cuaca langit malam terang, banyak bintang.” Rashdan terpaksa berbohong. 

Raihan diam, mengingat kembali apa yang dilihatnya sebelumnya. 

“Mungkinkah aku benar salah lihat?” Raihan bertanya pada dirinya sendiri, di dalam hati. “Baiklah, kalau begitu aku kembali tidur.” Raihan berjalan menuju kamar di seberang, kamar yang ditempatinya. 

“Mendingan ustaz tidur sama Mbak Halma saja. Kalau begitu, selamat malam,” ucap Hafsah dan menutup pintu, menguncinya, dan merasa lega. 

Bergegas Hafsah berlari menaiki kasur, melompat-lompat sambil tertawa tanpa suara dalam kebahagiaan karena akhirnya bisa menikmati kasur sendiri tanpa ada perasaan yang tidak mengenakan. Hafsah menelentangkan tubuh di atas kasur seperti bintang laut dan menatap loteng kamar yang berwarna putih kekuningan. Perlahan matanya mulai mengecil, akhirnya terpejam, terlelap dengan jilbab masih terpasang di kepalanya. 

***

Mereka tampak seperti adik-kakak. Dalam suasana pagi yang bahagia, Halma mengajari Hafsah menggunakan jilbab yang lebih menutup dada sampai bokong. Wanita itu menata jilbab biru muda yang lebar ke kepala Hafsah, di mana gadis itu duduk di depan cermin meja rias, menatap pantulan dirinya di cermin sambil tersenyum melihat betapa anggunnya dirinya dalam balutan jilbab yang lebih tertutup seperti yang digunakan Halma.

“Jauh lebih cantik,” puji Halma setelah menyangkutkan jarum pentul terakhir di kepala Hafsah yang bisa menahan jilbab itu agar tidak ke belakang.

Pujian Halma juga diakui Hafsah, ia merasa lebih terlindungi.

“Warnanya serasi dengan abayaku,” kata Hafsah sambil tersenyum kepada Halma yang berdiri di sisi kanannya.

“Jilbab ini dibeli satu paket sama abayanya. Kalau kamu suka, kamu bisa ambil keduanya, tidak perlu mengembalikannya,” ucap Halma.

Baju dan jilbab biru muda yang dikenakan Hafsah ialah milik Halma, yang tidak diketahui gadis itu kedua helai kain tersebut ialah hadiah pernikahan untuk Halma yang diberikan Rashdan di tahun pertama mereka menikah empat tahun lalu. Sebenarnya berat bagi Halma memberikannya karena itu hadiah paling berkesan dan menjadi hadiah favoritnya dari sang suami. Namun, ia tidak ingin terlalu terkurung dalam kenangan bersama Rashdan. Perlahan ia ingin melepas semua yang berhubungan dengan Rashdan dan akan memberikan segalanya kepada Hafsah, telah diambil sebuah keputusan olehnya untuk mendekatkan suaminya itu bersama Hafsah agar tumbuh benih-benih cinta di antara mereka. Ia tidak kapok dengan perdebatan bersama sang suami semalam mengenai hal tersebut.

Ponsel Halma berdering, nama ‘Dr. Syarifah’ tertera di layar ponselnya yang baru dikeluarkan dari saku gamisnya.

“Mbak ada urusan penting. Tolong jaga Husein, ya ....” Halma berjalan keluar dari kamar Hafsah.

Setelah menutup pintu kamar Hafsah, barulah Halma menjawab sambungan telepon dari dokter yang menghubunginya, dokter pribadi yang merawat penyakitnya.

“Baik, Dok. Sekarang saya akan ke sana.” Halma berbicara sambil berjalan keluar dari rumah, di mana Raihan memperhatikan kepergiannya dari posisi pintu kamarnya. Halma tidak menyadari keberadaan pemuda itu yang dilewatinya karena terburu-buru ingin ke rumah sakit.

Raihan hanya memiringkan pandangan memperhatikan kakaknya itu sambil berjalan pelan mendekati kamar Hafsah, di mana Halma baru keluar dari kamar itu. Raihan mengetuk pintu kamar Hafsah, sengaja ingin bertemu dengan gadis itu, merindukan waja manis Hafsah. Tingkah pemuda itu tidak bisa membohongi kebenaran kalau Raihan tertarik dengan istri kedua kakak iparnya itu yang tidak diketahuinya.

Kedua bola mata Raihan tidak berhenti menatap Hafsah yang baru membuka pintu kamarnya. Pemuda itu takjub melihat kecantikan gadis yang ada di hadapannya itu.

Suara tangis Husein membangunkan Raihan dari lamunannya dan mengedipkan mata, mendapati Hafsah menundukkan pandangannya.

“Biar aku yang menanganinya,” ucap Hafsah. 

Raihan memberi ruang untuk Hafsah berjalan keluar dari kamarnya.

Gadis itu membuka pintu kamar Halma, menghampiri Husein yang terbaring di atas kasur dalam keadaan telah bangun dari tidurnya. Raihan tersenyum memperhatikan mereka dari pintu, melihat cara Hafsah yang belum mahir mengurus anak, tapi cukup bisa diapresiasi bisa memberhentikan tangis Husein yang tahu anak itu rewel kalau tidak ada Halma, sudah seperti bayi saja. 

“Kalau begitu, aku keluar. Jika membutuhkan sesuatu, kamu bisa hubungi aku. Nomor teleponku aku tinggalkan di atas mejamu!”

Raihan beranjak memasuki kamar Hafsah, mengambil selembar kertas di atas meja di sudut kamar, dan menuliskan nomor teleponnya. 

Ketika hendak meninggalkan kamar itu, perhatian Raihan tidak sengaja terfokus pada buku harian yang ada di atas meja. Pemuda itu tersenyum ringan dan mengambil buku tersebut, di mana di dalam buku terdapat buku nikah milik Hafsah yang terselip. Buku harian itu diambil Raihan dan disadari ada buku kecil terselip di dalamnya. 

“Buku apa ini?” tanya Raihan pada diri sendiri.

“Kamu sedang apa?” tanya Hafsah dari pintu kamar, menghentikan tangan Raihan membuka buku harian yang memiliki ukuran hampir sebesar buku tulis itu. 

“Eh! Maaf,” ucap Raihan dan menaruh kembali buku itu di posisi awalnya. 

Raihan sadar tingkahnya tadi salah. 

“Oh iya, nomorku sudah aku tulis di sana. Kalau begitu, aku pergi,” ucap Raihan sambil berjalan keluar dari kamar, melewati keberadaan Hafsah yang baru menepi di pintu. 

Hafsah memandangi kepergian pemuda itu dengan Husein yang berada dalam gendongannya. 

“Seenaknya mau baca buku harian orang,” ucap Hafsah dengan kesal sambil memasuki kamar. 

Bukan karena buku nikah, tapi isi buku harian yang membuat Hafsah sempat panas-dingin. 

1
Sofian
lama ya baru up lagi,lagi penasaran jga🫢
Fitri Nur Hidayati
iya pak syahril. kalo mau pisah beneran ka nunggu debay nya lahir dulu.
Fitri Nur Hidayati
lanjut thor
Baiq Susy Meilawati Syukrin
semangat ya thoor , cerita keren....💪
Hilda Hayati
lanjut thor
Baiq Susy Meilawati Syukrin
hmmmm...ribet bet bet.,.🤦🤦🤦
Hilda Hayati
jangan lama2 min kelanjutannya keburu lupa alurnya
Hilda Hayati
keren ceritanya, islami, biin penasaran.
Hilda Hayati
kapan kelanjutannya min, penasaran gmana jadinya hub mereka
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!